Seraphina dan Selina adalah gadis kembar dengan penampilan fisik yang sangat berbeda. Selina sangat cantik sehingga siapapun yang melihatnya akan jatuh cinta dengan kecantikan gadis itu. Namun berbanding terbalik dengan Seraphina Callenora—putri bungsu keluarga Callenora yang disembunyikan dari dunia karena terlahir buruk rupa. Sejak kecil ia hidup di balik bayang-bayang saudari kembarnya, si cantik yang di gadang-gadang akan menjadi pewaris Callenora Group.
Keluarga Callenora dan Altair menjalin kerja sama besar, sebuah perjanjian yang mengharuskan Orion—putra tunggal keluarga Altair menikahi salah satu putri Callenora. Semua orang mengira Selina yang akan menjadi istri Orion. Tapi di hari pertunangan, Orion mengejutkan semua orang—ia memilih Seraphina.
Keputusan itu membuat seluruh elite bisnis gempar. Mereka menganggap Orion gila karena memilih wanita buruk rupa. Apa yang menjadi penyebab Orion memilih Seraphina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon secretwriter25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Trauma 2
Seraphina terbangun dengan napas terputus-putus, seolah seluruh udara yang memenuhi paru-parunya ditarik paksa keluar. Dada gadis itu naik-turun cepat, tubuhnya menggigil hebat meski selimut rumah sakit sudah menutupinya hingga bahu. Cahaya putih dari lampu ruangan terasa terlalu terang, terlalu asing, terlalu berbeda dari gelapnya ruang tempat ia disekap.
Untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Sera hanya menatap kosong langit-langit, berusaha memahami di mana ia berada. Aroma antiseptik memenuhi hidungnya, suara mesin monitor berdetak pelan di sampingnya, dan langkah-langkah perawat dari balik pintu terdengar samar. Semua itu seharusnya membuatnya lega—tanda bahwa ia berada di tempat aman—namun tubuhnya belum bisa mengerti itu. Tubuhnya masih terpaut pada ketakutan, memori gelap yang menancap dalam.
Perawat yang menjaga di dekatnya menyadari adanya gerakan. Wanita itu mendekat perlahan, khawatir membuat Sera kaget.
“Nona Seraphina? Kamu sudah sadar?” tanyanya lembut.
Namun begitu perawat itu mendekat, Sera langsung tersentak keras. Tangannya yang gemetar terangkat seolah ingin menepis sesuatu yang tidak terlihat. Jantungnya berpacu dengan cepat, wajahnya memucat.
“Jangan! Jangan sentuh aku!” serunya panik.
Perawat itu langsung berhenti, mengangkat kedua tangannya tanda menyerah, lalu memundurkan tubuhnya.
“Tidak apa-apa… aku tidak akan mendekat. Kamu aman di sini, Nona.”
Sera terus menggigil. Ketakutan itu muncul begitu saja seperti bayangan yang terus membuntuti, seperti tangan-tangan gelap yang tetap mencengkeramnya. Tangisnya jatuh tanpa suara. Ia menunduk, memeluk dirinya sendiri.
---
Orion melangkah masuk ke ruang konsultasi. Lelaki itu menatap dokter dengan tatapan gusar. Matanya menjelaskan bahwa pria itu belum tidur sejak Seraphina ditemukan. Ketakutan kehilangan gadis itu masih mencengkeram dadanya.
“Bagaimana kondisinya?” tanya Orion lirih.
Dokter itu menghela napas berat. “Secara keseluruhan… Nona Seraphina baik-baik saja. Namun tubuhnya menunjukkan banyak cedera fisik—memar, lecet, dan tanda-tanda kekerasan seksual."
"Maksudnya… mereka melecehkan Seraphina?" Suara Orion terbata.
"Benar, Tuan. Nona Seraphina mengalami pelecehan seksual," jelas dokter itu.
Orion mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras. "Aku akan menemukan pelakunya dan membunuhnya dengan tanganku sendiri!" batin Orion.
“Tapi yang paling berat bukan lukanya,” lanjut sang dokter. “Nona Seraphina mengalami trauma akut. Dia tampak takut pada semua orang yang berjenis kelamin laki-laki.”
Orion menelan ludah yang tiba-tiba terasa sangat pahit. Dadanya seperti diremas.
“Saat kami mencoba mendekat untuk memberinya obat, dia menolak keras. Tapi begitu kami menyebut nama kamu… dia langsung tenang, meski tetap ketakutan. Sepertinya kamu satu-satunya orang yang otaknya kenali sebagai ‘aman’.”
Orion menghela napas panjang. Ada rasa haru sekaligus sakit yang menyesakkan. Betapa parah rasa takut Sera. Apa yang dia alami selama dua hari dalam penyekapan?
“Aku boleh bertemu dengannya?” tanya Orion.
“Tentu. Asal kamu masuk perlahan dan tidak membuatnya kaget.”
---
Orion melangkah pelan memasuki kamar, tempat Seraphina dirawat. Gadis itu tampak duduk bersandar di pojok tempat tidur, wajahnya pucat, rambutnya berantakan. Ia menggenggam lengan bajunya seolah itu satu-satunya hal yang bisa ia jadikan perisai.
Begitu mendengar suara pintu terbuka, Sera langsung membeku. Nafasnya terhenti, ketakutan itu seketika kembali memenuhi seluruh tubuhnya.
“Sera… ini aku.”
Gadis itu menoleh sedikit. Nafasnya mulai tenang saaf mengenali suara itu. Detik itu pula, matanya berkaca-kaca. Lalu perlahan, tubuhnya yang tegang mulai melunak.
“Orion…?” lirihnya parau.
“Ya. Aku di sini.” perlahan Orion melangkah mendekat, memberi waktu agar gadis itu bisa menyesuaikan diri. “Aku tidak akan menyentuhmu. Aku cuma ingin kamu tahu bahwa kamu aman karena aku ada disini.”
Sera menatap Orion, lalu… ia mengulurkan tangannya.
Tidak menyentuhnya pun Orion merasa jantungnya hancur melihat gerakan kecil itu.
Ia mendekat, lalu duduk di kursi dekat ranjang. “Aku di sini, Sera. Aku nggak akan pergi.”
Mendengar ucapan Orion, gadis itu menangis tanpa suara, air matanya mengalir deras. Orion tidak menyentuhnya—ia menunggu. Ia tahu sentuhan bisa memicu rasa takut. Ia hanya duduk di sana, menjadi tempat aman yang bisa Sera lihat.
---
Beberapa hari berlalu. Kondisi Sera mulai terlihat sedikit stabil. Tawa candanya mulai terdengar saat bersama Orion dan Alina. Hanya mereka berdua yang baru di izinkan dokter untuk menjenguk.
Melihat kondisi Sera yang membaik, rumah sakit pun memberi izin keluarga untuk menjenguknya. Tapi dokter memberi pesan untuk menghindari membawa terlalu banyak orang, dan jangan memaksa Seraphina berbicara, ataupun menyentuhnya.
Selina, Eveline, dan Damian datang hampir bersamaan. Ketiganya masuk dengan wajah khawatir. Pertama kalinya Damian memberikan ekspresi seperti itu kepada putrinya.
"Sayang… Mama, Papa sama Selly datang menjenguk…" ucap Evelyn lembut.
Sera menoleh, tubuhnya tampak bergetar.
"Sera… aku sangat mengkhawatirkanmu…" Selina memulai dramanya.
Sementara Damian tidak mengatakan apapun. Dia hanya menatap Seraphina dengan tatapan yang tidak bisa di tebak. Damian sendiri tidak pernah tau rencana Selina. Dia sangat marah karena hal ini mencoreng nama baik keluarga Callenora—terlebih Seraphina adalah calon menantu dari keluarga terpandang.
Mata Seraphina membulat sempurna saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Napasnya kembali tersengal. Jantungnya berdetak keras tak terkendali. Ia menoleh, tatapannya menangkap sosok Selina.
Sera langsung menjerit histeris.
“Jangan sentuh aku!! Menjauh! Pergi!! Jangan dekat-dekat!!”
Tangannya meraih apa saja yang ada di meja samping—gelas plastik, kotak tisu, bahkan bantal—dan melemparnya ke arah pintu dengan ketakutan yang luar biasa.
Eveline kaget setengah mati. “Sera, sayang—hei, tenang dulu—”
“Keluar!! Keluar!! KELUAR!!”
Tangis Sera pecah histeris. Tubuhnya menggigil hebat. Napasnya tersengal, seolah ia kembali berada di ruang gelap tempat ia disekap. Ketakutannya begitu besar hingga tidak ada yang bisa menenangkan.
Perawat masuk dengan cepat, meminta pengunjung keluar demi keselamatan pasien.
Selina mundur satu langkah. Dia tidak menyangka Seraphina tampak begitu histeris saat melihatnya. Selina menyadari hal itu.
"Apa dia melihatku saat itu?" batin Selina gugup.
Damian memegang pundak Eveline yang panik. “Kita keluar dulu. Dia takut.”
“Tapi aku cuma ingin melihat dia—”
“Eveline, keluar,” ulang Damian, suaranya tegas.
Mereka pun keluar, meninggalkan Sera yang masih menangis histeris.
---
Setelah kejadian itu, dokter menyimpulkan bahwa Sera tidak boleh menerima pengunjung. Trauma yang dialaminya cukup berat hingga wajah-wajah yang tidak ia pahami sebagai “aman” akan memicu serangan panik.
Sera hanya mau bertemu dua orang, Orion dan Alina.
Alina masuk beberapa jam kemudian. Gadis itu menatap Alina.
Alina mendekat dengan langkah pelan. “Nona… boleh aku duduk di sini?”
Sera tidak menjawab. Ia hanya menunduk sedikit, tapi ia tidak menolak.
Orion duduk di samping tempat tidur, seperti penjaga tetap yang tubuhnya tidak bisa bergerak jauh dari gadis itu. Ia memerhatikan napas Sera yang masih tersengal-sengal tiap kali pintu ruangan terbuka.
Alina meletakkan selimut lebih tinggi menutupi kaki Sera, memastikan gadis itu tetap hangat. “Kau aman, Nona… kau sudah keluar dari tempat itu. Tidak ada yang bisa menyakitimu lagi.”
Sera menggigit bibirnya. Tangisnya kembali jatuh.
“Aku takut… Alina… aku takut… mereka akan datang lagi…”
Orion menunduk, meremas rambutnya sendiri dengan frustasi. Ia ingin mengatakan bahwa ia akan menghancurkan siapa pun yang berani menyentuh Sera lagi, tapi ia tidak boleh menambahkan ketakutan baru.
Alina mengusap rambut Sera—satu-satunya sentuhan yang diterima gadis itu dari seseorang selain Orion.
“Tidak ada yang akan menyakitimu lagi, Nona," ucap Alina lembut. “Aku dan Tuan Orion akan menjagamu. Kami tidak akan membiarkan seseorang pun mendekat tanpa izinmu.”
Sera menatap Orion. “Jangan pergi… jangan tinggalin aku…”
Orion langsung mendekat lalu memeluk gadis itu. “Aku ada di sini. Aku nggak akan pergi, Sera. Kamu bisa lihat aku kapan pun kamu mau.”
🍁🍁🍁
Bersambung…