Seharusnya kehidupan Serena sempurna memiliki kekasih tampan dan kaya serta mencintainya, dia semakin yakin bahwa cinta sejati itu nyata.
Namun takdir mempermainkannya ketika sebuah malam kelam menyeretnya ke dalam pelukan Nicolás Navarro—paman dari kekasihnya, pria dewasa yang dingin, berkuasa, dan telah menikah lewat perjodohan tanpa cinta.
Yang terjadi malam itu seharusnya terkubur dan terlupakan, tapi pria yang sudah memiliki istri itu justru terus menjeratnya dalam pusaran perselingkuhan yang harus dirahasiakan meski bukan kemauannya.
“Kau milikku, Serena. Aku tak peduli kau kekasih siapa. Malam itu sudah cukup untuk mengikatmu padaku... selamanya.”
Bagaimana hubungan Serena dengan kekasihnya? Lantas apakah Serena benar-benar akan terjerat dalam pusaran terlarang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Neon Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1.
“Bagaimana?” tanya seorang pria tua berbisik kepada salah satu anak buahnya, nada suaranya tenang namun mengandung wibawa yang membuat siapa pun di ruangan itu menunduk.
“Semua sudah siap, Tuan,” jawab anak buahnya sambil membuka koper hitam berisi berkas kerja sama dan dokumen perjanjian.
Pria tua itu mengangguk pelan, kemudian menatap ke arah seorang pemuda yang duduk berhadapan dengannya di ruangan eksklusif di lantai atas Club de Oro, salah satu klub paling mewah di jantung Kota Meksiko.
Pemuda itu mengenakan jas silver yang kontras dengan aura tenangnya. Rahangnya tegas tanpa sehelai pun bulu, hidungnya mancung sempurna, dan manik matanya berwarna biru cerah—dingin, tapi memikat.
Dialah—Nicholas Navarro, pria yang sudah memiliki istri bernama Isabella, walaupun dari hasil perjodohan bisnisnya yang diatur Julian, mereka belum dikaruniai anak. Dia berusia dua puluh tujuh tahun yang dikenal cerdas, ambisius, dan nyaris mustahil untuk ditebak.
“Silakan diperiksa, Tuan Nicholas,” ucap pria tua itu, memperlihatkan berkas kepada sang tamu muda.
Nicholas menerima dokumen itu dengan tatapan tajam. Jemarinya yang panjang bergerak perlahan membuka setiap halaman, memeriksa rincian kerja sama antara perusahaannya dengan perusahaan Samon & Co, milik sahabat lama ayah angkatnya.
“Semua tertulis jelas. Tidak ada yang perlu diubah,” katanya datar, tapi berwibawa.
Pria yang dipanggil Tuan Samon tersenyum puas. “Kerja sama ini akan membawa banyak keuntungan bagi kedua pihak. Aku senang bisa bermitra dengan Navarro Group.”
Nicholas mengangguk ringan, lalu berdiri untuk menjabat tangan Samon. “Senang bekerja sama dengan Anda, Tuan Samon. Saya berharap proyek ini menjadi awal hubungan jangka panjang yang baik.”
“Begitu juga saya,” balas Samon dengan nada penuh hormat.
Setelah urusan selesai, Nicholas menatap tajam ke depan dan berjalan keluar dari ruangan pribadi itu. Langkahnya tenang, tapi setiap gerakannya memancarkan kharisma seorang pemimpin muda yang tahu betul nilai kepercayaan.
Begitu keluar dari klub, udara malam Meksiko yang hangat menyambutnya. Lampu-lampu kota memantul di kaca mobil hitam yang sudah menunggunya di depan. Ia membuka pintu dan masuk tanpa banyak bicara, memberi isyarat pada sopir untuk segera melaju.
Di balik ketenangannya, Nicholas memutar pikirannya. Ia bukan hanya seorang pengusaha sukses. Sejak diadopsi oleh Julian Navarro, salah satu tokoh berpengaruh di dunia bisnis Meksiko, Nicholas sudah masuk ke dalam daftar untuk menjadi lebih dari sekadar pewaris.
Setelah Wilton Navarro berusia 47 tahun—anak kandung Julian sendiri satu-satunya yang memang sudah sah menjadi pewaris unggul dan akan menurunkannya pada Gabriel putranya.
Julian tidak pernah mempercayakan proyek penting pada siapa pun, kecuali Nicholas. Bahkan anaknya sendiri—Wilton dan para asisten pribadinya pun tidak diizinkan menangani klien sebesar Samon & Co.
Bagi Julian, hanya Nicholas yang cukup cerdas, tenang, dan berani untuk memegang tanggung jawab sebesar itu.
Meski di hadapan publik Nicholas dikenal dingin dan selektif dalam bekerja sama, tak ada yang tahu sisi lain dari dirinya—bahwa Nicholas juga pemilik dari salah satu universitas ternama di Meksiko, tempat dia menanamkan cita-cita agar generasi muda bisa tumbuh dengan cara yang lebih jujur dari dunia yang membesarkannya.
Semua orang juga hanya tahu Nicholas Navarro adalah anak muda beruntung yang diadopsi oleh Julian Navarro—konglomerat terpandang di Meksiko. Mereka menganggap hidup Nicholas sempurna, tampan, cerdas, kaya, dan selalu menjadi kebanggaan keluarga Navarro. Namun, tidak ada satu pun yang tahu bahwa di balik citra itu, tersimpan bara persaingan yang mengakar sejak lama.
Sejak awal, Julian memang lebih mempercayai Nicholas dibandingkan anaknya sendiri—Wilton. Keputusan itu memunculkan iri hati, terutama di antara keluarga besar Navarro yang merasa Nicholas hanyalah anak adopsi tanpa darah keturunan.
Wilton, yang terbiasa hidup dalam bayang-bayang pujian, mulai menyimpan dendam dan menggunakan segala cara untuk menyingkirkan Nicholas dari lingkar kepercayaan Julian, agar putra sulungnya Gabriel bisa meneruskan sebagai pewaris Navarro bukan Nicholas.
Walaupun sebenarnya, Nicholas tidak pernah memperebutkan harta atau kekuasaan. Dia hanya ingin membalas kebaikan Julian yang telah membesarkannya. Namun, ketika kebusukan Wilton perlahan terbongkar—Nicholas tidak lagi bisa diam.
*
*
Pikiran Nicholas tidak mengarah pulang ke rumah di mana Isabella, istrinya, menanti. Sebaliknya, tujuan tunggalnya adalah lantai 27, tempat perlindungan sementara yang dibiayai penuh oleh kehendak sang ayah angkat.
Dia membutuhkan jeda, istirahat singkat yang hanya bisa ia temukan di sini, jauh dari mata Isabella, dan dia membawa serta bukti keberhasilannya, sebuah koper hitam penuh uang tunai. Namun, ketenangan yang ia cari buyar seketika.
Begitu pintu apartemen terbuka, aroma maskulin yang asing menyambutnya, dan di ruang tengah, duduk santai di sofa kulit mahal, adalah Deo. Asisten pribadi ayahnya itu sudah menunggu, seolah apartemen itu miliknya sendiri.
Keterkejutan Nicholas segera berubah menjadi rasa jengkel yang sudah familier. Tentu saja Deo bisa masuk. Apartemen ini, dengan segala perabot dan tagihannya, adalah di bawah kuasa Deo—pengurus segala keperluan pribadi Nicholas atas nama Julian.
Meskipun Nicholas sudah berulang kali mengganti kata sandi digital apartemen untuk menjaga sedikit sisa privasinya, bagi Deo, tembok digital itu tidak lebih dari angin lalu.
“Apakah aku memang tidak boleh memiliki privasi?” Nicholas menggeram. Tanpa peringatan, koper hitam itu meluncur dari tangannya, menghantam karpet mahal tepat di depan kaki Deo beserta dokumen kerja sama.
Deo tertawa kecil, suara kering yang menusuk kesunyian. Dia membungkuk, membuka koper itu tanpa tergesa, dan matanya memindai tumpukan uang tunai yang mengilat. Uang asli, jumlah yang disepakati. Kepuasan terlihat jelas di wajahnya. Sambil menutup koper, Deo mengeluarkan sebuah ponsel dan menyodorkannya pada Nicholas, putra angkat dari bosnya.
“Kau hanya memiliki privasi sendiri di rumahmu bersama istrimu, bukan di apartemen ini,” ujar Deo, melangkah mendekat, auranya yang dominan terasa menekan. “Kenapa kau pulang ke apartemen, bukan ke rumah? Istrimu sedang menunggumu pulang.”
Nicholas hanya menerima telepon seluler itu, tanpa menjawab pertanyaan yang jelas-jelas ditujukan untuk memancingnya. Ponsel itu langsung dia tempelkan ke telinga, mengetahui bahwa sang ayah pasti menelepon melalui perantara ini.
“Kau sudah bekerja keras hari ini, sebagai ucapan terima kasih Papa. Papa punya hadiah untukmu malam ini, semoga kau suka dengan hadiah pemberian Papa,” suara Julian terdengar hangat namun penuh kekuasaan di ujung sana. “Ingat jangan menolak! Karena Papa tidak suka penolakan!”
“Terserah, Papa! Sekarang Nicholas capek ingin mandi, apakah asistenmu juga berguna untuk memandikanku?” Nicholas menyindir, tatapannya dingin dan sinis tertuju pada Deo. Rasa muak atas invasi tak berizin ini sudah mencapai puncaknya.
Suara tawa Julian berderai, mengisi keheningan apartemen. Pria tua itu tahu betul bahwa putranya tidak senang dengan kehadiran Deo yang tanpa permisi. “Baiklah, jika dia mau, maka gajinya akan berlipat-lipat.”
Nicholas tidak mengacuhkan tawaran sinis sang ayah. Dia langsung melempar ponsel itu kembali ke arah Deo dan, dengan gestur yang jelas, menyuruhnya untuk segera angkat kaki dari apartemen.
“Hai, ayolah jangan marah,” canda Deo, mengambil ponsel itu dengan mudah. “Dengan senang hati jika kau memerlukan bantuanku untuk membantumu menggosok punggungmu!” Deo tertawa, berhasil memancing kekesalan Nicholas satu tingkat lebih tinggi. Dia berbalik, menikmati momen itu, lantas melangkah keluar.
Saat Deo melintasi ambang pintu, dia sengaja tidak menutupnya. Pintu luar apartemen Nicholas dibiarkan sedikit menganga, sebuah celah kecil namun signifikan.
Deo melakukannya dengan sengaja, memberikan akses mudah bagi seseorang untuk masuk dan membawa hadiah dari Julian, sebuah kejutan yang sudah diatur untuk putra angkatnya. Nicholas, yang sudah lelah dan jengkel, tidak menyadarinya. Dia hanya ingin membersihkan diri dari hari yang panjang dan penuh intrik. Julian.
To be continued