Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merawat Barra
"Dr. Farhan baru bisa ke sini sehabis magrib. Hari ini, pasiennya cukup banyak di klinik," suster Fani mendekati Barra dan Kirana.
Kirana sontak berdiri, melepaskan diri dari Barra. "Iya, baik Sus!"
Mata Barra terpaku pada Kirana. Ia mengamati wajah Kirana dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
"Mas Barra?" suara bu Wulan mengagetkan semua orang.
"Alhamdulillah... Saya tadi khawatir banget. Mba Kirana juga. Kenapa gak bilang kalau sakit. Kebiasaan banget, kalau sakit disimpen sendiri," ujar bu Wulan bersungut-sungut.
"Aku baik-baik saja, Bu." Suara Barra terdengar parau dan pelan. Ia mencoba duduk dengan bersandar di punggung tempat tidur.
"Baik-baik gimana, Mas?! Wong, tadi pingsan gitu kok. Mba Kirana sampai panik, nangis-nangis."
Pandangan Barra kembali tertuju pada Kirana.
"Bu, tolong buatkan makanan buat Mas Barra. Eh, bolehkan Sus?" Kirana bertanya pada suster Fani.
"Boleh bu, silakan. Tapi tolong makanannya yang bertekstur lembut dulu. Saya keluar dulu, dr. Farhan memberikan resep obat untuk diminum setelah makan."
Setelah bu Wulan dan suster Fani keluar, udara di dalam kamar terasa berat. Aura canggung menggantung di udara. Keheningan yang janggal menyelimuti Kirana dan Barra. Keduanya saling menatap namun tidak ada yang bersuara.
"Kira... Kemarilah!" ucap Barra memecah keheningan. Tangannya terulur ke arah Kirana.
Kirana mengigit bibirnya. Ia ragu menerima uluran tangan suaminya. Ada irama gugup di dadanya.
"Bolehkah aku memelukmu?" pinta Barra. Matanya masih terus memandangi Kirana.
Kali ini, Kirana bisa membacanya. Pandangan Barra sarat dengan rasa rindu.
Akhirnya, Kirana mendekati Barra. Duduk di sampingnya. Barra menarik Kirana ke dalam dekapannya. Ia menciumi pucuk kepala istrinya.
"Mas...?"
"Biarkan Kira... Biarkan aku memelukmu seperti ini walau hanya untuk sekejap."
Kirana melingkarkan tanggannya di pinggang Barra. Membalas pelukan suaminya. Kirana merasakan Barra mengeratkan dekapannya. Dia menyesap harum tubuh Kirana.
"Ehem, ehem...," Bu Wulan membawa nampan makanan.
Barra dan Kirana melepaskan pelukan mereka.
"Ini, saya buatkan bubur ayam. Dimakan ya, Mas! Mba Kirana juga makan. Jangan sampai ikut-ikutan sakit, nanti tambah repot."
Bu Wulan meletakkan nampan yang berisi dua mangkuk bubur di sisi tempat tidur, lalu kembali keluar.
"Makan dulu ya Mas... Mumpung masih hangat. Aku suapin."
Barra mengangguk lalu membuka mulutnya lebar-lebar.
Malam itu, demam Barra berangsur menurun. Suhu tubuhnya hampir mendekati angka normal.
"Jangan terlalu keras bekerja. Kasihan badanmu. Untung saja tadi cepat tertangani, kalau tidak... Bisa-bisa kamu sudah ada di bangkar rumah sakit," jelas dr. Farhan setelah selasai memeriksa Barra.
"Iya, Om."
"Kamu harus bedrest total, tidak ada pekerjaan dulu. Nanti, saya kembali setelah empat hari. Suster Fani akan tetap memantau di sini. Bisa kan?"
"Bisa, bisa dokter. Nanti suster Fani akan tidur di kamar saya," jawab bu Wulan cepat.
"Baiklah... Kalau begitu saya pamit. Sehat-sehat, Barra," dr. Farhan menepuk bahu Barra.
"Terima kasih, Om!"
"Terima kasih, dok!"
Ucap Kirana dan Barra bersamaan.
Kirana melangkah ingin mengantarkan dr. Farhan. Sekaligus ia ingin bertanya apakah dr. Farhan mengenal papanya. Namun, Barra memegangi lengannya.
"Jangan ke mana-mana," bisiknya.
Kirana mengalah. Nanti saja ia mencari tahu mengenai keberadaan papanya pada dr. Farhan.
"Ada sesuatu yang ingin kamu makan, Mas? "
Barra menggeleng. "Aku cuma ingin tidur. Mataku berat. Sini...!"
Barra menggeser tubuhnya, meminta Kirana tidur di sampingnya.
Kirana terkejut mendengar permintaan Barra. Maksudnya gimana? Dia ingin seranjang denganku?
"Hmm, aku tidur di kamarku saja, Mas. Kalau Mas Barra mau tidur, aku turun saja."
"Aku ingin tidur denganmu."
Jantung Kirana berdebar tak karuan.
"Tadi kata dr. Farhan, Mas Barra harus istirahat total. Aku takut ganggu. Aku kalau tidur suka nendang, guling sana guling sini. Nanti Mas Barra malah gak bisa tidur, " tolak Kirana.
"Apa kamu sedang menolak suami yang ingin tidur dengan istrinya, Kira?" Barra menatap Kirana tegas, tapi ada kelembutan di sana.
"Bukan begitu, Mas. A-aku---"
"Berbaringlah di sisiku!" perintah Barra.
Kirana meremas bajunya. Duh, aku harus gimana?
Barra masih melihatnya dengan tatapan sendu.
Perlahan, Kirana berjalan ke arah Barra. Merebahkan diri di sampingnya. Tubuh Kirana kaku seperti robot.
Barra menahan kepalanya dengan siku, memandangi Kirana. Ia tertawa pelan. "Kenapa kaku begitu? Kamu takut padaku? Tenang saja, Kira. Aku tidak menggigit."
Kirana balas melihat Barra dengan tatapan tidak percaya. Ia ingat beberapa kali merasakan gigitan Barra di beberapa bagian tubuhnya. Mengingat itu, tanpa sadar, Kirana menggigit bibirnya.
Tawa Barra berubah kencang. "Jangan menatapku begitu. Dan, jangan gigit bibirmu. Tubuhku sedang tidak bisa diajak kerjasama."
Barra melingkarkan tangannya di pinggang Kirana. Menariknya rapat. Tubuh Kirana yang mungil langsung menghilang dalam dekapan Barra.
"Mas, selang infusnya gak apa-apa?"
Barra mencium kening Kirana. "Gak apa-apa."
Tak berapa lama, Kirana merasakan nafas Barra teratur. Suaminya sudah tertidur. Kirana mencoba memejamkan mata. Ia semakin menelusup di dada Barra. Kirana merasa sangat nyaman. Ini adalah pertama kali, ia tertidur dalam dekapan suaminya.
**********
Kirana merasakan sentuhan hangat di pipinya. Ia membuka mata dan langsung berhadapan dengan tatapan dalam suaminya. Kirana melihat ada titik air di sudut mata Barra.
"Sudah bangun?" tanya Barra.
Kirana tersenyum. Tangannya terulur memegang dahi Barra. Tidak panas. Demam Barra sudah turun.
"Tubuhku sudah lebih baik. Terima kasih sudah mau menemaniku." Barra mengecup kening Kirana kemudian memeluknya erat.
Setelah bebeeapa saat, Kirana bergerak, mencoba membuka pelukan Barra.
"Hmm, jangan bergerak. Jangan terus memancingku, Kira. Sudah kubilang, tubuhku sedang tidak bisa diajak kerjasama."
Tok tok tok
"Mas Barra, Mba Kirana, waktunya sarapan," terdengar panggilan di balik pintu.
"Bu Wulan, Mas."
"Biarin aja." Barra menggesekkan hidungnya di rambut Kirana.
"Mba Kirana, ini suster Fani mau periksa Mas Barra," suara ketukan di pintu bernada tidak sabar.
"Mas...,"
"Akkhh... " Barra melepaskan dekapannya.
Kirana bergegas bangun dan membukakan pintu untuk bu Wulan dan suster Fani.
"Lama banget buka pintunya, Mba," gerutu bu Wulan.
"Maaf, Bu. Tadi aku lagi di kamar mandi."
Beberapa saat kemudian,
"Kira, boleh aku minta tolong."
"Kenapa Mas?"
"Badanku lengket, dari kemarin aku belum mandi. Bisa bantu aku?"
Blush. Pipi Kirana memerah.
"Mas belum boleh mandi. Demamnya baru turun," Kirana mengelak dari permintaan Barra.
"Kalau di lap aja, boleh kan?" Barra mengedipkan matanya.
Pipi Kirana terasa panas.
"Kalau kamu gak bisa bantu, aku bisa panggil suster Fani buat---"
"Gak usah, Mas. Sama aku aja!" ucap Kirana cepat.
Kirana mengetikkan pesan pada bu Wulan agar menyiapkan air hangat dan washlap untuk Barra.
"Sambil nunggu air hangat, Mas sarapan dulu."
"Suapin... ," pinta Barra dengan manja.
Lutut Kirana terasa goyah mendengar nada suara Barra.
Kirana sedang membuka kaos Barra. Tadi Barra sudah sarapan. Dan sesuai rencana, selanjutnya Kirana akan mengelap tubuh Barra.
"Angkat tangannya Mas."
"Susah Kira, masih ada selang infus."
Kirana duduk bertumpu di depan Barra
Ia lalu menarik kaos melewati selang infus dan kepala Barra.
Cup. Barra mencium pipi Kirana.
Kirana membelakan mata pada suaminya.
"Kenapa? Tidak boleh?" Barra tersenyum kecil.
Kirana melanjutkan pekerjaannya. Ia memandangi perut dan dada Barra yang sudah terbuka.
Sempurna, batin Kirana.
Gelenyar kupu-kupu itu datang kembali. Kirana menggelengkan kepalanya.
Kirana lalu membasuh perut dan dada yang sempurna itu dengan washlap. Perlahan. Ia bisa merasakan kerasnya otot perut, bidangnya dada, dan kokohnya punggung Barra.
Tubuhnya terasa panas. Apakah sekarang aku juga demam? Kirana meraba dahinya. Normal, tapi kenapa jadi panas dan gerah begini?
Setelah selesai, Kirana mengambil pakaian ganti untuk Barra. Ia kembali membantu Barra memakai kaos bersih.
"Bagian bawahnya belum, Kira."
Blush...
"Kenapa wajahmu jadi seperti kepiting rebus?" Barra menempelkan tangannya di pipi Kirana.
Kirana buru-buru merapikan wadah air dan washlap. "Kalau itu, Mas Barra bisa lakukan sendiri," ujarnya sambil berlalu masuk ke dalam kamar mandi.
Kirana mendengar suara tergelak dari Barra. Di dalam kamar mandi, Kirana mendekap dadanya yang berdegup dengan cepat.