Enam bulan pernikahan Anindia, badai besar datang menerpa biduk rumah tangganya. Kakak sang suami meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Wasiat untuk menjaga anak dan juga istrinya dengan baik. Karena istri dari kakak sang suami adalah menantu kesayangan keluarga suaminya, wasiat itu mereka artikan dengan cara untuk menikahkan suami Nindi dengan si kakak ipar.
Apa yang akan terjadi dengan rumah tangga Nindi karena wasiat ini? Akankah Nindi rela membiarkan suaminya menikah lagi karena wasiat tersebut? Atau, malah memilih untuk melepaskan si suami? Ayok! Ikuti kisah Nindi di sini. Di, Wasiat yang Menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#14
Nindi akhirnya bersedia keluar dari kamar mandi setelah cukup lama berdiam diri di dalamnya. Ketika Anin keluar, kondisi kamar sudah berbeda. Kapal pecah, sudah tidak terlihat lagi. Kamar tersebut sudah rapi.
Anin terdiam sejenak. Dia hanya bisa melepas napas berat, lalu duduk di atas ranjang. Terdiam sambil menatap dingin ke arah kamar tersebut. Hanya ada satu pikiran yang ada dalam benak Nindi sekarang. Dia ingin segera pergi meninggalkan rumah tersebut. Memisahkan diri dari Afi dan juga keluarga Afi.
Saat Anin masih terdiam, pintu kamar terbuka. Afi muncul dari balik daun pintu sambil membawa kotak sedang. Sepertinya, yang dia bawa adalah barang-barang yang Tiara kirimkan.
"Anin. Sudah mandi?" Afi bertanya dengan nada lembut. Tatapan penuh kasih masih dia perlihatkan.
Anindia tak kuasa membalas tatapan itu, lekas dia buang wajahnya dengan cepat. "Belum."
"Lho, kok masih belum mandi sih? Sudah hampir malam sekarang."
"Kapan mau mandinya? Gak boleh lho mandi malam-malam."
Anin memilih untuk diam. Ucapan Hanafi ia abaikan begitu saja. Sementara itu, Afi yang diabaikan hanya bisa melepas napas pelan. Dia sangat rindu akan manjanya sang istri. Tapi, sejak munculnya wasiat yang menyakitkan, manja itu sudah hilang tanpa jejak.
Afi mengambil posisi untuk duduk di samping sang istri. Lalu, dia serahkan kotak yang ada di tangannya ke tangan Anin. "Nin, ini ... semua kosmetik yang telah rusak. Aku sudah minta Tia untuk membeli yang baru."
Anin menerima apa yang Afi berikan. Hanya saja, bibirnya terlalu enggan untuk berucap. Tidak ada kata terima kasih, tidak pula ada satu katapun yang keluar dari mulut Anin. Yang asa hanya diam saja.
"Anin."
"Aku mau mandi dulu, Mas." Anin berucap sambil beranjak.
Yah ... tidak ada kata yang bisa Afi ucapkan untuk menjawab apa yang Anin ucap. Yang ada hanya tatapan terluka saja yang terlihat di mata Afi. Pria itu inginkan istrinya. Sayang, keadaan sudah tidak sama seperti dulu lagi.
*
Hari-hari berlalu dengan kesibukan di kediaman tersebut. Keluarga Afi menyiapkan pernikahan dengan sangat bahagia. Sementara Nindi, dia juga berusaha mencari kesibukan untuk dirinya sendiri.
Dia tidak ingin tetap berdiam diri di rumah itu. Karena dengan berdiam diri, maka luka hatinya akan semakin sakit.
Satu demi satu persiapan akhirnya terselesaikan. Acara pernikahan Hanafi juga akhirnya telah tiba. Satu minggu yang Afi katakan, ternyata tidak cukup. Persiapan pernikahan itu membutuhkan waktu dua minggu.
Selama dua minggu itu pula, Anin berusaha dengan sangat keras untuk membendung air mata agar tidak selalu jatuh. Dia juga berusaha dengan sangat keras untuk menjaga hatinya agar tidak terlalu merasa sakit.
Tapi pada kenyataannya, hati mana yang tidak akan merasa sakit ketika melihat suami tercinta menikah dengan wanita lain. Tidak akan ada wanita yang rela berbagi suami dengan wanita lainnya. Apapun alasannya, tidak akan pernah ada. Selagi masih cinta, mana mungkin rela berbagi.
"Anindia. Hari ini, aku akan menikah." Afi berucap pelan dengan nada berat. Manik matanya pun berkaca-kaca.
Anin yang duduk di kamar masih terdiam. Sesaat suasana di kamar itu hening. Lalu, Anin memutar tubuhnya untuk melihat Afi yang ada di belakangnya.
Senyum pahit Anin perlihatkan.
"Menikahlah. Semoga kamu bahagia, Mas Hanafi."
"Aku tidak butuh ucapan selamat, Nin. Yang aku butuhkan sekarang adalah, kamu datang untuk menemani aku menikah dengan mbak Desi."
Seketika, mata Nindi membelaka. Bibirnya bergetar. Tangisannya hampir jatuh jika dia tidak segera mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Lagi, senyum pahit terpaksa kembali Anindia perlihatkan. "Kamu bercanda, Mas. Kamu minta aku temani kamu menikah lagi? He ... di mana hatimu?"
"Anin, aku tidak bisa tanpa kamu. Jika kamu ada di sampingku, aku akan kuat. Aku akan merasa bahwa yang aku nikahi adalah dirimu. Bukan mbak Desi."
"Lalu aku juga tidak bisa, Mas. Aku tidak bisa melihat suamiku menikah lagi. Sudah cukup bagiku untuk merelakan kamu menikah sebelum kita bercerai. Jadi, tolong jangan tambah rasa sakit untuk hati ini. Karena untuk merelakan kamu menikah lagi saja hatiku sudah sangat hancur."
"Anin."
"Mas Afi. Tolong jangan luluh lantahkan hatiku tanpa sisa. Ku mohon. Tinggalkan kebahagiaan untuk hati ini. Jangan hancurkan semuanya. Aku masih ingin hidup, Mas."
Hanafi langsung tertunduk. "Aku tidak bermaksud menyakiti kamu sedemikian rupa, Nin. Aku hanya-- "
"Kenyataannya, kamu malah telah melakukannya, Mas. Lalu sekarang, kamu masih ingin menyiksa hati ini lagi dengan meminta aku melihat kamu menikahi wanita lain? Apa tidak cukup kejam dirimu selama ini padaku, Mas?"
"Kamu bilang kamu cinta. Nyatanya, tidak. Karena jika kamu beneran cinta, kamu akan rela melepaskan diriku, Mas Afi."
"Karena aku cinta, aku ingin tetap mempertahan dirimu, Nin. Aku ingin terus berada di sisi mu selamanya."
"Cinta ku lebih ke pada serakah, Mas. Bukan murni mencintai."
"Anin. Aku ... maafkan aku. Baiklah. Kamu tidak perlu melihat aku menikah. Tapi ku mohon, setelah aku pulang, tunggu lah aku di kamar ini. Aku ingin langsung memelukmu nanti."
"Pergilah. Jangan buat calon istrimu menunggu, Mas Afi."
"Kak. Masih lama?" Terdengar suara Hana memanggil di depan pintu kamar.
"Semuanya sudah siap. Kita harus berangkat sekarang. Mbak Desi dan keluarganya sudah menunggu di tempat acara, Kak."
"Ya ... aku sudah siap. Aku akan keluar sebentar lagi. Kalian tunggu saja aku di mobil."
"Oke. Jangan lama-lama. Kita gak enak jika membuat mereka menunggu lama."
"Ya. Pergilah!"
"Hm."
Terdengar langkah kaki Hana pergi meninggalkan pintu kamar tersebut. Setelah kepergian Hana, Hanafi langsung melihat ke arah Anindia. Tatapan lekat tanpa berkedip. Nindi ingin menjauh, tapi Afi tidak mengizinkannya.
"Aku masih suami kamu, Nin. Jangan lupa."
Nindi tidak bisa menjawab. Sedangkan Afi malah langsung mendekap tubuh Anin dengan erat. Menjatuhkan ciuman ke bibir indah milik sang istri dengan penuh hasrat. Anindia merasa jijik akan ciuman tersebut. Sayangnya, ingin menolak, dia tidak bisa.
Selama Afi menjatuhkan ciuman, Anin terus menghindar. Hal tersebut membuat Hanafi tersenyum pahit akan penolakan yang dirinya terima. Pelukan dia lepaskan, dia lihat pandangan ke arah lain.
"Ha. Anin, belum juga aku resmi jadi suami wanita lain, kamu sudah merasa jijik saja padaku. Bagaimana nantinya jika aku sudah resmi menikah? Mungkin, kau akan melihatku sejijik kamu melihat kotoran."
"Tapi, aku memang pantas mendapatkan hal itu. Karena jangankan dirimu, aku saja tidak suka pada diriku sekarang. Aku tidak ingin, Nin. Aku tidak ingin pernikahan ini. Aku tidak ingin bersama dengan wanita lain. Tapi, tapi aku harus ... ah, lupakan saja. Karena semuanya tidak akan berubah. Apapun yang aku katakan, semuanya tidak akan merubah keadaan."
"Anindia. Aku pergi sekarang. Ku mohon, saat aku pulang, kamu masih bersedia melihatku sebagai manusia. Setidaknya, sampai kamu resmi berpisah dengan ku, kamu masih rela aku sentuh dengan tangan ini."
anak selingkuhan desy..
kmu pasti bisa melewatix ,ad x
dukungan ayah mu nin...
sdh gk layak dipertahan kan rmh tangga mu nin...
tinggalkan afi .sdh gk ad yg pantas
pertahan kan ,jangan paksakan untuk
melewati kerikil2 itu ...
semoga pd menyesal ntt x setelah pisah sma nindi...biar tau rasa
itu karma mu.desi enak kan, dah rahim rusak gk bisa punya anak pelakor lagi. iuhh amit amit.
mnikah diatas derita wanita lain kok mau bhgia, nyadar lah kau itu pelakor.