NovelToon NovelToon
Senja Di Tapal Batas (Cinta Prajurit)

Senja Di Tapal Batas (Cinta Prajurit)

Status: sedang berlangsung
Genre:Dark Romance / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cintapertama / Mengubah Takdir
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: khalisa_18

Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.

Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.

Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke kongo, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.

Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Senyum di balik debu, dan Janji

Langit Goma tampak seperti luka lama yang belum sembuh, kelabu, tebal, dan bergulung di atas tanah hitam vulkanik yang kering. Panasnya bukan sekadar dari matahari, tapi dari napas bumi yang bergolak di perut Kivu. Angin membawa aroma garam dan asap kayu, berpadu dengan bau besi dari kendaraan lapis baja PBB yang berderit perlahan di jalan tanah.

Kalea menatap horizon dari balik kaca helm birunya. Di permukaan helm itu, pantulan langit Goma bergoyang, seolah ingin memeluk sekaligus menguji. Ini hari pertamanya memimpin patroli observasi perdamaian. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu, di sini, perdamaian adalah ilusi yang selalu harus diperjuangkan dan di pertahankan.

“Ingat,” suara Kapten Dika terdengar melalui interkom. “Setiap langkahmu adalah perpanjangan tangan dari negara. Kita tidak menjual gagah-gagahan, kita menawarkan ketenangan. Lettu Kalea, kau yang pimpin komunikasi lapangan hari ini.”

“Siap, Kapten,” jawab Kalea, matanya tetap siaga.

APC berhenti di tepi permukiman Nyamulagira, barisan gubuk dari seng karatan dan bambu kering yang berdiri di antara reruntuhan beton. Di baliknya, Danau Kivu berkilau seperti cermin yang menahan amarah.

“Izin, Komandan. Lihat lah warga lokal tampak ramah. Mereka melambaikan tangan ke arah kita,” kata Sertu Fauzi dari jendela kecil kendaraan.

Kalea tersenyum tipis. “Sertu Fauzi, di negeri ini, senyum adalah mata uang terakhir yang mereka punya. Balas dengan hormat, bukan rasa kasihan ya.”

Ia membuka helmnya perlahan. Hembusan udara panas langsung menyerbu wajahnya. Tapi di balik rasa pengap itu, ada sesuatu yang lain, harum tanah, aroma kehidupan yang keras kepala.

Anak-anak mulai berlarian mendekat, tertawa kecil sambil berteriak, “MONUSCO! MONUSCO!”, nama pasukan perdamaian yang bagi mereka berarti pelindung.

Tawa mereka menyayat hati Kalea. Ia tahu, banyak dari tawa itu lahir dari perut lapar. Tapi tetap, tawa. Tanda kehidupan belum menyerah.

Tiba-tiba, kendaraan berhenti mendadak.

Seorang pria tua jatuh tersungkur di tengah jalan, karung besar yang ia bawa terlepas dari punggungnya. Isinya berserakan, batu-batu hitam berkilat, padat, memantulkan cahaya matahari seperti sebuah serpihan dosa.

“Lettu Kalea, Sertu Fauzi, turun. Terapkan prosedur kemanusiaan,” perintah Kapten Dika cepat.

Kalea melompat turun. Debu tebal naik seperti kabut perang. Ia berjongkok di samping pria itu. Tubuh lelaki itu kurus seperti bayangan. Napasnya terasa pendek.

“Pole sana, Baba. Tutakusaidia,” ucap Kalea lembut dalam bahasa Swahili.

(Maaf sekali, Ayah. Kami akan membantumu.)

Pria itu menatapnya dengan mata bening yang nyaris tak percaya. “Asante, Mama Amani… Asante sana.”

Ibu Perdamaian.

Kalea tertegun. Julukan itu menembus lapisan baja di dalam dirinya.

Ia memungut karung itu. Beratnya luar biasa. Butiran keringat jatuh di pipinya, bercampur debu dan sinar matahari. Ia tahu betul apa yang diangkatnya, sekarung besar coltan, mineral berharga yang menjadi bahan utama chip elektronik, dan alasan mengapa negeri ini terus berdarah.

“Sersan Fauzi,” bisiknya, “beban ini bukan sekadar batu. Ini kutukan yang mengalir di darah bumi.”

“Siap, Komandan. Tapi setidaknya hari ini, ia tahu kita di pihaknya.”

Kalea membantu pria itu berdiri, lalu menatap karung itu sekali lagi. Ia ingin mengatakan sesuatu, tentang keadilan, tentang dunia yang tak adil, tapi lidahnya kelu.

Ia hanya dapat berbisik,

“Allah, kuatkan tangan kami untuk membawa cahaya, bukan ketakutan.”

Anak-anak masih di sana, di bawah sebuah pohon yang layu daunnya. Mereka menatap penasaran, lalu tertawa melihat Kalea yang menepuk-nepuk debu di seragamnya.

Kalea melangkah mendekat, menunduk agar sejajar dengan pandangan mereka.

“Jambo, watoto!” (Halo, anak-anak!)

Mereka terdiam. Salah satu anak perempuan berambut keriting mendekat, suaranya seperti bisikan daun,

“Macho yako ni mazuri, Dada.” (Matamu indah, Kakak.)

Kalea tersenyum. “Mimi ni rafiki yenu. Hutoka Indonesia, mbali sana.” (Aku teman kalian. Aku datang dari negeri jauh bernama Indonesia.)

Mereka menatap takjub. “Indonesia? Apakah di sana juga ada perang?”

Pertanyaan itu membuat Kalea tercekat. Ia teringat ayahnya, rumahnya, laut biru di pantai pasir putih yang tenang.

“Tidak. Di sana, kami sudah damai.”

Dari dalam APC, Kapten Dika menyaksikan semua itu lewat monitor. Ia tertawa kecil.

“Operasi Buka Kacamata sukses. Kau menaklukkan pasukan kecil tanpa peluru.”

“Siap, Kapten. Efek samping tak terduga dari protokol hubungan sipil-militer,” balas Kalea, masih tersenyum.

“Hati-hati, Letnan. Di negeri seperti ini, yang tampak hangat bisa saja menyimpan dingin yang mematikan,” ujar Dika, suaranya menurun. “Kita menjaga, tapi jangan lengah. Jangan pernah lelah.”

Sore menjelang. Matahari Afrika seperti koin tembaga raksasa, tergantung malas di balik kabut vulkanik. Kalea duduk di tepi APC, menatap anak-anak yang kini menggambar di tanah dengan ranting kering. Ia menyadari satu hal, di tengah kehancuran, manusia selalu mencari cara untuk mencipta.

Ia mengeluarkan buku kecil dari saku dalam rompinya, sebuah Mushaf saku yang selalu ia bawa ke mana pun. Halamannya sudah menguning, tapi ayat-ayatnya masih bersinar.

Ia membuka surat Al-Hujurat ayat 13.

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal...”

Matanya berembun. Ia sadar, ayat itu kini hidup di hadapannya.

Di sini, di Goma, ia sedang mengenal ciptaan Allah yang paling terluka.

Malam turun cepat di Afrika. Bumi Kongo seakan menghela napas panjang sebelum tenggelam ke gelap. Di kejauhan, kilatan api tampak di lereng Nyiragongo—tanda gunung itu masih bernafas.

“Komandan,” kata Sertu Fauzi, memecah keheningan. “Anak-anak tadi datang ke pos. Mereka ingin lihat ‘mobil biru besar’ kita.”

Kalea tertawa pelan. “Izinkan mereka masuk pagar luar. Tapi jangan lupa, berikan air bersih. Itu lebih berharga dari permen.”

Ia bangkit, menatap ke arah desa. Di antara cahaya lampu minyak, ia melihat bayangan pria tua pembawa karung tadi. Pria itu berjalan kembali, kali ini tanpa beban di punggungnya. Ia melambaikan tangan pelan.

Kalea membalas. Dalam hatinya ia tahu, esok karung itu akan diisi lagi, dan lagi. Tapi barangkali, hari ini pria itu tidur dengan hati lebih ringan.

Dan mungkin, hanya mungkin, itulah arti jihad di tanah asing, bukan memerangi manusia, tapi menaklukkan keputusasaan.

“Letnan,” suara Kapten Dika terdengar lagi, “Bagaimana kesan pertamamu tentang Goma?”

Kalea menatap langit malam, di mana bintang tampak redup di balik debu.

“Indah, tapi menyakitkan, Kapten. Seperti wajah dunia yang lupa caranya berdoa.”

Dika terdiam sesaat. “Mungkin tugasmu di sini bukan hanya menjaga perdamaian, Kalea. Tapi mengajarkan dunia untuk berdoa lagi.”

Kalea menatap kembali ke arah anak-anak yang masih tertawa di luar pagar.

Ia menepuk dada seragamnya, tempat lambang Garuda tersemat di atas bendera PBB.

“Garuda sudah menjejak, Kapten. Tapi kali ini, bukan dengan sayap baja. Dengan senyum dan janji.”

Malam menutup hari pertama misi Garuda di Goma. Dari jauh, suara azan samar terdengar dari sebuah masjid kecil di lereng bukit, dibawa angin lembut yang melewati danau. Kalea menunduk, menutup mushafnya, dan berbisik.

“Ya Allah, jadikan setiap langkah ini saksi bahwa kami datang membawa rahmat, bukan kemegahan.”

Di balik dinding baja kendaraan, suara angin bergema seperti doa panjang yang menembus gelap Afrika. Dan di langit yang muram itu, bulan perlahan muncul, pucat, tapi pasti. Sama seperti sebuah harapan baru.

1
atik
lanjut thor... semangat 💪
Khalisa_18: Makasih KK, di tunggu update selanjutnya ya
total 1 replies
atik
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!