Patah hati membawa Russel menemukan jati dirinya di tubuh militer negri. Alih-alih dapat mengobati luka hati dengan menumpahkan rasa cintanya pada setiap jengkal tanah bumi pertiwi, ia justru diresahkan oleh 'Jenggala', misinya dari atasan.
Jenggala, sosok cantik, kuat namun keras kepala. Sifat yang ia dapatkan dari sang ayah. Siapa sangka dibalik sikap frontalnya, Jenggala menyimpan banyak rahasia layaknya rimba nusantara yang membuat Russel menaruh perhatian khusus untuknya di luar tugas atasan.
~~~~
"Lautan kusebrangi, Jenggala (hutan) kan kujelajahi..."
Gala langsung menyilangkan kedua tangannya di dada, "dasar tentara kurang aj ar!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Enam~ Mata indah namun judes
Tak ada yang bisa ia lakukan di rumah, selain makan dan nonton. Membosankan.
Selepas mengantar mama, ia mencoba mengusir kebosanan dengan berjalan-jalan berkeliling makko, ah tidak---tidak, terlalu luas! Ia tidak sekuat papa. Sebab jika ia tarik kembali kawasan Ciparu sejak awal gerbang gapura merah bertuliskan tentara negri itu, jaraknya bisa sampai berkilo-kilo. Ia ingat ada mall di sana, dimana mama mengajaknya kesana sepulang mengajar nanti.
Ia juga sempat menemukan gedung olahraga, dan biasanya CFD dilaksanakan setiap weekend disana. Tempat berenang milik kesatuan namun dibuka untuk umum juga dan beberapa fasilitas umum lain seperti masjid besar di pinggir jalan besar dan area olahraga.
Hanya berolahraga berkeliling sampai kaki letih sambil melihat-lihat barangkali selama 2 tahun ia pergi ada yang berubah selain dari tampak--lebih tak terawatnya beberapa rumah hijau di pinggiran jalan dekat dengan brigade infanteri II, atau mungkin belum tersentuh revitalisasi sebab di sebagian lainnya bangunan rumah hijau terlihat lebih rapi dan dalam kondisi baru.
Udara masih cukup nyaman, matahari pun belum terlalu tinggi membakar para penghuni bumi.
Lalu langkah besar Gala membawanya melewati beberapa rukun tetangga juga blok-blok perumahan biasa saja. Beberapa kali ia berpapasan dengan warga yang juga sedang berolahraga pagi. Minimarket, rumah ibadah, beberapa bangunan brigade, kantor dan beberapa sudut budidaya ikan, ternak dan lahan kebun satuan kecil prajurit.
Keringat yang bercucuran hanya ia tepis dengan punggung tangan, ayunan langkahnya kini terkesan hanya berjalan di pinggiran trotoar lapangan besar satuan brigade komando pasukan khusus sambil mengatur nafas.
Duduk di pinggirannya, menyatu dengan para pejalan kaki tanpa meninggalkan jejak jika ia adalah seorang putri dari salah satu prajurit disini.
Sambil memandang bebas ke arah lapang hijau yang mulai disiangi oleh siraman cahaya surya. Matanya menemukan segerombol kecil prajurit yang berjalan di dalam sana.
Ada lamunan yang melintas, dan baru ia sadari jika di dalam gedung sana, ada seseorang yang pernah ia tunggu-tunggu kehadirannya. Pernah ia rindukan, dan berakhir membuatnya sakit.
Gala menghela nafasnya, kembali bangkit dan melanjutkan ayunan kaki menyusuri perjalanan pulang, tak mau berlama-lama bermain-main dengan rasa sakit hatinya.
Sempat menyebrang sebab berniat mampir sejenak ke arah minimarket yang berada tepat di samping sebuah asrama dengan penjagaan dan palang pintu di depannya.
...Asrama Kesatrian batalyon XX...
Gala hanya membeli air mineral dan dua bungkus roti sandwich disana.
Sambil mengunyah, ia berjalan melanjutkan perjalanan pulang, hingga netranya menemukan gerbang besar lain dimana papa berada sekarang, bahkan dari dalam sana terdengar banyak sekali letusan peluru, gedebag-gedebug dan teriakan lantang nan tegas bukti jika ada unit prajurit yang tengah berlatih.
Diam sejenak di depan gerbang dan mematung disana bukan berarti Gala berniat masuk ke dalam sana. Pandangannya terkesan nanar dan nyalang, menelan kembali denyutan hatinya. Jiwanya selalu ingin menjerit jika ingat papa.
Ada rasa ingin memperbaiki hubungannya dan papa. Namun, rasa benci dan amarah lebih besar mendominasi Gala, badai dalam dirinya seolah tak pernah memberi jeda untuk usai. Apalagi sikap papa yang selalu seenaknya termasuk tadi pagi, yang mengambil keputusan atas hidupnya, seolah ia tak pernah melakukan kesalahan apapun, tidak...ini hidupnya! Tangannya mengepal hebat. Sudah jelas, ia akan pulang tak peduli jika papa tak suka atau murka, itu sudah biasa.
Ia menunduk menatap tali sepatu yang mendadak terbuka dan melambai, praktis Gala berjongkok untuk mengikatnya.
"Bang keluar?"
Gala mengalihkan pandangannya pada percakapan di depan sana. Seseorang seperti hendak keluar dari dalam sana, dengan pakaian seragam serba hitam lengkap dengan kacamata dan topi.
Dia mengangguk, "minimarket sebentar." Katanya menurunkan kacamata dan topinya menunjukan wajah berkeringat.
Russel melihat seorang gadis yang sempat beberapa kali bertemu dengannya itu. Pertama, saat pelantikan dan gadis itu yang membuat komandannya kesal sekaligus meminta maaf pada Abi Fath dan jajaran petinggi militer lain.
Dan kedua tadi pagi-pagi sekali, saat wajah angkuh itu menatapnya beserta para prajurit lain dengan delikan sinis, oh astaga! Ayolah nona, tak bisakah wajah manis itu dibuat lebih manis lagi dengan senyuman?
Wajah juteknya itu menunjukan sisi angkuhnya. Nyatanya sama saja, merasa sudah hebat karena ayahnya seseorang yang memiliki jabatan lebih tinggi rupanya, hm? Sehingga ia patut bersikap galak seperti itu pada para prajurit muda?
Russel berdiri di depannya, tepat saat Gala selesai menyimpulkan tali sepatunya. Nona jutek ini harus ia beri pelajaran, sedikit gula dan candaan sepertinya, biar mukanya mengenal kata manis.
Cukup terkejut dengan kehadiran yang tiba-tiba itu. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, apalagi senyum ramah, Gala melengos begitu saja melewati Russel sambil berdecak kesal.
"Hey non," panggil Russel, "ini minumnya ngga dibawa? Jangan nyampah disini."
Langkahnya seketika terhenti, sempat mele nguh sejenak, ia sampai lupa dengan botol minumnya sebab tergesa menghindari lelaki di depannya itu.
Gala berbalik.
Ia bukan tak hafal dengan wajah tengil Russel, yang pagi tadi so akrab tersenyum padanya, dan ia sangat menghindarinya. Tak mau mengenal lagi lelaki dengan title tentara. Akan ia tandai itu. Baginya tentara makhluk breng sek, kecuali om Cikal dan om Zaid. Meskipun tak ia pungkiri kedua rekan papa itu pun sedikit breng sek kadang-kadang.
Kembali, gadis itu tak mengucapkan sepatah katapun. Hendak merebut botol minum miliknya dari tangan Russel, namun alih-alih mendapatkannya, Russel justru mengangkatnya ke atas hingga Gala hanya meraih angin saja.
"Ck." Gala melotot ke arah Russel, sementara lelaki itu justru mendengus geli.
"Menurut kamu lucu, ha?!" sengak Gala melemparkan sikap tak sukanya, ia bahkan tak sedikitpun memberikan kesan ramah.
Woow...
Russel masih tetap tersenyum, lalu memberikan botol itu, dimana Gala menatapnya ragu sejenak sambil menatap kedua netra kelam Russel yang masih menyipit karena tersenyum padanya, kemudian ia merebutnya dengan segera dan kasar, lalu pergi meninggalkan tentara tengil itu.
"Sama-sama..." ucap Russel membuat Gala yang sudah berjalan cepat hanya menoleh dan mendelik lebih tajam lagi.
Ia masih menatap kepergian Gala, bahkan semakin kecil saja sosok gadis pemilik mata indah namun judes itu. Entahlah, rasanya sosok gadis ini baru dilihatnya disini, atau memang sanak saudara dari atasannya dan tengah berkunjung.
Namun terlepas dari siapa dia, melihatnya mengingatkan Russel pada seseorang yang dulu pernah singgah di hatinya.
Sepertinya alis Gala, mungkin mata? Ataukah bibirnya yang mirip dengan seseorang...
Russel mengusir pikiran itu fokus pada tujuannya semula.
Mama dan Gala benar-benar menghabiskan waktu selepas pulang mama mengajar untuk jalan-jalan di mall Ciparu, entah itu hanya sekedar makan berdua, berbelanja atau memutari pusat perbelanjaan. Yang jelas, keduanya sama-sama melepas kerinduan, terutama mama.
Sudah lama sekali, bahkan mama tak ingat kapan raut wajahnya sesegar dan secerah sekarang.
Mama masih menyuapkan ayam bakar beserta nasi ke dalam mulutnya, saat keduanya memutuskan untuk makan di area foodcourt mall sembari Gala yang bercerita banyak tentang kota Karang, tentang tetangga yang sangat mengenal keluarga mereka, tentang lingkungan dimana dulu mama pernah tinggal juga.
"Makan yang banyak. Kamu masih sering makan di tempat om Leo?"
"Masih." Gala mengangguk, "masih senang dengan se'i sapi, dengan Kolo atau jagung bose." Lanjutnya membuat mama mengangguk-angguk, "wah, kangen sekali mama sama kota Karang, La. Waktu tanta Eidis melahirkan, niatnya mama mau kesana, tapi sayang....waktunya barengan dengan sekolah yang harus urus anak-anak ujian."
Gala mengangguk, "iya ma. Tanta Eidis nanyain mama, beliau paham."
Mama menthe sah halus, "kapan-kapan deh mama rencanakan lagi. Lalu terbang ke sana, kalo bisa bersama papa, sekalian mengunjungi makam tanta Rara..." Ucap mama pelan nan hati-hati, ada lenguhan dan denyutan sakit darinya. Tak bisa dipungkiri kejadian 2 tahun lalu itu, benar-benar menghancurkan keluarganya, bersamaan dengan itu...senyum Gala ikut meredup dan berubah menjadi kaku, bahkan Gala menaruh sejenak makanannya untuk meneguk air minum.
Sadar akan perubahan Gala, mama lantas menyentuh tangan putri bungsunya itu, "La, Lala harus tau, kalo papa sayang Lala. Papa hanya tak tau caranya...apa ini masih soal..." mama tak melanjutkan ucapannya sebab Gala sudah menggeleng, "bukan, ma." tukas Gala berbohong.
Mama tau jika Gala sebenarnya sedang berbohong, namun putrinya itu selalu saja mengatakan alasan yang sama akan kepergiannya, jika ia tak betah dengan sikap keras sang ayah.
"Lala sayang, dengar..."
Gala menggeleng, ia merasa mengacaukan hari ini yang seharusnya bahagia untuk mama dan dirinya. Obrolan tentang papa, akan selalu mengorek luka lama diantara keduanya.
"Bisakan kita tak usah membicarakan papa lagi, ma? Atau siapapun saat ini? Untuk tawaran papa dan mama, nanti Lala pikirkan lagi. Tapi yang jelas, untuk saat ini, Lala masih memiliki pekerjaan di kota Karang, ma." dan lagi-lagi ia harus berbohong. Bahkan Gala sudah meminta maaf berkali-kali pada mama entah itu yang diucapkan secara lisan maupun yang hanya bisa ia gumamkan saja dalam hati sebab alasan terbesarnya adalah, ia masih merasa kecewa pada papa tentang peristiwa 2 tahun lalu itu. Kecewa pada keadaan.
Jadi, mama hanya berusaha tersenyum meskipun senyum itu terasa palsu dan terpaksa.
Mama mengangguk, "jadi kapan kamu kembali ke kota Karang lagi?"
"Lusa."
.
.
.
.
Semoga setelah badai ini menerjang, akan ada damai datang
lanjut
lanjut
ikutan nangis dong di bab ini ikut merasakan yg gala rasakan....klo gala ice rasa getir ...yg aq rasa mie kuah rasa asin alias ingus meleleh krn baca sambil makan mie rebus 😭😭