Perselingkuhan adalah sebuah dosa terbesar di dalam pernikahan. Namun, apakah semua perselingkuhan selalu dilandasi nafsu belaka? Atau, adakah drama perselingkuhan yang didasari oleh rasa cinta yang tulus? Bila ada, apakah perselingkuhan kemudian dapat diterima dan diwajarkan?
Sang Rakyan, memiliki sebuah keluarga sempurna. Istri yang cantik dan setia; tiga orang anak yang manis-manis, cerdas dan sehat; serta pekerjaan mapan yang membuat taraf hidupnya semakin membaik, tidak pernah menyangka bahwa ia akan kembali jatuh cinta pada seorang gadis. Awalnya ia berpikir bahwa ini semua hanyalah nafsu belaka serta puber kedua. Mana tahu ia ternyata bahwa perasaannya semakin dalam, tidak peduli sudah bertahun-tahun ia melawannya dengan gigih. Seberapa jauh Sang Rakyan harus bergulat dalam rasa ini yang perlahan-lahan mengikatnya erat dan tak mampu ia lepaskan lagi.
Kisah ini akan memeras emosi secara berlebihan, memberikan pandangan yang berbeda tentang cinta dan kehidupan pernikahan. Cerita p
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Florentina: Keluarga
Florentina kehabisan kata, sesuatu yang memang tidak ia punya. Ia sungguh bingung bagaimana mengatakannya kepada suaminya.
“Ehm, Sayang. Papa minta uang,” ujar Florentina pelan, terlalu pelan bahkan.
Sang mencoba menahan agar perubahan raut wajahnya tidak terlalu kentara.
“Oiya? Kapan nelponnya? Tadi?” jawab Sang. Ia berhasil menunjukkan mimik yang normal.
Florentina mengangguk. “Papa masih bikin proyek di rumah, katanya mau besarin bagian dapur. Ehm … menurut Sayang, apa perlu kita kasih?” tanya Florentina pelan dan ragu-ragu.
Sang tahu bahwa Florentina sendiri tidak setuju ide ini, meskipun yang meminta adalah orang tuanya sendiri.
“Kita punya uang, kan?” tanya Sang masih menutupi reaksi aslinya.
Florentina mengangguk. Harusnya keduanya sama-sama tahu bahwa bukan itu intinya. Setiap menghubungi mereka, kedua mertua Sang itu hanya menghubungi anak, cucu-cucu dan menantunya ketika sedang membutuhkan. Dan itu pasti masalah uang. Tidak ada basa-basi atau intensi lain, misalnya saja menanyai kabar, atau meminta informasi tentang keadaan mereka di kota baru tempat mereka tinggal itu, dan sebagainya dan sebagainya.
Penghasilan Sang yang lumayan baik sanggup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan bila sesekali kedua mertuanya itu meminta. Namun, kebiasaan buruk meminta, bahkan cenderung memaksa itulah yang tidak diinginkan Sang.
Florentina juga sama. Ia bahkan lebih-lebih. Namun, caranya berbahasa selalu tertahan oleh beragam pikiran dan kegagalan.
“Flo Sayang. Papa kamu kan orang tua kamu. Sedangkan uang kita jelas adalah uang kamu juga. Kamu bebas memutuskan untuk diapakan uang yang kita miliki,” jelas Sang.
“Tapi, kita tidak bisa terus seperti ini. Maksudku, memberikan uang ketika Papa Mama minta,” Ujar Florentina akhirnya.
Sang mengangguk. “Berikan saja apa yang mereka minta, Sayang. Tapi, mulai sekarang, kita harus memutuskan lingkaran setan ini. Kita akan didik agar anak-anak kita kelak untuk mandiri dan tidak tergantung dengan orang tuanya. Sebaliknya, kita juga harus mempersiapkan diri supaya kalau sudah sama-sama tua, keriput, berambut putih, kita tidak menyusahkan anak-anak dan meminta-minta dari mereka.”
Sang meraih tubuh mungil Florentina, memeluknya erat, mengirimkan kehangatan sebanyak mungkin ke tubuh dan jiwa sang istri.
Sang, laki-laki baik, semi sempurna, mungkin malah sempurna secara utuh bagi banyak orang.
Ia tak keberatan, meski beban itu tetap ada. Ia tak mengingkarinya. Tapi, ia tak terlalu mempermasalahkan dan menghindari untuk memperumit masalah yang sepele dan tidak terlalu signifikan.
Masalahnya, ia terlalu sering melakukan hal ini sehingga ada semacam kekosongan di dalam jiwanya yang perlahan semakin membesar tanpa ia sadari.
Salah satu permasalahan utama di dalam keluarga mereka malah tidak berasal dari pasangan suami istri ini, melainkan dari mertua Sang, kedua orang tua Florentina. Sudah sedari awal, uang dan latar belakang ekonomi adalah hal paling utama yang menjadi fokus kedua orang mertuanya itu. Meminta ‘bantuan’ ekonomi dalam bentuk uang seperti sudah menjadi kebiasaan saja. Malah, Sang dipaksa untuk merasa bahwa memberikan uang kepada kedua mertuanya itu adalah suatu bentuk kewajiban.
Sang tahu risiko yang harus ia hadapi ketika telah memutuskan untuk meminang seorang Florentina. Sejak pertama berpacaran dengan Florentina pun, Sang sudah tahu lereng mana yang harus ia daki dan lautan mana yang harus ia sebrangi. Tidak hanya itu, ia bahkan berhasil menundukkan badai yang berasal dari pertentangan keluarga yang memiliki latar belakang budaya, ekonomi bahkan agama yang berbeda.
Sayangnya, badai yang menggoyangkan bahtera rumah tangga mereka itu tidak pernah benar-benar berhenti.
Masalah uang, mungkin bukan menjadi pikiran Sang. Ia memang pekerja keras, sudah bekerja keras, serta mendapatkan hasil yang sesuai. Mengeluarkan uang untuk orang yang ia kasihi, entah istri, anak, atau keluarga istri, sepertinya tidak menjadi soal. Masalahnya, Sang dan keluarganya tidak mendapatkan apa yang mereka mau dan butuhkan.
Damar, Gendhis, dan Jati tidak pernah mendapatkan perhatian yang diperlukan dari kedua opa dan omanya itu. Seakan-akan memiliki tiga cucu yang lucu, cerdas, baik dan sehat bukanlah sebuah anugrah.
Sang, sebagai seorang ayah yang bijak, tidak pernah mempertajam masalah ini. Ia tidak pernah mencoba mengingatkan kepada ketiga anaknya bahwa apa yang dilakukan opa oma mereka itu bukan sebuah hal yang baik. ia tak pernah memanas-manasi anak-anaknya, membandingkan mereka dengan orang tuanya sendiri, termasuk keluarga dan keluarga lainnya. Sebaliknya, ia yang memenuhi kebutuhan cinta dan kasih anak-anaknya itu dengan sepenuh hati, tentu dengan bantuan sang istri pula.
Malam itu, Sang mencumbui Florentina.
Cinta diantara mereka memang mungkin tidak sepanas sewaktu pacaran dan di saat awal-awal pernikahan. Waktu itu, api berkobar, menggelora, membakar semua apa yang ada. Tubuh keduanya adalah semburan api bumi.
Namun sekarang, kehangatan itu terjaga. Bukan lagi panas.
Bukankah yang penting adalah hangat abadi, dibanding api yang menyala tetapi hanya sementara?
Tidak ada yang kurang ketika Sang bercinta bagi Florentina. Caranya menyentuhi tubuh sang istri, menatap kedua matanya, sampai menyampaikan nada-nada dan ritma di dalam gerakannya, semua sudah pas, tidak kurang, tidak lebih.
Bercinta adalah bahasa bagi keduanya untuk meredakan ketegangan yang ada. Ketidakpiawaian Florentina dalam berkomunikasi, ditambah dengan sifat Sang yang berusaha untuk melakukan apa saja untuk membuat semua hal baik-baik saja bahkan mengarah ke sempurna itu harus dilebur di dalam adegan percintaan tersebut.
Florentina meletakkan kepanya di dada Sang yang masih cukup bidang untuk usianya itu. Tubuh Sang tidak hangat, melainkan panas. Sedari dulu memang begitu adanya Sang. Florentina bercanda mengatakan bahwa Sang berdarah panas. Setiap sentuhannya ke kulit Florentina membakar.
Musim kemarau, meski Florentina tidak pernah banyak protes, ia bisa mengeluh kalau Sang menyentuhnya. “Kamu panas, tahu, Sayang?” katanya.
Sebaliknya, di musim hujan, sentuhan Sang adalah kehangatan yang diperlukan Florentina. Sentuhan Sang tidak hanya menghangatkan dan menentramkan Florentina, tetapi membuat otot-ototnya santai. “Seperti dipijati,” ujar Florentina.
Malam ini, pendingin ruangan yang menyala tidak membuat keduanya kedinginan walaupun tanpa busana. Adegan percintaan tadi telah berhasil memanaskan suasana, apalagi tubuh Sang memang selalu menyala bagai bara yang tertiup angin. Itu sebabnya Florentina selalu betah menempelkan tubuhnya pada tubuh Sang setiap selesai bercinta.
Florentina mendengarkan detak jantung suaminya yang mulai berubah menjadi lebih tenang. Tadinya, sama seperti dirinya, detak jantungnya memacu, seperti hendak berlomba dengan dunia. Entah akhirnya ia berhasil menang atau tidak, itu tidak menjadi perkara lagi, Florentina sudah merasa ia berhasil memenangkan kembali hati suaminya yang sempat mengambang-ngambang di angkasa itu.
Tidak melalui sebuah percakapan yang perlu, Florentina tahu bahwa harus ada cara lain untuk menyelesaikan kegalauan ini. Dan, ya, ia merasa keduanya telah berhasil menyatukan kembali jalan dan tujuan. Percakapan selesai.
kelainan kek Flo ini, misal nggak minum obat atw apa ya... ke psikiater mungkin, bisa "terganggu" nggak?
kasian sbnrnya kek ribet kna pemikirannya sendiri
Awalnya sekedar nyaman, sering ketemu, sering pke istilah saling mengganggu akhirnya?
tapi semoga hanya sebatas dan sekedar itu aja yak mereka. maksudnya jngn sampe kek di sinetron ikan terbang itu😂
biarkan mereka menderita dan tersiksa sendiri wkwkwkwk.
Setdahhh aduhhh ternyata Florencia???
Jangan dong Flooo, jangan jadi musuh dari perempuan lain.
Itu bkn cinta, kamu ke Sang cuma nyaman. Florentina selain cantik baik kok, anaknya tiga loh... klopun ada rasa cinta yaudah simpan aja. cinta itu fitrah manusia, nggak salah. tapi klo sampe kamu ngrebut dari istri Sang. Jangan deh yaa Flo. wkwkwkwk
Keknya Florentina biarpun sama introvert kek Flo, tipe yg kaku ya... berbeda sama Flo. intinya Sang menemukan sesuatu yg lain dari Flo, sesuatu yg baru... ditambah dia lagi masa puber kedua. yang tak dia temukan sama istrinya. Apalagi setelah punya tiga anak. mungkin yaaa
Flo dengan segala kerumitannya mungkin hanya ngrasa nyaman, karena nggak semua orang dikantor bisa memahami spt Sang memahami Flo. sekedar nyaman bkn ❤️😂
Flo berpendidikan kan? perempuan terhormat. masa iya mau jadi pelakorr sihh? ini yg bermasalah Sang nya. udah titik. wkwkwkwk