Farraz Arasy seorang pemuda biasa tapi mempunyai kisah cinta yang nggak biasa. Dia bukan CEO, bukan direktur utama, bukan juga milyarder yang punya aset setinggi gunung Himalaya. Bukan! Dia hanya pemuda tampan rupawan menurut emak bapaknya yang tiba-tiba harus terikat dalam hubungan cinta tak beraturan karena terbongkarnya rahasia besar sang calon istri sebelum pernikahan mereka terjadi!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ke sekolah bareng
"Mas. Nanti kalau ada yang tanya kenapa saya berangkat ke sekolah bareng mas Arraz, saya harus jawab apa?" Zea tak melihat ke arah Arraz, tapi bibirnya lancar sekali dalam menyampaikan pertanyaan.
"Bilang saja kamu adik saya." Arraz juga tidak melihat ke arah Zea. Mereka seperti dua orang yang terjebak dalam satu ruangan sempit tapi lagi musuhan.
"Owh. Baik. Kalo ada yang tanya, adik kandung atau adik angkat, saya jawab apa?" Kembali Zea bersuara.
"Adik sepupu." Jawab Arraz singkat.
"Oke. Sepupu dari ayah atau dari ibu?"
Kali ini Arraz menoleh ke arah Zea. "Dari mana saja boleh. Terserah kamu."
"Nggak bisa gitu, mas. Kita harus kompak. Nanti kalo ada orang yang tanya saya sepupunya mas Arraz dari siapa, dan saya jawab dari ibu tapi mas jawab dari ayah kan kita jadi ketahuan bohongnya. Jadi kita harus putuskan sekarang. Mau dari ayah atau dari ibu." Zea melakukan briefing pada mas gurunya.
"Dari ayah." Arraz melirik sekilas Zea yang sedang berpikir.
"Hmm. Tapi, ayah saya sudah meninggal mas. Dan keluarga dari ayah saya deket-deket sini lho. Nanti kalo ada yang tanya, ayah kamu bukannya nggak punya saudara. Kok bisa sepupuan sama pak guru Arraz. Saya jawab apa? Mending sepupu dari ibu aja, lebih aman. Soalnya saudara ibu jauh-jauh mas."
"Ya udah kayak gitu juga boleh. Kamu atur aja, bilang kalau saya sepupu kamu dari silsilah keluarga bagian mana aja. Saya terima."
"Siap. Eh mas.. Nanti kalo ada yang tanya, pernah liat ibuk kerja di rumah mas. Bisa kebongkar dong semuanya. Apa jangan ngaku sepupu aja ya mas? Bilang kalo kita baru kenal, tapi udah cocok jadi saudara gitu?" Ide mu to nduk nduk..
"Lagian orang nggak punya kerjaan mana yang tanya-tanya kayak gitu, Zea? Kita bukan artis. Kamu bukan, saya juga bukan. Jadi nggak mungkin ada yang kepo sama kita sampai kayak gitu." Pengen ketawa tapi kok kesel juga. Arraz hanya bisa mencoba menebalkan tembok sabarnya ketika menghadapi bocah belasan tahun di sampingnya.
"Kalo bohong dosa kan mas? Jadi kalo kita bohong--"
"Saya Zea, saya yang nanggung dosanya. Biar saya saja. Kamu duduk anteng sambil minum boba aja. Biar saya yang nanggung semuanya!"
Zea cekikikan. Dia merasa berbincang dengan Arraz sangatlah menyenangkan. Untung saja yang lagi nyebelin sekarang ini adalah si Zea, coba kalo Dewi, Arraz bakal langsung berhentiin mobil dan nurunin Dewi di pinggir jalan.
Mobil berhenti di area parkir sekolah Tadinya Mesra. Sudah bukan rahasia jika seminggu yang lalu Arraz mengajukan cuti untuk mengurus pernikahan dan bulan madu ala kadarnya dengan calon istri yang sekarang udah jadi istri sah Arraz, Dewi. Namun yang mereka nggak tahu adalah pernikahan Arraz dan Zea yang sengaja ditutupi. Karena jika PNS pria melakukan poligami tanpa izin dari pejabat yang berwenang atau melanggar aturan, ia dapat dikenakan sanksi disiplin berat, seperti penurunan jabatan, pembebasan dari jabatan, atau bahkan pemberhentian nggak hormat sebagai PNS. Mau jadi pengangguran di saat beban hidup bertambah dua kali lipat? Tentu Arraz nggak mau.
"Wah manten baru udah masuk kerja. Pagi-pagi klimis banget Ar, seger ya yang abis buang status perjaka." Teman Arraz, seorang guru matematika bernama Maryono biasa dipanggil pak Iyon menghampiri Arraz yang baru tiba. Beberapa menit lebih dulu dari dirinya.
"Pagi-pagi klimis itu wajar. Yang nggak wajar itu kamu, pagi-pagi lemez banget." Arraz bicara tanpa menatap ke arah Iyon.
"Hahaha, ya abis seneng aja kalo kamu udah nikah. Mana sama cewek yang udah kamu pacarin lama. Pasti pol-polan ya malam pertamanya?" Lagi-lagi Iyon menggoda Arraz.
"Bukannya kamu harus ngurus peserta didik baru yang mau daftar ulang?" Arraz sungguh tak suka pembahasan kayak gitu diumbar untuk jadi bahan obrolan.
"Dih. Sewot amat sih, Ar. Ooowh aku tau.. Si Dewi lagi halangan ya? Makanya kamu belum dapet jatah? Hahaha.. Sabar ya bro! Nunggu sampai seminggu, biasanya juga udah bersih. Siap gempur!"
Nggak ada yang salah dari cara Iyon berkata, namun entahlah.. Bagi Arraz semua ucapan teman sejawatnya itu seperti sebuah ejekan semata.
"Yon, udah pernah rasain ditabok pake sepatu yang sol nya kena tai belum?"
"Belum! Kamu pernah ya? Hahaha."
Kok ngeselin ya si Iyon Iyon itu. Jangan-jangan dia tetangga deket rumahnya si Dewi lagi. Kelakuan mereka sama! Sama-sama bikin tensi naik ke puncak Himalaya.
Sedang ada di ruang guru. Karena emang Arraz ini manten baru, pasti ada aja celetukan bernada guyonan merembet ke arah sana. Apalagi kan rata-rata bapak ibu guru Tadinya Mesra itu udah pada berumah tangga, ya udah deh. Arraz hanya bisa pasrah sesekali menggeleng atau menghembuskan nafas berat kala mendapati pertanyaan mengandung unsur plus dua satu dua padanya.
"Pak Arraz, bisa minta tolong bantu di depan. Wali murid yang datang banyak banget. Di depan guru-guru sampai kewalahan. Padahal daftar ulang kan nggak harus hari ini, besok-besok juga masih melayani. Tapi kok kayaknya mereka pada kompakan buat datang hari ini ya." Ujar salah satu guru perempuan kepada Arraz.
"Oke." Arraz mah satset orangnya. Disuruh ke sana iya, disuruh ke sini hayo. Makanya dia jadi guru favorit bagi teman sejawatnya juga pada murid di SMA Tadinya Mesra.
Selain wajah tampannya, Arraz juga ramah meski nggak nyablak banget kayak si Iyon tapi bisa lah kalo diajak guyon tipis-tipis. Dia nggak sekaku itu kok.
Benar kata guru tadi, hari ini banyak wali murid yang datang untuk mendaftar ulang. Arraz jadi kasihan sama Zea, bocah itu pasti kebingungan sendirian. Karena memang dia ke sini tadi kan cuma sama Arraz. Nggak ngajak ibunya.
Mata Arraz menangkap keberadaan Zea yang sedang duduk menunggu giliran dipanggil oleh pihak sekolah. Arraz menghampiri Zea.
"Kamu belum selesai daftar ulang?"
Tanya Arraz membuat Zea kaget. Pun dengan beberapa orang di kanan dan kiri Zea yang menatap Arraz dengan pandangan kepo tingkat tinggi. Mereka ada hubungan apa? Begitu kira-kira yang ada dalam pikiran mereka.
"Eh, mas... Eh pak guru... Itu.. Belum. Hmmm Itu, saya lupa bawa uang pak. Tadi kan nggak mampir ke rumah ibuk. Jadi.. Jadi saya nunggu panggilan terakhir aja. Saya mau tanya kalo bawa seragamnya dulu boleh nggak, tapi uangnya belakangan." Zea tersenyum kikuk. Dia malu tapi juga nggak ingin berbohong pada mas suami.
Seperti terkena hantaman keras di kepalanya. Dia kok bisa sebodoh ini sih? Zea kan istrinya, udah seharusnya Arraz memberi nafkah untuk istri kecilnya itu. Lha ini, masa mau ambil seragam sekolah aja masih ngebon! Padahal sebelum menikah Arraz menjanjikan akan membiayai pendidikan Zea hingga ke perguruan tinggi. Lha ini, baru mau masuk SMA aja malah mau ngutang seragam!
"Saya yang bayar ya. Ini. Maaf, tadi saya lupa ngasih kamu uang. Zea, nanti pulangnya tunggu saya sebentar, bisa? Saya harus menyelesaikan pekerjaan saya dulu di sini."
Meski malu, tapi Zea tetap menerima uang lima belas lembar bung Karno yang lagi senyum sumringah. Dan lihat lah, bagaimana orang lain makin menatap penuh rasa ingin tahu kepada pasangan berbeda usia 12 tahun ini.
Tanpa menjelaskan apa-apa, Arraz langsung pergi setelah meminta ijin pada Zea untuk meneruskan pekerjaannya.
"Dek, kenal sama pak guru to? Katanya dia baru nikah.. Iya to? Pantes aura gantengnya luber-luber." Tanya seorang ibu di dekat Zea. Apa hubungannya sih buuuk antara ganteng sama abis nikah?
"Kenal. Pak guru itu guru di sini, bu." Jawab Zea ala kadarnya. Lah iya guru, kalo tukang kebon manggilnya bukan pak guru dong Ze!
Sedangkan Arraz langsung duduk di bangku yang sudah disediakan. Di sebelahnya ada Iyon yang juga fokus pada laptopnya.
"Ini pak Arraz kan ya.. Pak, nitip anak saya buat sekolah di sini ya pak.. Kalo dia nakal ditegur aja." Ujar ibu-ibu yang senyum-senyum tak berkedip ke arah Arraz.
"Iya, bu." Jawab Arraz singkat. Tak ingin berbasa-basi rupanya.
"Lha ibu nggak nitipin anak ke saya? Saya juga guru di sini, bu." Iyon menawarkan diri minta dititipin anak kayak Arraz tadi.
"Anak saya cuma satu pak. Ngapain dititipin ke semua orang. Dan.. Saya baru tau ada guru namanya Maryani.. Eh.. Maryono di sini." Jutek banget ketika ngomong sama pak Maryono.
"Kalo siang emang panggilan saya Iyon atau Maryono, buk. Tapi kalo malam biasa dipanggil Park Seo Joon." Ucap pak Maryono bangga.
"Pak Jojon? Oowh.. Iya iya.. Emang mirip sih." Si ibu berlalu pergi.
"Budek apa emang bolot dari bayi ya ibu itu?!"
Iyon bersungut-sungut. Sedangkan Arraz tersenyum sambil menunduk, tak ingin menunjukkan jika dia seneng banget karena lemeznya Iyon tadi ada yang balesin.
maaf aku yg polos ini bertanya dengan nada dering selembut2nya.. tolong dijawab, jangan dijokiin😐
ora mangan nongko keno pulute awakmu arr kuapokkkkk