Zely Quenby, seorang gadis yang bekerja di sebuah perusahaan. ia hanya seorang karyawan biasa disana. sudah lama ia memiliki perasaan cinta pada Boss nya yang bernama lengkap Alka farwis gunanda. Hingga timbul lah tekad nya untuk mendapatkan Alka bagaimana pun itu. meskipun terkadang ia harus menahan rasa sakit karena mencintai seorang diri.
bagaimana yah keseruan kisah antara Alka si bos galak dan crewet dengan gadis bermulut lembek itu?
pantengin terus yah, dan jangan lupa untuk tekan favorit biar bisa ngikutin cerita nya😍.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sopiakim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Alka kenapa?
Sejak tadi Alka mondar-mandir di dalam kamarnya, membuka satu per satu pintu lemari seolah sedang mencari harta karun tersembunyi. Kemeja biru tua ia keluarkan, ditimang-timang sebentar, lalu dikembalikan lagi ke gantungan. Setelahnya giliran jaket hitam, lalu kaus putih polos, lalu setelan kasual semi-formal yang bahkan belum sempat ia pakai sejak dibeli. Tangannya sibuk, matanya sibuk, pikirannya pun lebih sibuk lagi. Semua demi satu pertemuan singkat di kafe bersama Zely—istri kontraknya sendiri.
Ironisnya, Alka bisa saja mengenakan apa saja dan tetap tampak menarik. Wajah rupawan, postur tegap, dan aura dingin khas CEO sukses seakan membuat setiap pakaian yang melekat di tubuhnya terlihat sekelas iklan majalah fashion. Tapi pagi ini, semuanya tampak tidak cukup baik menurut standar anehnya sendiri. Mungkin bukan soal baju—mungkin ada yang lain yang ia khawatirkan.
Sesekali ia melirik pantulan dirinya di cermin, merapikan kerah, membenarkan jam tangan, bahkan sempat mencoba gaya rambut yang sedikit berbeda. Langkahnya terhenti sejenak. Ia menarik napas panjang, seperti sedang mencoba menenangkan gejolak dalam dadanya sendiri.
"Kenapa jadi begini, sih?" gumamnya lirih. Seharusnya ini hanya pertemuan biasa,hanya sekedar ingin menyampaikan rasa bersalah dan maafnha bukan janji temu kekasih.
Tapi entah sejak kapan, Alka merasa ingin tampil istimewa di hadapan Zely. Bukan untuk memikat, tapi untuk tidak mengecewakan. Ia ingin terlihat layak—di mata gadis itu. Padahal Zely bahkan saat melihat ia bangun tidur saja sudah sangat terpana.
Zely melangkah masuk ke dalam kafe dengan langkah pelan, membawa buket mawar putih berbalut kertas cokelat lembut dan pita satin biru. Aroma bunga itu samar menyelimuti udara di sekitarnya—tenang, lembut, dan menyiratkan pesan damai yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Ia tidak tahu siapa penerimanya. Pemesan hanya menitip pesan merekaa bertemu di cafe dekat toko bunga dengan pemesan mengenakan kemeja biru.
Matanya menelusuri ruangan, mencari seseorang yang tampak seperti pelanggan biasa. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat Alka—duduk di sudut kafe, menatap ke arah jendela, dengan kemeja biru yang tampak dipilih dengan niat. Zely mengerutkan kening, sedikit bingung. Tidak mungkin Alka yang memesan bunga itu.
"Alka?" sapanya ragu.
Pria itu menoleh, lalu berdiri menyambutnya. Sorot matanya tidak sekaku biasanya. “Kamu datang,” ujarnya singkat, seolah itu sudah cukup menjelaskan segalanya. Dan Zely semakin bingung, dia datang kesana untuk bertemu dengan pelanggan bukan menghadiri janji temu dengan laki-laki itu.
Zely tersenyum tipis dan mengulurkan buket mawar putih itu. “Ini… titipan pelanggan. Katanya harus diserahkan langsung. Kupikir kamu mungkin lihat orangnya di sekitar sini?”
Alka menerima bunga itu perlahan, tanpa menjawab. Tatapannya justru tak lepas dari Zely, dan bibirnya sedikit terangkat, seperti sedang menahan sesuatu yang sulit diungkap. Zely lebih kaget saat Alka spontan meraih bunga itu.
Zely tidak menyadari apa pun. Ia mengira ini hanya pertemuan biasa tidakterduga, Alka libur kerja dan mungkinsaja ia inginbersantai di kafe dan kebetulan bertemu dengan Zely disana a. Bunga itu bukan untuknya. Ia tak tahu bahwa mawar putih yang baru saja ia kemas dan antarkan sendiri itu ternyata pesanan Alka.
Zely benar-benar masih kebingungan, pantas saja saat berbicara dipanggilan tadi suara itu sangat familiar ternyata itu Alka.
Zely menatap Alka bingung saat pria itu tidak langsung mengatakan apa-apa. Ia mengira dirinya hanya pengantar, bukan tamu. Tapi sekarang malah disuruh duduk?
"Mas,aku cuma nganter bunga. Ini pesanan, bukan buat mas, kan?" tanyanya ragu sambil berdiri kikuk di sisi meja.
Alka tidak langsung menjawab. Tatapannya masih tertuju pada buket mawar putih di tangannya—bunganya sendiri, pesanannya sendiri, tapi ia terlalu canggung untuk segera mengaku. Ia menghela napas pelan, lalu menatap Zely. “Duduk dulu, Zely.”
Zely mengerutkan alis, makin bingung. Namun akhirnya ia duduk perlahan, tanpa melepas tas selempangnya. “Aku serius mas. Yang pesan ini nggak pakai nama. Jajinya ketemu disini terus yang mesan make kemeja biru.” ucap Zely melihat kearah Alka yang sangat sesuai dengan ciri ciri itu.
Alka menatapnya sejenak. “Mas tahu siapa yang harus nerima bunga ini.”
Zely menelan ludah. Ia mulai merasa aneh.
“Orangnya duduk di depan mas sekarang.”
Zely mengerjap cepat. “…Aku?”
Alka mengangguk, lalu menunduk sebentar, mencari kata. Benar-benar canggung dan tanpa persiapan.
“Itu… karena mas lupa jemput kamu waktu itu...."
Zely terdiam. Ada yang bergetar pelan di dalam dadanya. Hari itu — sore hingga malam ia menunggu kedatangan Alka dengan hati yang senang hingga berubah sendu saat Alka ternyata melupakan janjinya.
“Mas bener-bener lupa. Mas gabisa ngasih alasan. Mas salah. Dan mas minta maaf,” lanjut Alka pelan, menatap Zely dengan sungguh-sungguh. Ia mengangkat buket mawar putih itu, lalu meletakkannya perlahan di atas meja.
“Jadi... ini buat kamu.”
Zely menatap bunga itu lama. Dadanya terasa penuh, tapi wajahnya tetap tenang. Ia tidak langsung menyentuh bunga itu—seolah masih menjaga jarak. Tapi mata yang biasanya menunduk, kali ini tak menghindar dari tatapan Alka.
Tangannya terulur meraih bunga itu, ia sebenarnya merasa sangat bingung harus bereaksi bagaimana lagi. Karena Alka juga tidak bisa ia salahkan apalagi mengingat pesan yang ia tulis sendiri tadi,pesan yang Alka sampaikan dengan tulus walaupun saat bertatap muka Alka tidak bisa mengatakan nya dihadapan Zely.
Zely memeluk bunga itu dengan pelan, seperti takut merusaknya. Ia tidak tahu harus berkata apa, karena sejujurnya hatinya masih nyeri. Tapi ia bukan tipe yang bisa bersikap seenaknya, bukan tipe yang bisa menuntut apalagi menyalahkan. Ia terlalu tahu diri, terlalu sadar batasan—bahwa ia hanya istri kontrak, bukan seseorang yang berhak marah karena disepelekan atau dilupakan.
“Aku nggak apa-apa, Mas,” ucapnya akhirnya, berusaha tersenyum. Suaranya ringan, tapi ada retakan halus yang menyelinap di sela napasnya. “Makasih udah nyempetin waktu… bahkan ngasih aku bunga”
Alka tampak hendak berkata sesuatu, tapi ia lagi lagi ragu, ia sulit memilah kata yang tepat untuk ia ungkapkan.
“Bunganya… aku suka,” tambahnya lirih, masih menghindari tatapan langsung. “Tapi aku nggak mau Mas ngerasa harus ngasih apa-apa cuma karena merasa bersalah.”
Alka membuka mulutnya, tapi tak ada kata yang keluar. Rasa bersalah semakin menumpuk. Ia mengira datang dan memberi bunga sudah cukup, padahal luka di dalam diri Zely tak bisa begitu saja sembuh oleh seikat mawar. Jujur saja ia tidak memiliki guru dalam hubungan ini, Alka hanya mengambil keputusan sendiri mencoba mencari jalan keluar, ia tidak ingin berlama-lama menghabiskan waktu perang dingin dengan Zely.
Zely menegakkan punggungnya, tetap duduk dengan anggun dan sopan, tak sedikit pun mengubah sikap. Bukan karena tak ingin pergi, tapi karena ia tak mau menyakiti siapa pun dengan kepergiannya.
Ia terlalu baik. Terlalu sabar. Terlalu mengerti.
Dan mungkin itu yang membuat Alka justru merasa paling bersalah.
Pesanan sudah tiba dan banyak sekali jenis makanan disana. Zely sampai bingung harus memakan yang mana dulu kemudian ia menatap kearah Alka yang ternyata juga menatap nya sejak tadi.
Seperti tertangkap basah, Alka sedikit gelagapan namun dengan cepat ia mencoba tenang.
"Mas harap kamu merasa lebih baik, mas sama sekali tidak bermaksud berjanji kemudian lupa. Baiklah, mari kita makan dulu. Kamu sepertinya sudah sangat lapar, mas tidak tau apa yang kamu suka jadi pesen banyak jenis. Namun untuk minuman mas tau kamu selalu menyukai lemon tea."
Deg
Hati Zely kembali disiram air dan ditambah pupuk, rasanya bunga ditaman nya seperti mekar kembali. Alka tidak sadar kalau ia telah membuat gadis itu kembali berharap.
Bagaimana ini? Bagaimana kalau ia semakin jatuh hati? Ia akan sulit untuk kembali menata hatinya. Saat ia berusaha menjauh disitu Alka seolah mengatakan kalau ia boleh berharap.
Mereka makan bersama, tapi hampir tanpa suara. Hanya denting halus peralatan makan dan sesekali desahan napas yang tak sengaja terdengar. Zely tetap menunjukkan sopan santunnya; ia tidak menunduk terlalu dalam, tidak berbicara terlalu sedikit, dan tetap menyantap makanannya dengan pelan seperti biasa. Tapi matanya tak bersinar seperti biasanya.
Alka diam-diam mencuri pandang ke arahnya, berulang kali. Ada sesuatu dalam raut wajah Zely yang tidak bisa ia baca sepenuhnya—tenang, tapi tidak benar-benar damai. Ia ingin bertanya, ingin menjelaskan, ingin membicarakan semuanya… tapi seperti biasa, ia tidak tahu bagaimana caranya. Ia takut semakin banyak kata malah membuat jarak mereka makin jauh.
Sementara itu, di hati Zely sendiri, segalanya tetap sama. Penuh. Sunyi. Tapi ia bertahan di situ, duduk dengan baik, memegang bunga di pangkuan seolah itu satu-satunya yang bisa ia genggam dengan yakin. Ia tidak tahu harus berharap atau tidak. Ia hanya tahu, ia tak mau mempermalukan siapa pun, termasuk dirinya sendiri.
Keduanya duduk bersama, tapi masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sama-sama ingin mendekat, tapi terlalu diam untuk saling jujur. Sore itu, kafe menjadi saksi dua hati yang duduk bersebelahan, namun belum benar-benar bertemu.
...🎀Bersambung 🎀...
Wahhh Ternyata Alka bisa romantis juga huhuyy. Jujur aja ga ekspek banget Alka bakal ngasih kejutan berupa bunga itu.
Huhuyy kalau jadi Zely juga aku bakal kegeeran tuh hihi.
Jangan lupa like komen dan votenya wan kawan.
See you guys🫶
ini beda 👍👍👍👍