Cinta bertepuk sebelah tangan sungguh menyakitkan hati Nadila Putri. Nyatanya Abdullah cinta pertamanya justru mencintai wanita lain yaitu Silfia Anwar.
Nadila pun memilih pergi meninggalkan mereka demi persahabatan.
Nadila memilih bekerja di UEA menjadi tkw, tetapi belum ada satu tahun kedua orang tuanya menyuruhnya pulang. Namun, tidak Nadila sangka ketika tiba di Indonesia justru dijodohkan dengan Abdullah.
Apakah Abdullah akan menerima Nadila? Lalu bagaimana nasib Silfia. Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
"Bapak sama Ibu sudah tidur, Dek?" Tanya Dila kepada Najwa yang tengah membuka pintu.
"Sudah sepi Kak, sepertinya sudah tidur, kakak kemari sendirian... mana suami Kakak? Terus kenapa kesini malam-malam gini sih, Kak?" Najwa mencecar pertanyaan, ia bingung, karena sudah jam sembilan lewat sang kakak datang seorang diri, seandainya bapak dan ibunya tahu tentu membuat mereka khawatir.
"Kamu ini, kalau bertanya satu-satu apa" Dila berdecak, adiknya itu kalau bertanya selalu memberondong.
"Bukan begitu Kak, kalau bapak sampai tahu, Kak Dila datang sendiri pasti bertanya-tanya. Masa Kak Abdullah tidak mengantar, sih! Malam-malam begini membiarkan Kakak pergi sendiri," Najwa kesal, ternyata kakak iparnya tidak perhatian..
Dila hendak menjawab tetapi urung, karena Abdullah tiba-tiba masuk. Ya, pria yang menyamar menjadi tukang ojek tadi adalah Abdullah. Mungkin karena takut dengan mertuanya, hingga rela menggantikan tukang ojek dan membayar ganti rugi ketika ojek menunggu Dila di luar pagar.
"Oh... sama Kak Abdullah, aku pikir sendirian" Najwa nyengir ketika menatap Abdullah yang melotot tajam kepadanya. Najwa takut, ternyata Abdul mendengar ketika ia ngomel-ngomel.
"Kalau gitu kamu ke kamar dulu, Dek" Dila menyuruh adiknya istirahat karena besok pagi-pagi ke sekolah.
Najwa mengangguk lalu masuk ke kamar yang letaknya di sebelah kamar tidur Dila.
Sementara Dila mendekati Abdullah yang duduk di kursi kayu, tanpa di silakan. "Ibu sama Bapak sudah tidur Kak, saya izin menginap di sini. Kalau Kak Abdul mau pulang sekarang, silakan saja" Dila tidak mau menyuruh Abdullah menginap karena ia sadar kamarnya tidak layak untuk orang kaya seperti Abdullah.
"Kamu mengusir?" Ketus Abdullah.
"Tolong suaranya dikecilkan Kak" Dila memperingatkan, tentu saja tidak mau suara Abdullah membangunkan bapak dan ibu. Sejujurnya Dila senang jika kedua orang tuanya tahu, seperti apa sifat pria yang dijodohkan dengannya itu, tapi Dila tidak mau bapaknya syok hingga sakitnya kambuh.
"Kakak mau pulang tidak? Saya mau kunci pintunya" Dila memegangi daun pintu, memandangi Abdullah yang tidak bergerak dari duduknya. Tidak ada jawaban, Dila mengunci pintu lalu melenggang ke kamar.
Abdullah memperhatikan langkah Dila hingga menutup pintu, rupanya dia ingin tahu di mana kamar Dila.
.
Lantunan ayat suci Al Qur'an terdengar jelas dari masjid yang tidak jauh dari kediaman pak Umar, membangunkan Dila dari tidur nyenyak nya. Tangan putih itu meraba ikat rambut yang dia simpan di atas nakas. Ia ikat rambut panjangnya, kemudian menyeret bokong ke tepi amben.
"Astagfirullah..." Dila terlonjak kaget, ketika kakinya menginjak sesuatu. Dia tarik kembali bokongnya ke ujung tempat tidur, kemudian menyalakan lampu. Tampak tubuh Abdullah yang tidur meringkuk beralas tikar tanpa selimut kedinginan. Rupanya pria kejam itu pulas di kamar tanpa Dila tahu.
Ada sedikit perasaan iba di hati Dila, gadis cantik itu menutup seluruh tubuh Abdul dengan selimut miliknya. "Kalau lagi tidur gitu kamu itu tidak ada tampang galak Kak, tapi kenapa? Kamu kejam," Batin Dila lalu keluar kamar.
"Dila... kamu ada di sini sayang... mana suami kamu?" Tanya bu Aminah ketika Dila sedang menggoreng nasi di dapur.
"Tadi sih masih tidur, Bu? Bapak mana?" Dila matikan kompor lalu mendekati Aminah.
"Masih di kamar" Bu Aminah tersenyum menatap Dila yang langsung melesat ke kamar bapak, tidak lama kemudian keluar mendorong kursi roda pak Umar.
"Suami kamu mana Dila?" Pak Umar mengedarkan pandanganya ke ruang keluarga, tetapi tidak ada Abdullah.
"Belum bangun, Pak" jujur Dila.
"Memang suami kamu tidak shalat?" Pak Umar tampak kaget.
"Shalat kali, Pak" Dila sejak kemarin tidak melihat Abdullah shalat, padahal ketika tinggal di rumah Barra, Abdullah rajin sekali.
"Bangunkan dulu suami kamu, terus kita ajak sarapan bersama," titah bu Aminah.
Sementara itu di kamar Dila, Abdullah kaget ketika membuka mata, tiba-tiba tubuhnya berselimut. Badanya terasa sakit, karena tidak biasa tidur di bawah. Ia menyibak selimut di tubuhnya lalu bangun ingin buang air kecil. Abdul mencari letak kamar mandi tapi tidak ada, padahal sudah menahan pipis sejak tadi malam.
"Kemana Dila?" Gumamnya lalu bergerak mendekati pintu.
Jedug.
"Aaagghhh..." Abdullah mundur ketika pintu di dorong dari luar dan membentur dahinya.
"Oh, Maaf" Dila menatap Abdullah yang memegangi dahinya tampak kesal. Namun, Dila tidak mau menolong karena ia anggap impas. Sebab, tadi malam Abdullah menginjak kakinya hingga merah sampai sekarang. Dila segera melipat selimut Abdul yang masih berantakan, lupa tujuan awal memanggil Abdullah.
"Kamar mandinya di mana?" Tanya Abdullah, setelah beberapa menit saling diam.
"Di luar" Dila rasanya ingin balas dendam tidak membolehkan Abdullah ke kamar mandi, tapi Dila bukan sejahat itu.
"Di mana? Saya kebelet pipis" Abdul ternyata masih berdiri di pinggir pintu.
Dila tidak berkata-kata, keluar begitu saja melewati Abdullah, ia berjalan lebih dulu menunjukkan kamar mandi.
Sepuluh menit kemudian, Abdul sudah mandi, tatapan matanya tertuju ke arah meja makan, semua sudah berkumpul di sana.
"Kesini Nak, cepat sarapan" titah bu Aminah, semua yang berada di tempat itu menoleh ke arah Abdul.
"Baik Bu" jawabnya.
"Dih, rupanya bisa pelan juga kalau ngomong sama bapak, ibu. Tapi kenapa kalau sama aku seperti ingin menelan hidup-hidup" batin Dila menatap Abdullah yang berjalan ke arahnya.
"Dul, kata Dila hari ini kalian mau pindah ke Jakarta, benar begitu?" Pak Umar ternyata sudah diberi tahu Dila.
"Benar Pak, kami ingin mandiri, Bapak keberatan?"
"Bukan keberatan, Nak. Bapak tidak boleh melarang kamu membawa Dila kemanapun, karena kamu dan putriku sudah menjadi suami istri, dan akan memulai kehidupan yang baru. Tapi kamu harus ingat, pernikahan bukan soal cinta saja, walaupun kalian belum saling mencintai tapi harus tanggung jawab dan komitmen. Jaga putri saya dengan baik, dengarkan dia, dan jangan pernah membuatnya merasa tidak dihargai. Karena putriku harta yang paling berharga bagi keluarga kami."
Abdullah mengangkat kepala cepat, kaget mendengar nasehat mertuanya. "Dila pasti sudah mengadu dengan bapaknya" batin Abdullah, lalu mengangguk entah benar-benar mau menerapkan nasehat mertua atau tidak hanya Abdullah yang tahu.
Setelah sarapan, mereka pun pamit pulang. Di luar pagar bambu, Dila hendak membonceng motor Abdullah, tapi ragu-ragu. Ia ingat kemarin ketika Abdullah mengendarai mobil ugal-ugalan.
"Ayo naik, kenapa kamu diam saja" Abdullah mengangkat helm, menoleh Dila.
"Tapi jangan ngebut loh, awas! Kalau sampai kejadian kemarin terulang lagi!" Ancam Dila mengacungkan tinju.
"Bawel kamu, cepat naik!" Abdullah membetulkan posisi helm, di belakangnya terasa berat, tentu saja Dila sudah membonceng. Abdullah menjalankan motornya, dugaan Dila salah ternyata otak Abdul sedang waras, nyatanya membawa motor biasa saja hingga tiba di rumah.
Dila segera pamit mertuanya sebelum mereka berangkat ke perkebunan. "Mama sama Papa tidak bisa mengantar kamu sayang, secepatnya kami akan datang ke rumah kalian" kata Ghina, mengusap pundak Dila.
"Terima kasih Ma" Dila memeluk mertua wanita meneteskan air mata. Bagaimana sikap Abdullah di rumah yang baru nanti? Sedangkan di sini yang ada mama papa nya saja sangat kejam. "Doakan kami rukun Ma" ucapnya dengan suara serak.
"Sayang... kenapa kamu berbicara begitu?" Ghina melepas pelukan, mengusap air mata menantunya dengan ujung jari.
"Tidak apa-apa, Ma" Dila tentu tidak berani jujur akan kelakuan Abdullah. Ia menyusul Abdullah ke kamar, menarik koper di pinggir lemari tanpa menoleh Abdullah yang sedang ambil pakaian.
Dila menunggu di teras, tidak lama kemudian Abdullah masuk ke dalam mobil yang sudah dia keluarkan dari garasi sepulang dari rumah pak Umar.
Dila mengucapkan bismillah ketika meletakkan koper ke bagasi, kemudian duduk di samping Abdullah yang sedang menyetir. Dalam perjalanan, ia selalu berdoa agar sikap Abdullah berubah baik ketika sudah di rumah baru nanti.
Rumah lantai satu, tapi lumayan besar, Dila tiba di sana. Begitu turun dari mobil, mengikuti Abdullah yang sudah masuk halaman tanpa berkata-kata.
Abdullah menekan bel, tidak lama kemudian muncul seorang wanita, tatapan matanya tertuju kepada Dila.
...~Bersambung~...
jangan sampai balikan lagi ke Abdul apalagi kalau masih mempertahankan silfia.
usir ajh dri rumah biar tau kelakuan istrinya
usir ajh dri rumah biar tau kelakuan istrinya
pokoknya ditunggu banget kelanjutannya author