NovelToon NovelToon
Menikahi Cucu Diktator

Menikahi Cucu Diktator

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Percintaan Konglomerat / Trauma masa lalu
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.

Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.

Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.

Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.

Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.

Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9

Rumah Senopati terasa lebih tenang dari biasanya. Cahaya matahari menyusup lewat jendela besar ruang makan, menyinari meja marmer tempat Andre duduk sambil membuka tablet dan menyeruput kopi hitamnya. Rambutnya masih sedikit basah setelah mandi, dan ia mengenakan kemeja abu-abu yang belum dikancing sepenuhnya.

Dari arah dapur, terdengar derap langkah terburu-buru.

Lily muncul dalam balutan dress linen putih gading yang dipadukan blazer cokelat muda. Wajahnya flawless, dengan lipstik nude yang ringan dan rambut dicepol rapi ke belakang. Sepatu hak tingginya sudah ia genggam di satu tangan, sedangkan tangan lainnya memegang tas Hermes hitam besar berisi dokumen dan ponsel.

“Kamu buru-buru?” tanya Andre sambil menatap ke atas tablet.

Lily menoleh sebentar, tersenyum tipis. “Ada reservasi penting. Dua-duanya. Tamu dari luar negeri yang baru bisa hadir hari ini. Aku harus hadir langsung di dua tempat.”

Andre bangkit, menghampirinya. “Kamu tidur cuma empat jam, kan?”

Lily mencubit pelan lengan kemejanya sambil berjalan menuju pintu. “Nanti tidur di mobil. Dan jangan lupa, sore ini kamu harus datang. Di dua tempat, ya. Aku butuh dukungan visual.”

“Visual?”

“Laki-laki tinggi dengan setelan bagus. Siapa lagi?”

Andre terkekeh. “Oke, oke. Nanti aku datang. Janji.”

Lily sempat menoleh, tersenyum lebar. “Sip. Aku tunggu. Love you—eh, maksudnya, see you.”

...****************...

Andre menyelesaikan inspeksi proyek terakhirnya di Pancoran. Pembangunan kompleks hunian vertikal yang sudah mencapai tahap akhir. Ia sempat tersenyum kecil di dalam mobil. Hari itu terasa seperti hari yang baik.

Namun senyum itu hanya bertahan hingga ponselnya bergetar.

Nama driver Lily muncul di layar.

“Halo?”

“Pak Andre… saya mohon maaf, ini mendadak. Restoran ibu… yang di Cipete… terbakar.”

Deg.

“Apa?!”

“Ibu Lily ada di lokasi. Saya baru antar beliau ke sana dari restoran Senopati. Api sudah padam, tapi… Ibu Lily kena luka. Tim medis ada. Tapi… lebih baik Bapak datang langsung.”

Tanpa pikir panjang, Andre hanya berkata, “Saya otw.”

...****************...

Cipete, 19.24 WIB. Sirene masih terdengar samar, bercampur bau asap dan kayu terbakar.

Restoran Lily—“Ember & Ember”, restoran steak bertema modern industrial dengan interior bata ekspos dan kaca besar—kini tinggal puing. Api sudah padam, tapi bekasnya masih menghitam di langit-langit. Beberapa bagian bangunan masih berasap tipis.

Beberapa tamu masih berdiri di luar, wajah-wajah ketakutan dan marah. Staf restoran berbicara dengan petugas, dan seorang perempuan paruh baya tampak mengobati luka bakar ringan di lengan seorang pengunjung.

Namun Andre tak memperhatikan semuanya itu.

Pandangan matanya langsung tertuju pada Lily, yang duduk di atas ambulans, mengenakan jaket kain tipis yang diberikan perawat. Tangannya diperban sebagian. Di wajahnya, ada bekas jelaga, matanya kosong. Bibirnya kering dan sedikit berdarah di ujungnya.

“Lily!”

Ia menoleh. Saat Andre mendekat, Lily hanya menatap—kosong, tak berkata.

Andre langsung berjongkok di hadapannya. “Kamu kenapa? Tangannya kenapa?”

“Saya coba bantu matiin api kecil di dapur belakang. Terlambat… gas meledak,” jawab Lily pelan.

“Luka bakar?” Andre memeriksa tangan Lily dengan lembut, khawatir.

“Cuma bakar ringan. Tapi… tamu-tamunya… mereka panik. Aku… aku udah janji sama diriku sendiri gak akan pernah bikin orang-orang ngerasa gak aman. Tapi sekarang…”

Andre memotong, suaranya mulai naik. “Lily. Kamu dengar aku?”

Ia masih bicara pelan sendiri, seperti gumam. “Kalau mereka tuntut? Kalau dapurnya ternyata ada kelalaian teknis? Kalau aku harus tutup semua?”

“Lily!”

Ia menoleh. Andre menggenggam wajahnya.

“Lihat aku. Lihat tanganku. Kamu luka. Kamu hampir celaka. Kamu mau tahu yang aku pikirkan sekarang?”

Lily menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Kamu bisa aja mati tadi!” suara Andre pecah. “Dan kalau kamu mati… aku bagaimana?! Hah?! Aku… aku mau apa kalau kamu gak ada, Lily?”

Lily tercekat. Bibirnya bergetar. Dan tanpa aba-aba, ia memeluk Andre erat—erat sekali, seperti tenggelam dalam kekacauan dan hanya Andre satu-satunya jangkar.

Tangis Lily pecah di bahu pria itu. Tangis tanpa suara jerit, hanya isakan panjang yang tertahan selama berjam-jam. Sakit karena luka. Sakit karena gagal. Sakit karena rasa takut kehilangan.

Dan pelukan Andre tak pernah lebih kuat dari malam itu.

Dalam perjalanan pulang, Lily bersandar di bahu Andre. Tangannya masih dibalut, dan jaket medis pinjaman ambulans membuatnya terlihat lebih kecil dari biasanya—rapuh, tapi tetap anggun.

“Aku… gagal ya?” gumam Lily pelan.

Andre menoleh sedikit ke arah jendela, lalu kembali melirik Lily.

“Gagal sih enggak. Cuma… ya, dramanya dapet banget,” ucapnya sambil mengangkat alis satu sisi.

Lily terkekeh pelan, walau napasnya masih berat. “Kamu tuh ya… selalu bisa bercanda di saat kayak gini.”

Andre menyeringai kecil. “Kalau enggak aku yang bikin kamu senyum, siapa lagi? Sopirmu?”

Lily mencubit pelan paha Andre, lalu mendesah. “Tapi tadi kamu marah banget.”

Andre meliriknya singkat dan mengangkat bahu. “Ya wajar dong. Gimana kalau kamu tiba-tiba tewas… belum sempat makan di restorant yang kamu banggakan?”

Lily menatapnya tak percaya, lalu tertawa, masih dengan napas yang berat. Ia tahu, itu gaya Andre—selalu menyelipkan kepedulian dalam sarkasme manis.

“Makasih udah datang,” ujarnya akhirnya.

Andre menjawab, sambil menyandarkan kepala ke jendela, “Ya masa istri gue kebakaran gue diem aja?”

Lily hanya menggeleng, tersenyum. Ada sesuatu di balik kalimat itu. Bukan hanya kepedulian, tapi… semacam rasa memiliki. Mungkin belum cinta, tapi sudah cukup untuk membuat malam itu terasa tidak sepi.

...----------------...

1
Yulia Dhanty
menarik
Wirda Wati
👏👏👏
Wirda Wati
ceritamu sebenarnya kereeen thor.penuh bahasa majas...
Wirda Wati
👍👍👍💪
Wirda Wati
Rumit
Wirda Wati
😇😇😇😇😇
Wirda Wati
😇😇😇😇👏
Wirda Wati
Jangan bego Lo Andre...
Wirda Wati
tentu Andre bertanggung jawab.karena ia pria yg baik.
Ari Arie
kata2nya puitis banget./CoolGuy/
Wirda Wati
kapan dekatnya
Wirda Wati
makin lama makin asyik bacanya
Wirda Wati
kereeen
Wirda Wati
semoga mrk bahagia.
Wirda Wati
👍👍👍
Wirda Wati
mampir
Ana Rusliana
Luar biasa
Tictac stick
baru nemu thor bagus ceritanya g menye2
R Melda
menyimak,aku suka
Suci Dava
nyimak dulu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!