NovelToon NovelToon
Malam Saat Ayahku Mati

Malam Saat Ayahku Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Aulia risti

Di dunia tempat kepercayaan bisa menjadi kutukan, Izara terjebak dalam permainan kelam yang tak pernah ia pilih. Gadis biasa yang tak tahu-menahu tentang urusan gelap ayahnya, mendadak menjadi buruan pria paling berbahaya di dunia bawah tanah—Kael.
Kael bukan sekadar mafia. Ia adalah badai dalam wujud manusia, dingin, bengis, dan nyaris tak punya nurani.

Bagi dunia, dia adalah penguasa bayangan. Namun di balik mata tajamnya, tersembunyi luka yang tak pernah sembuh—dan Izara, tanpa sadar, menyentuh bagian itu.

Ia menculiknya. Menyiksanya. Menggenggam tubuh lemah Izara dalam genggaman kekuasaan dan kemarahan. Tapi setiap jerit dan tatapan melawan dari gadis itu, justru memecah sisi dirinya yang sudah lama terkubur. Izara ingin membenci. Kael ingin menghancurkan. Tapi takdir punya caranya sendiri.

Pertanyaannya bukan lagi siapa yang akan menang.
Melainkan... siapa yang akan bertahan.
Karena terkadang, musuh terbesarmu bukan orang di hadapanmu—melainkan perasaanmu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kenyataan pahit

Pagi itu, aroma tumisan pedas dan telur dadar keju memenuhi udara. Kai berdiri di dapur kecil, mengenakan hoodie lusuh dan celemek yang sudah belepotan saus. Tangannya lincah mengaduk wajan, matanya sesekali melirik jam dinding.

"Sudah bangun belum dia?" gumamnya pelan, setengah bicara pada udara.

Di meja makan yang mungil, ia menyusun dua piring sarapan, lengkap dengan roti panggang yang sedikit gosong dan segelas jus jeruk. Hangat, sederhana—versi Kai dari perhatian.

Lalu terdengar langkah pelan dari koridor kamar. Izara muncul, wajahnya pucat, rambut acak-acakan. Kai menyunggingkan senyum kecil.

"Pagi. Aku masak sedikit. Tidak jago, tapi masih bisa dimakan lah."

Tapi belum sempat ia mengangkat gelas jus ke arah Izara, gadis itu tiba-tiba berhenti di tengah langkah. Tubuhnya kaku. Matanya menatap piring di meja—terutama bagian dengan tumisan bawang dan telur.

Kemudian...

Tangan Izara menutupi mulutnya. Wajahnya berubah panik.

"Saya—"

Tanpa sempat menyelesaikan kalimat, ia berbalik dan setengah berlari ke kamar mandi. Suara muntah menggema beberapa detik kemudian.

Kai berdiri membeku. Tangannya masih memegang spatula.

"...Izara?"

Tidak ada jawaban selain suara keran air yang dinyalakan.

Setelah beberapa saat, gadis itu kembali muncul. Wajahnya lebih pucat dari sebelumnya, napasnya berat. Ia tidak menatap Kai, hanya berdiri diam di ambang pintu, satu tangan memegangi perutnya.

Kai perlahan menurunkan spatula, menatapnya serius. “Izara... kamu sakit?”

Izara menggeleng cepat, mencoba tersenyum, meski wajahnya masih pucat.

“Saya baik-baik saja… kayaknya gara-gara semalam kehujanan,” jawabnya sambil mengalihkan pandangan, pura-pura sibuk membenahi rambut yang kusut.

Kai mengerutkan kening. “Kehujanan? Semalam kau keluar?”

Nada suaranya terdengar datar, tapi jelas ada kekhawatiran di baliknya. Ia terlalu sibuk lembur semalaman hingga bahkan tidak sadar jika Izara sempat keluar.

“Ya, hanya... iseng. Melihat hujan.” Izara tertawa kecil, sumbang. Bohongnya terdengar kering, seperti daun gugur yang diinjak.

Kai memandangnya lama. Ada jeda yang terlalu hening di antara mereka.

Kai menatapnya lebih lama kali ini. Napasnya pelan. Ia tahu ada yang disembunyikan Izara.

“Kalau kau butuh bicara,” katanya lembut, “aku di sini. Kau tahu itu, kan?”

“Iya... terima kasih,” gumam Izara, hampir tanpa suara. Lalu ia segera berbalik, pura-pura ingin kembali ke kamar. Tapi justru Izara diam-diam mengambil jaket dan ponsel dari dalam kamar. Menatap sejenak ke arah dapur—Kai masih membelakanginya.

Perlahan, tanpa suara, ia keluar.

Langit kota masih diselimuti mendung tipis. Izara menarik hoodie-nya ke atas kepala dan menyusuri trotoar dengan langkah cepat, seolah sedang melarikan diri dari sesuatu yang terus mengejarnya sejak malam itu.

Sudah dua Minggu, Izara telat.

Dan rasa mual pagi ini embuat Izara menjadi takut.

•••

Izara iba di klinik kecil yang terletak tak jauh dari rumah kai. Tempat itu sepi. Bau antiseptik menyambutnya saat ia mendorong pintu masuk.

“Selamat pagi. Bisa saya bantu?” sapa perawat di meja resepsionis.

Izara menggigit bibir. Sempat ragu. Tapi akhirnya ia menunduk dan berkata pelan.

“Saya... saya ingin tes kehamilan.”

Perawat itu menatapnya sejenak, lalu mengangguk dan mengulurkan formulir. “Silakan isi dulu, ya. Nanti kami arahkan ke lab.”

Tangannya gemetar saat menulis. Nama. Tanggal lahir. Alamat. Semua terasa berat untuk dituliskan—karena kenyataan ini terasa terlalu cepat, terlalu nyata.

Tak lama kemudian, ia duduk sendiri di bangku ruang tunggu. Sepi. Hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar. Kepalanya menunduk, kedua tangan saling menggenggam erat di pangkuan.

Beberapa menit terasa seperti berjam-jam. Hingga akhirnya, seorang suster muda memanggil namanya.

“Saudari Izara?”

Ia bangkit.

dalam ruangan, semuanya terasa seperti mimpi yang membeku.

Darahnya diambil. Ia diminta menunggu lagi.

Dan akhirnya—hasilnya keluar.

Dokter menatapnya dengan ekspresi datar, profesional.

“Hasilnya positif. Selamat, Anda hamil... usia kandungan diperkirakan sekitar satu minggu.”

satu minggu.

Izara menatap kosong.

Tangannya mencengkeram ujung rok yang dikenakannya.

Tujuh minggu... berarti—

“Apakah Anda ingin konsultasi lanjutan, atau perlu surat rujukan?” tanya dokter.

Izara tidak menjawab. Ia berdiri perlahan, tubuhnya kaku seperti boneka.

“Tidak, terima kasih,” bisiknya. Lalu ia berjalan keluar.

Di luar, angin terasa lebih dingin. Dunia terlihat lebih asing. Ia berdiri di pinggir jalan, tubuhnya menggigil.

Tangannya meraba perutnya. Masih datar.

"Apa yang harus kulakukan...?"

Pertanyaan itu mengiang di benaknya, menghantam keras seperti gelombang di tengah badai.

Bugh!

Tiba-tiba lututnya lemas. Pandangannya berkunang. Izara terjatuh di atas trotoar basah. Tubuhnya gemetar, tangan mencengkeram dadanya sendiri. Dan di tengah keramaian yang acuh, ia menangis.

Orang-orang hanya melirik. Beberapa memperlambat langkah, tapi tak ada yang benar-benar berhenti.

“Kenapa… kenapa harus aku?”

Isaknya lirih, wajahnya tenggelam dalam lengan.

Air matanya jatuh.

Izara masih terduduk di trotoar, tubuhnya menggigil dan wajahnya basah oleh air mata. Nafasnya masih tercekat ketika suara itu terdengar—suara yang ia kenal.

“Izara…”

Seseorang berdiri di hadapannya.

Tubuh tinggi itu menghalangi cahaya pagi yang kelabu.

Wajahnya tampak tegang, mata tajamnya mengisyaratkan kekhawatiran—sesuatu yang jarang terlihat dari dirinya.

Kael.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!