Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
14
Ingin sekali Tessa melayangkan umpatan tepat ke wajah Rajata sekarang juga. Kalau saja dia tidak sedang menahan diri, mungkin luapan emosi itu sudah meluncur deras, tanpa saringan.
Gara-gara pengakuannya setengah jam lalu, hidup Tessa tiba-tiba berubah jadi neraka kecil. Notifikasi Instagramnya meledak, WhatsApp-nya tak berhenti bergetar. Layarnya berkedip-kedip seolah mengejek, dan semua ini terjadi hanya karena satu nama: Rajata.
Tessa menghela napas panjang, membuka beberapa pesan WhatsApp yang masuk—kebanyakan dari teman sekelasnya yang tiba-tiba bersikap sok akrab, seolah-olah mereka sudah kenal sejak lahir.
| Frisca: "Tess, serius lo sepupuan sama Rajata? Dia beneran anak orang tajir, nggak? Mau dong comblangin gue xixi\~"
| Bella: "Tessa, gue minta alamat Rajata dong. Mau kirim gift nih, lo pasti tau kan? "
| Karin: "Tess, kapan-kapan nongkrong bareng yuk... ajak Rajata ya kalau bisaaa "
Tessa mendengus. "Nggak ada kerjaan emang orang-orang ini?" gumamnya ketus dalam hati. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk layar ponsel dengan geram.
"Apa sih hebatnya Rajata?" batinnya mendidih. Ia melirik ke arah laki-laki itu yang kini fokus menatap jalan di balik kemudi. Dengan sengaja Tessa menatapnya lekat-lekat, memperhatikan setiap detail yang sering dipuja-puji orang lain.
Alis tebal itu, hidung mancung, tahi lalat kecil di bawah mata, bibir yang sedikit tebal... Iya, sih, secara fisik memang nyaris sempurna. Tipe yang gampang bikin orang jatuh hati hanya dengan sekali pandang.
"Tapi—apa bagusnya kalau dia orangnya nggak jelas, galak lagi?" pikir Tessa, matanya masih terpaku pada Rajata.
Rasanya ingin sekali dia teriak, "Lo tuh nggak sekeren itu, tau nggak?!" tepat di depan wajahnya.
Namun, mulut nya tertutup rapat.
Rajata, yang sadar kalau dirinya sedang diperhatikan. Ia mendengus kecil sebelum akhirnya bersuara.
"Kenapa lo liatin gue kayak gitu?" tanyanya tajam, sambil melirik sekilas ke arah Tessa. Bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. "Nyesel udah ngaku jadi sepupu gue ketimbang jadi istri gue?" sindirnya.
Nada suaranya dingin memotong udara di dalam mobil yang sempit itu. Ada percikan api kecil dalam kata-kata Rajata—egonya jelas-jelas masih tak terima.
Baginya, pengakuan Tessa sebagai "sepupu" bukan hanya sekadar kebohongan biasa. Itu tamparan keras untuk harga dirinya.
"Minimal dia bisa bilang kalo kita pacaran kan?! Segininya gue jadi suami nggak dianggep." batin Rajata gusar.
Tapi perempuan di sebelahnya itu justru memilih diam, memperhatikan jalanan dengan mulut mengatup rapat.
***
Setelah selesai makan malam, Tessa punya kebiasaan yang selalu ia lakukan sebelum tidur: menyiapkan tugas dan barang-barang yang harus dibawa untuk kuliah besok. Sebagai mahasiswa seni, ada banyak perintilan penting yang wajib dibawa. Jadi, menyiapkannya di malam hari sudah menjadi rutinitas agar keesokan paginya tidak ada yang tertinggal.
Ia menata satu per satu barang dan memasukkannya ke dalam totebag. Tangannya cekatan, tapi mendadak terhenti matanya melebar—cat minyaknya habis. Padahal, besok ia harus membawanya untuk kelas praktik.
Tessa melirik jam dinding. Masih jam sembilan kurang. "Seharusnya Toko alat tulis masih buka, kan...?" pikirnya, ragu.
Tepat saat itu, Rajata muncul masuk ke dalam kamar. Alisnya bertaut bingung saat melihat wajah Tessa yang terlihat gelisah.
"Kenapa muka lo?" tanyanya singkat.
Tessa menoleh pelan ke arah Rajata. Ia menggigit bibir bawah, ragu untuk mengucapkan sesuatu.
Rajata yang tak mendapat jawaban hanya menghela napas. Ia berbalik hendak berjalan menuju kamar mandi, tetapi langkahnya terhenti ketika Tessa menahan lengannya.
"Anterin gue dong, Ja." Suaranya rendah namun penuh harapan. Ada getar diujung suaranya, seolah ragu Rajata mau mengiyakan.
Rajata mengernyit. Ia berdiri diam di tempat, menatap Tessa dengan alis sedikit terangkat.
"Anterin? Malem-malem begini?" Tanya nya heran.
Tessa mengangguk cepat. "Iya—cat minyak gue habis. Besok harus dipakai karena ada praktikum"
"Ogah ah. Lagian malam-malam gini mana ada toko yang masih buka," tolak Rajata santai.
"Ya makanya itu, anterin gue nyari lah! Gue yakin masih ada yang buka," Tessa bersikeras, tatapannya memohon tapi nadanya mulai naik.
"Nggak mau. Cari aja sendiri,"
Tessa mendengus keras. "Dasar nggak jelas...Tadi aja bilang gue harus gantungin hidup gue ke lo. Giliran, diminta nyari cat minyak aja nggak mau lo!" ketusnya dengan wajah kesal.
Tiba-tiba Tessa teringat satu hal—Rajata punya ego setinggi langit. Ada senyum jahil yang tersungging di wajahnya. Ia pura-pura menghela napas panjang sambil meraih ponsel.
"Yaudah deh—kalau lo nggak mau, gue minta tolong Arjuna aja. Dia pasti mau bantu gue," ucap Tessa, tangannya sibuk seolah mencari nomor Arjuna di layar ponsel.
Dan benar saja, reaksi Rajata tak butuh waktu lama.
"Heh! Nggak ada ya!" sahut Rajata cepat, nadanya meninggi. Ia langsung bergerak merebut ponsel dari tangan Tessa.
"Apaan sih! Balikin nggak hape gue!" seru Tessa, mencoba merebut ponselnya dari tangan Rajata.
"Nggak!" tegas Rajata, memalingkan wajah sambil menggenggam ponsel itu erat-erat. "Udah, ayok. Gue anter!!"
Rajata mendengus, lalu meraih kunci mobil di meja. Ia berbalik cepat, seolah tak mau Tessa melihat wajahnya yang sedikit memerah.
Tessa?
Tentu saja dia tersenyum penuh kemenangan. Sudut bibirnya terangkat licik. "Oh, jadi ini titik lemahnya sorang Rajata..." batinnya. Akan Tessa catat baik-baik dalam pikirannya, bahwa mengalahkan Rajata itu cukup—sentil saja ego nya.
Rajata menoleh kearah Tessa, berdecak pelan. "Buruan!!! Sebelum gue berubah pikiran."
"Iyaa—iyaa, Bos Rajata," sahut Tessa sambil cekikikan.
Hampir satu jam Rajata dan Tessa berkeliling, tapi hasilnya nihil. Semua toko alat lukis sudah tutup sejak pukul sembilan malam.
Satu-satunya toko yang masih buka pun membuat Tessa kecewa—stok cat minyak yang dicari nya ternyata kosong.
Rajata menepikan mobilnya. Ia menghela napas berat, kepalanya sedikit berdenyut karena terlalu fokus menyusuri jalan selama hampir satu jam terakhir.
Di sampingnya, Tessa mendesah panjang. Wajahnya jelas menunjukkan kekecewaan.
"Terus nasib gue gimana besok...!" keluhnya, suara lirih namun penuh frustasi.
Rajata menyandarkan tubuh di kursi, menatap Tessa yang masih merutuki nasibnya.
"Udah gue bilang dari tadi, malem-malem gini mana ada toko yang masih buka,"
Tessa tidak menjawab. Matanya mulai berkaca-kaca, menatap ke luar jendela.
Rajata mendengus pelan. Ingin rasanya tidak peduli, tapi kenapa nggak bisaa?! Apalagi kalau Tessa sampai minta bantuan laki-laki lain, Rajata yakin dia pasti lebih kesal.
Suasana di dalam mobil terasa hening. Hanya suara detak jam di dashboard yang terdengar samar.
"Jam berapa sih praktikum lo?" tanya Rajata akhirnya, suaranya lebih tenang.
"Jam sembilan," sahut Tessa singkat,
Rajata menarik napas panjang. "Udah, nggak usah manyun lagi muka lo. Besok gue pastiin cat minyak itu ada sebelum kelas lo mulai."
Tessa menoleh cepat. Mata yang tadi basah kini berubah berbinar.
"Lo... serius?" tanyanya dengan nada penuh harap.
"Iya, serius." Rajata menatap lurus ke depan, menyembunyikan rasa gemasnya sendiri.
Entah apa yang dirasakan Rajata sekarang. Yang pasti, dia hanya tahu satu hal: dia akan mengusahakan apa pun yang diinginkan Tessa.
Entah karena ada rasa yang diam-diam mulai tumbuh... atau sekadar rasa tanggung jawab semata, Rajata sendiri belum tahu jawabannya.
"Ah, bodo amat." Rajata mendesah pelan, menggenggam setir lebih erat. Yang jelas, ia tidak suka melihat Tessa sedih—itu saja sudah cukup jadi alasan.
jangan2...
kasihan, malang benar nasibmu Tessa