Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.
mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14
"Wooooow!" seru semua orang, berteriak kencang sembari bertepuk tangan saat jagoan mereka berhasil menyelesaikan pertandingan.
Artha melepaskan helm setelah motor berhenti.
Mesa turun dari sana, tersenyum cerah.
"Gue nggak nyangka. Lo jago balapan!" katanya memuji Artha sembari membawa helm Julian di
lengan kirinya.
"Gue jago apa saja. Lo aja yang selama ini nggak pernah peduli." Artha turun dari motornya, mengibaskan pakaian yang dikenakan dari debu
debu jalanan.
Mesa turut mengikuti, sempat tertegun beberapa saat dengan apa yang Artha katakan.
"Sorry. Gue tahu apa yang udah gue lakuin membuat lo kesal. Gue mau menebus semua kesalahan gue sama lo!"
"Maksud lo?"
"Kita mulai dari awal," kata Mesa tanpa canggung.
"Gue sadar saat memutuskan menolak lo demi cowok yang gue suka. Nyatanya mencintai cowok yang enggak peduli sama kita itu menyakitkan."
Artha menatap Mesa penuh, memperhatikan kekalutan gadis itu akan masalah yang dialami.
"Lo diputusin?" tanya Artha penasaran.
Namun, tidak seperti apa yang Artha pikirkan. Mesa menggeleng sebagai jawaban.
"Gue mundur sebelum dia meminta putus. Gue nggak mau sakit hati."
Artha menghela napas panjang. Agak miris ternyata kisah percintaan Mesa dan mantan pacarnya. Namun, dia sendiri tidak mengerti apakah rasa untuk Mesa masih seperti dulu? Lantas, bagaimana dengan Naira?
"Gue mau ke toilet." Artha berjalan menjauh meninggalkan Mesa yang masih berdiri di samping motornya.
****
Sementara itu, di sisi lain. Naira masih berada di rumah sakit. Memeriksa jam digital yang tertera di layar ponsel, Naira menunggu Artha kembali. Beberapa panggilan tak kunjung dijawab oleh lelaki itu. Bukannya apa? Naira hanya menuruti perkataan Artha untuk menghubungi lelaki itu jika hendak pulang. Apalagi penjaga mamanya yang diperintahkan oleh keluarga Ravindra sudah datang sejak tadi untuk menggantikannya.
Kini, gadis itu berdiri di depan lobby rumah sakit menunggu kedatangan Artha.
"Ta, lo di mana? Gue mau pulang." Pesan ke-7 yang dikirimkan Naira ke nomor ponsel Artha. Semua hanya terkirim dan tak ada satu pun yang
terbaca.
Rasanya Naira mulai pasrah. Ini untuk terakhir kalinya dia menghubungi Artha. Andai Artha tak kunjung mengangkatnya, dia akan pulang sendiri.
Panggilan mulai tersambung. Ya, Naira masih menunggu, menunggu, dan menunggu. Dia berusaha berpikir positif jika Artha memang tidak mendengar bunyi ponselnya. Sampai panggilan terjawab, membuat gadis itu mengembangkan
senyum lega.
"Artha!"
Awalnya tiada suara yang menanggapi, tetapi itu hanya terjadi beberapa detik saja. Karena di detik
selanjutnya terdengar seseorang menjawabnya.
"Sorry, Artha sedang sibuk. Nggak mau diganggu."
Panggilan berakhir setelah jawaban itu diterima Naira. Senyum yang sempat terbit di bibir pudar saat itu juga. Gadis yang sejak tadi menanti kedatangan Artha menunduk, menurunkan ponsel yang diletakkan di telinga. Dia tertawa kecil, lantas
menggigit bibir bawah.
"Sorry, kalau lo nggak mau gue ganggu. Gue
hanya ngasih kabar karena takut lo nyariin gue," gumam Naira, berbicara sendiri dalam keheningan.
Tangan masih menenteng tas berlogo toko yang berisi seragam baru yang Artha belikan tadi siang. Dia meremas tas plastik itu, lalu matanya mencari cari taksi untuk membawanya kembali pulang ke
rumah.
Biasanya banyak taksi yang mangkal di area rumah sakit. Sayangnya tak ada satu pun malam ini. Naomi berjalan di sekitaran trotoar, sembari menunggu ada taksi lewat. Jaket yang dipakai berusaha dikeratkan dengan kedua tangan memeluk tubuh, merasakan udara semakin dingin. Sayup-sayup terdengar seseorang berteriak.
"Copet! Copet!"
Naira menoleh ke belakang, melihat seorang pria datang ke arahnya sembari berlari membawa sebuah tas kerja yang sepertinya berisi laptop. Secara impulsif, Naira mendorong pria itu hingga
tubuh yang jauh lebih tinggi darinya terjatuh.
Lelaki yang mengejar sosok yang dianggap pencopet itu berlari kencang ke arah Naira, bernapas ngos-ngosan berhasil mendapatkan kembali tasnya. Tentu dengan beberapa kali pukulan yang sempat dilayangkan sampai pencopet itu meminta ampun.
"Tolong, jangan panggil massa!" ujar sang pencopet mengiba.
"Saya hanya sedang butuh uang cepat. Anak saya kelaparan, belum makan sejak tadi siang." Wajahnya yang lebam dengan permohonan itu membuat pria pemilik tas menjadi tak tega.
Lelaki itu mengambil uang dari dompetnya, menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu
kepada pencopet itu.
"Terimakasih, Tuan. Saya tidak berniat berbuat jahat. Saya hanya terpaksa. Saya pengangguran sejak lama."
Lelaki berpakaian rapi itu menghela napas panjang, lalu berkata,
"Gunakan uang itu untuk usaha. Jangan sampai saya lihat kamu beraksi lagi. Bukan hanya warga yang akan memukuli kamu, tapi saya sendiri yang akan memotong tangamu!"
"Tidak. Saya berjanji tidak akan melakukannya lagi. Tuan bisa mempercayai perkataan saya," kata
pencuri itu mengiba.
"Sudah, pergi sana! Ingat kata-katamu!"
Pencopet itu mengangguk seraya berlalu dari sana. Meskipun jalannya tertatih-tatih, tetapi
akhirnya menghilang juga dari batas kelokan.
Kini, tinggallah Naira dengan pria berkemeja itu. Naira menundukkan pandangan, merasa malu
ditatap seperti itu.
"Kalau begitu saya permisi," kata Naira yang hendak melanjutkan perjalanannya. Pria itu tak merespons, hanya sibuk mengecek isi dari tasnya. Mungkin barang yang berada dalam tas itu benar
benar sesuatu yang penting.
"Tunggu!" Pria itu sedikit berlari mengejar Naira. Menyejajarkan langkah Naira yang hampir menjauh darinya.
"Saya belum berterima kasih."
Naira menghentikan langkah, berbalik menghadap pria itu.
"Tidak masalah. Saya hanya kebetulan lewat. Apa tidak ada barang yang hilang?" tanya Naira berbasa-basi. Tampaknya pria pemilik tas tadi memanglah orang baik.
"Tidak!" Pria itu menggeleng.
"Semuanya lengkap." Dia mengulurkan tangan ke arah Naira.
"Fadli!" ucapnya memperkenalkan diri.
Naira menatap uluran tangan tersebut, lalu beralih menatap wajah sosok di depannya. Dia tersenyum kemudian, menerima jabatan tangan.
"Naira." Hanya beberapa detik saja tangan itu
kemudian terlepas.
"Apa yang kamu lakukan malam-malam begini
dijalan?"
"Heem." Naira menggeleng.
"Saya hanya sedang menunggu taksi. Biasanya banyak taksi mangkal di dekat rumah sakit."
"Mau ke mana?" tanya Fadli lagi. Matanya tak
beralih pada sosok sederhana, tetapi manis di
depannya.
"Saya ingin pulang. Tadinya ada yang mengantar, tetapi sepertinya dia sibuk sehingga lupa menjemput." Naira terkekeh saat mengatakannya. Tentu hatinya masih begitu miris saat mengingat kembali jawaban apa yang diterima ketika menghubungi Artha di telepon.
"Kebetulan. Aku juga baru pulang dari kantor. Sebaiknya ikutlah bersamaku! Paling tidak, anggap sebagai balas budiku karena kamu sudah
membantuku mendapatkan kembali tas ini."
"Tapi ...." Mendapat tawaran dari orang asing, tentu membuat Naira curiga. Dia hanya seorang wanita. Bagaimana jika pria di depannya ini ternyata orang jahat? Melihat keraguan dari wajah Naomi, lelaki itu terkekeh.
"Aku hanya ingin menawarkan bantuan. Tidak ada niatan buruk." Tangan kekar yang terdapat jam tangan merk terkenal mengambil sesuatu di balik sakunya, lantas menyerahkan pada Naira.
Sebuah kartu nama berawarna dominasi hitam dan emas kini berpindah tangan. Naira membaca sekilas nama itu, lalu menatap kembali Fadli yang
sedang menunggu jawaban darinya.
"Anda seorang Manager?" tanya Naira ragu.
"Itu tidak penting. Yang ingin kutunjukkan adalah bahwa aku orang baik-baik."
Naira menunduk, lantas tersenyum kaku. "Terimakasih. Sepertinya saya menerima tawaran Anda."
"Okey, tunggu di sini. Aku terlalu jauh berlari. Mobilku ada sekitar ratusan meter dari sini. Jangan ke mana-mana!"
Naira mengangguk menyanggupi. Fadli berjalan dengan langkah lebar, dan sesekali terlihat berlari sambil menenteng tas di tangan. Naira menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Dia masih berdiri di sana sembari menunggu tumpangan dari seseorang yang baru saja dikenalnya.
Sekitar lima menit menunggu, Akhirnya mobil hitam legam berhenti tepat di depan Naira. Kaca mobil diturunkan, dan terlihatlah satu wajah yang sedang menatapnya dari dalam mencondongkan ke depan.
"Ayo, masuklah! Tidak baik seorang wanita malam-malam berjalan sendiri di jalanan." Pintu mobil dibuka dari dalam. Naira segera masuk,
menerima tumpangan dengan senang hati.
"Jadi kamu masih sekolah?" tanya Fadli di tengah perjalan, demi mengusir kebosanan dengan tangan masih sibuk menyetir.
"Heem, begitulah. Mama kebetulan dirawat di
rumah sakit. Jadi saya sedang menjaganya."
"Lalu, papamu?"
Naira menoleh ke arah Fadli, menatap pria itu yang dianggap terlalu banyak mencari tahu.
"Papa sudah tiada. Saya tinggal berdua bersama Mama."
"Itu artinya sekarang kamu tinggal di rumah
sendiri?"
Naira mengernyit. Walaupun Fadli tampak sebagai lelaki baik-baik, tetapi hal itu tak membuatnya gampang percaya.
"Maaf, Om. Sepertinya itu terlalu privasi."
Fadli terkekeh pelan. Dia terlalu nyaman sehingga lupa jika Naira baru dikenalnya beberapa menit lalu.
"Sorry. Kamu tidak perlu menjawabnya." Hening. Tiada pembicaraan lagi di antara mereka.
Sampai akhirnya Naira menujuk ke sebuah gang kecil yang akan menuju rumahnya.
"Berhenti di sana. Saya tinggal di gang itu. Jalannya tidak bisa dilewati mobil."
Fadli mengangguk. Dia segera menepikan mobil tepat di depan gang yang Naira tunjukkan.
"Apa perlu aku antar sampai depan rumah?"
“Heem." Naira menggeleng.
"Terima kasih atas tumpangannya."
Tak banyak yang bisa Fadli lakukan. Dia melepas kepergian Naira, dan memilih pergi karena gadis itu tak kunjung masuk ke dalam gang saat mobilnya belum juga menjauh.
Berjalan sendiri menuju rumah. Sunyi dan senyap. memikirkan Artha membuat hatinya mendadak sakit.
"Dasar! Cowok menyebalkan!" Naira bicara sendiri demi membuang rasa kesal. Mengambil kunci pada salah satu saku tas selempang, dia segera membuka pintunya.
Diliriknya jam dinding yang terdapat di atas ruang tamu. Sudah hampir jam dua belas malam. Dia yakin jika Artha tak akan pulang ke rumah ini. Naira membungkam mulut, menahan kuapan di
bibir, menyiapkan buku pelajaran untuk hari esok.
"Astaga, aku lupa mengerjakan PR Fisika!"
Naira memukul keningnya sendiri. Ini semua gara-gara Artha. Andai Artha tak memintanya
menunggu, dia pasti sudah pulang sejak tadi.
"Artha, nyebelin banget sih lo!" teriaknya sembari membaca rentetan pertanyaan yang memusingkan kepala.
"Gue benci Fisika. Gue juga benci Artha."
Beberapa kali menguap, menunjukkan matanya
sudah tak sanggup lagi menahan kantuk. Hingga
tanpa sadar kepalanya membenam pada lengan dengan tangan memegang pensil yang hendak menuliskan sesuatu pada buku tugasnya.
"Kak, itu ponsel gue?" tanya Artha setelah kembali dari toilet. Dia mendapati Mesa membawa ponselnya, terlihat mengotak-atiknya. Padahal ponsel itu dia letakkan pada tas yang digantungkan pada stang motor.
"Sorry. Tadi ... ponsel lo bunyi. Gue cuma bantu ngejawab." Mesa meringis seraya menyerahkan
ponsel itu pada Artha.
"Lo nggak marah, kan?"
Artha menggeleng, melihat siapa yang tengah memanggilnya. Mulutnya terbuka seketika. Dia
sampai terlupa pada Naira.
"Astaga, Naira!"
Artha mengambil tas dan segera mengenakannya, memasukkan ponsel pada tas tersebut.
"Ada apa, Ta?"
"Gue ada perlu. Thanks, udah ngasih tahu," kata Artha sembari memasang helm full face-nya.
"Guys, gue cabut dulu! Ada yang penting!" teriak Artha pada teman-temannya.
Tanpa menunggu tanggapan Mesa maupun yang lain, Artha segera menyalakan mesin motornya,
Lantas pergi dari tempat pertemuan itu.
Mencoba menghubungi Naira, tak juga diangkat. Artha mencoba menelepon seseorang yang ditugaskan menjaga Maya untuk mencari tahu keberadaan Naira. Namun, yang ditanya mengatakan jika Naira sudah pergi sekitar satu jam yang lalu.
Tentu saja, Naira sudah menunggu Artha di lobby, tetapi tak kunjung datang. Pesannya pun tak
ada satu pun yang terbalas.
Artha mencoba mencari keberadaan Naira. Tentunya smartphone juga memiliki cara memindai lokasi. Dia baru bisa menghela napas lega ketika melihat lokasi Naira ternyata sudah berada di rumah. Artha segera memutar jalan, bersiap pulang menuju rumah Naira.
Hampir tiga puluh menit perjalanan hingga motor Artha berhenti tepat di depan rumah kontrakan Naira. Ketika tangannya hendak mengetuk pintu, ternyata pintu sama sekali tidak dikunci.
"Dasar ceroboh!" kata Artha sembari memasukkan tubuh ke dalam.
Naira memang lupa mengunci pintu karena dia sibuk dengan PR Fisika yang belum dikerjakan. Itu adalah PR yang hanya diberikan pada siswa-siswa
bernilai rendah sepertinya.
Saat Artha hendak meletakkan tas di meja, matanya tertuju pada Naira yang ketiduran pada meja belajar. Dia menggeleng pelan, berjalan menuju ke tempat Naira berada.
Berniat membangunkan Naira agar pindah ke kamar, pandangan Artha justru teralihkan pada coretan-coretan kecil yang Naira tulis di ujung
ujung buku tulisnya.
"Fisika menyebalkan. Sama kayak Artha. Fisika dan Artha sama-sama menyebalkan. Gue benci kalian berdua!" Tulisan itu diikuti dengan banyak sekali tanda seru.
Artha terkekeh. "Dasar gadis bodoh."
Mengurungkan niatnya membangunkan Naira, Artha memilih mengangkat tubuh gadis itu, menggendongnya untuk dipindahkan ke kamar. Perlahan, dan sangat perlahan kaki Artha terayun, membawa Naira bersamanya menuju kamar satu
satunya di rumah ini.
Hati-hati Artha membaringkan tubuh Naira di ranjang dengan nyaman. Baru saja tangannya berhasil dipindahkan dari bawah kepala Naira, tetapi gadis itu tiba-tiba berpindah posisi, berguling ke arahnya. Kepala Naira menindih tangan Artha sebatas lengan, sehingga lelaki itu tak bisa berkutik saat wajah Naira teramat dekat dengannya.
Deg.
Jantung Artha mendadak berdetak lebih cepat, menyaksikan sosok yang terbuai dalam balutan mimpi sedang tertidur lelap beralaskan lengannya, dan begitu dekat dengannya.