Liliana, gadis biasa yang sebelumnya hidup sederhana, dalam semalam hidupnya berubah drastis. Ayahnya jatuh sakit, hutang yang ia kira sudah selesai itu tiba-tiba menggunung. Hingga ia terpaksa menikah i Lucien Dravenhart , seorang CEO yang terkenal dingin, dan misterius—pria yang bahkan belum pernah ia temui sebelumnya.
Pernikahan ini hanyalah kontrak selama satu tahun. Tidak ada cinta. Hanya perjanjian bisnis.
Namun, saat Liliana mulai memasuki dunia Lucien, ia perlahan menyadari bahwa pria itu menyimpan rahasia besar. Dan lebih mengejutkan lagi, Liliana ternyata bukan satu-satunya "pengantin kontrak" yang pernah dimilikinya…
Akankah cinta tumbuh di antara mereka, atau justru luka lama kembali menghancurkan segalanya?
Cerita ini hanyalah karya fiksi dari author, bijaklah dalam memilih kalimat dan bacaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon boospie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 Flashback
7 years ago...
Sinar matahari menerjang lembut melalui jendela kaca tinggi yang membatasi ruangan perkantoran tersebut dari wilayah luar. Terlihat jelas didalam ruangan itu, diantara deretan kursi yang mengelilingi meja panjang tersebut, seorang gadis dibiarkan duduk disamping ayahnya.
Tempat penting yang selalu dijadikan rapat petinggi dan pemegang saham diperusahaan Aehara corp, kini dapat menggabungkan seorang anak kecil yang berusia 12 tahun. Gadis tersebut duduk anggun dengan setelan kemeja hitam dan bawahan celana panjang, tidak seperti anak-anak seusianya, Liliana hanya diam sembari memperhatikan jalannya rapat tersebut.
Tidak ada tangisan, maupun rengekan yang keluar dari bibir mungilnya. Ia patuh.
Sikapnya yang anggun ketika usianya masih sangat belia cukup menarik perhatian seorang pria yang sedang duduk diujung meja, satu deret dengan yang menghadap gadis itu.
Telinganya sibuk menyerap setiap informasi yang didiskusikan dimeja tersebut, tapi tidak dengan matanya. Ia terus menjatuhkan pandangan pada gadis kecil itu, selain wajah yang sangat cantik, sikapnya yang sopan dan patuh juga sangat menarik.
Manik kebiruan itu berkedip sekali kemudian bergerak menatap kearah lain, tatkala gadis yang sedari tadi ia pandangi menatap kearahnya.
Lucien tampak kikuk sendiri ditengah rapat penting tersebut, hadirnya waktu itu ia perwakilan dari Zetther yang masih diberikan jabatan sebagai direktur keuangan. Saat itu usianya masih 22 tahun.
"Baik sekian rapat kali ini, terimakasih atas kehadirannya," ucap James Montclaire yang kemudian membungkuk.
Lucien masih menatap Liliana, dimana gadis kecil itu ikut menundukkan sedikit kepalanya dengan tangan yang diletakkan didepan dada. Tidak hanya Lucien yang menatap kagum pada gadis kecil itu, melainkan beberapa pemegang saham sebelumnya menyuruh gadis itu untuk ikut.
Hingga tiba dimana waktu James berjalan melewati Lucien, sembari menyempatkan melontarkan sapaan ringan, dan pandangannya tidak bisa lepas dari gadis mungil tersebut.
.
.
Lucien berdiri menghadap jendela yang langsung mengarahkan ke dunia luar, tampak bayangannya terbentuk indah dari cahaya dari gedung-gedung tinggi disebelah rumah sakit.
Kesadarannya kembali sempurna usai pikirannya sempat menerawang jauh saat dimana ia pertama kali bertemu Liliana, tapi sepertinya hanya gadis itu yang tidak pernah menyadari kehadiran Lucien.
Tatapannya datar, sama sekali tidak bisa ditebak tentang isi hatinya, meskipun ia menyimpan banyak rahasia didalam. Wajahnya menoleh pada punggung sofa panjang, dengan perlahan ia melangkah mendekati sofa, melihat Liliana yang sedang tertidur diatasnya.
Napasnya yang teratur, helaian rambut acak menutupi sebagian wajah gadis itu. Tampak begitu tenang seolah kebisingan dunia luar tak cukup untuk mengusiknya. Dalam benaknya, ia tahu betul gadis itu tengah mencari sesuatu.
Ia akan menghentikannya tapi tidak sepenuhnya menghentikan, seperti ada bagian dari dirinya yang membiarkan.
ia bergumam sangat pelan hampir tak bersuara, "Kalau kau cukup cerdas, harusnya berhenti."
Sejenak ia hanya menatap Liliana dalam diam, tanpa emosi. Tanpa sadar tangannya tergerak nyaris ingin merapikan rambut gadis itu, sedetik kemudian tangan itu terkepal jatuh disamping tubuh, seperti mendapat pukulan keras yang menyadarkan bahwa ia tidak memiliki hak untuk melakukannya.
Gadis itu menggeliat kecil, bergerak secara acak seperti berusaha menyingkirkan dingin yang mulai mengusik. Lucien menyadari itu, ia berjalan menuju rak disudut ruangan, mengambil satu selimut lalu kembali.
Tidak meletakkan diatas tubuh Liliana, melainkan hanya diletakkan di ujung kaki sofa. Jika sewaktu-waktu gadis itu bangun, ia dapat langsung melihat nya.
Waktu berlalu, sunyi masih menggantung di udara. Sementara Lucien kembali menatap ke luar jendela. Ia tidak pergi, tidak berniat pergi.
Pertemuan saat itu hanyalah sebuah rasa kagum kepada seorang anak kecil, hanya sebatas itu—tidak lebih.
...~• suddenly become a bride •~...
Sinar matahari mulai menyingsing dari arah timur, perlahan menerobos masuk dari jendela besar yang berdiri sebagai pembatas. Hadirnya seketika mengusik tidur pulas seorang gadis, tubuhnya menggeliat pelan seraya mengedipkan mata berulang kali.
Satu yang ia lihat pertama kali saat pandangannya jelas, Lucien sedang duduk di single sofa dengan wajah yang fokus pada layar tabletnya. Pria itu terlihat sangat rapi tidak seperti orang bangun tidur pada umumnya.
"Apa kamu tidak tidur?" tanya Liliana selagi tangannya sibuk merapikan tatanan rambutnya yang ia gerai sesaat sebelum tidur.
"Aku bukan robot, seharusnya kau sudah tahu," jawab pria itu tanpa sedikitpun melirik kearah Liliana.
Nadanya datar, seperti biasa hanya sebagai keperluan menjawab.
Gadis itu menyapu sekeliling, ia menemukan selimut yang masih terlipat rapi diujung sofa. Ia bingung, lalu beralih menatap Lucien. Tidak ada ingatan apapun tentangnya saat mengambil selimut itu.
Bibirnya terbuka ingin mengatakan sesuatu pada Lucien, namun seketika kembali mengatup saat melihat pria itu duduk dalam diam, hanya menghabiskan waktu untuk tenggelam dilayar bersaturasi cerah itu.
Kali ini pandangan jatuh cukup lama pada Lucien, menatap gerak gerik pria itu dalam menyapu layar tablet, tanpa ekspresi, tanpa gerakan bibir. Selalu manik matanya tampak bergerak naik atau turun. Bukan jali pertama Liliana melihat kegiatan Lucien seperti itu, hanya saja saat ini ia merasa tidak ingin mengalihkan pandangannya.
Ini lebih dari sekedar karena pria itu berparas sangat tampan, tapi aura dominannya yang terasa begitu kuat, seolah menekan segala hal untuk berada dibawah kendalinya.
"Kenapa kau selalu seperti itu?" tanyanya begitu saja. Ada sesuatu dalam diri Lucien yang tidak tahu apa itu, tetapi memaksa Liliana untuk penasaran dengannya.
Lucien menghentikan jarinya, beralih menatap Liliana penuh, "Seperti apa?"
Gadis itu menggedikkan bahu, matanya bergerak liar, sedikit penyesalan atas pertanyaannya, "Entahlah—hanya seperti tidak tersentuh."
"Memang tidak," jawabnya datar, kemudian kembali fokus pada layar pipih tersebut.
Tidak ada satupun pertanyaan balik mengenai rasa penasaran gadis itu yang terlihat jelas dari ucapannya. Dan lagi, gadis itu kesulitan dalam menanggapi kalimat Lucien yang terdengar mutlak.
"Haruskah kita pulang sekarang? Kau—kita akan bekerja bukan?" tanya Liliana. Kecanggungan kini menyelimuti keduanya.
Lucien tak berniat membalas, ia hanya melihat jam dinding yang terus berdetak setiap detiknya. Arah pandangnya tersebut diikuti mata Liliana, saat itu juga matanya membola.
Waktu sudah menunjukkan pukul 8 kurang seperempat menit, sedangkan hari ini ia memiliki jadwal meeting pukul 8.
"Bersiaplah disini, lebih dekat berangkat dari sini daripada pulang dulu," ucap Lucien. Tangannya menunjuk pada sebuah tas yang berdiri dibawah sofa tempat gadis itu duduk.
Liliana tanpa bertanya apapun, segera meraih tas tersebut melihat isinya sebentar kemudian pergi ke kamar mandi untuk bersalin.
Cukup memakan waktu lima menit, pastinya ia melompati sesi membersihkan diri. Terdengar kotor tetapi Liliana juga tidak bisa membuang waktunya saat ini.
"Sebaiknya kau membangunkan aku lainkali," ucapnya pada Lucien saat baru keluar dari kamar mandi.
Pria itu membangunkan tubuhnya, "Kau menyuruhku?"
"Tidak—ah yasudah lah, aku tidak punya waktu lagi," sahutnya yang terdengar kesal, ia berjalan keluar dari ruangan itu terlebih dulu dengan tergesa-gesa.
Lucien menarik sudutnya sekilas, lalu melangkah keluar.