Aisyah, seorang istri yang selalu hidup dalam tekanan dari mertuanya, kini menghadapi tuduhan lebih menyakitkan—ia disebut mandul dan dianggap tak bisa memiliki keturunan.
mampukah aisyah menghadapi ini semua..?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon prettyaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pertemuan farhan dan rania
Ibu Farhan duduk di ruang tamu sambil menyeruput teh hangat. Pikirannya dipenuhi berbagai rencana untuk membuat Farhan dan Rania semakin dekat. Ia tahu putranya tidak akan mudah berpaling dari Aisyah, tetapi jika ada kesempatan yang tepat, segalanya bisa berubah.
Ia mengeluarkan ponselnya, lalu menghubungi Farhan.
"Halo, Nak? Apa kau sibuk?" tanyanya dengan suara lembut.
Farhan yang saat itu sedang di kantor menghela napas kecil. "Tidak terlalu, Bu. Ada apa?"
"Ibu ingin meminta tolong. Ibu sedang di luar dan mobil ibu mogok. Bisa jemput ibu?"
Farhan sedikit mengernyit. "Di mana, Bu? Kenapa tidak telepon bengkel saja?"
"Ah, ibu lupa bawa dompet dan tidak bisa membayar teknisi. Ibu ada di kafe dekat taman kota."
Farhan menghela napas. "Baiklah, Bu. Aku akan segera ke sana."
Begitu panggilan berakhir, Ibu Farhan menoleh ke Rania yang duduk di hadapannya dengan senyum penuh arti. "Sebentar lagi Farhan akan datang. Pastikan kau terlihat cantik dan kebetulan saja sedang berada di sini."
Rania tersenyum senang. Ia segera merapikan rambutnya dan memeriksa riasan wajahnya di cermin kecil. "Terima kasih, Tante. Aku akan membuatnya mengingat semua kenangan indah kami dulu."
Tak lama, suara mobil Farhan terdengar dari luar. Ibu Farhan pura-pura panik, sementara Rania duduk dengan anggun, seolah baru saja menikmati minumannya.
Ketika Farhan masuk ke kafe, matanya langsung menangkap sosok Rania. Ia sedikit terkejut. "Rania?"
Rania menoleh dan tersenyum manis. "Farhan? Wah, kebetulan sekali! Aku baru saja selesai meeting dengan klien di sini."
Ibu Farhan berpura-pura tersenyum senang. "Oh, kalian sudah bertemu? Baguslah! Farhan, duduklah sebentar. Temani Rania mengobrol dulu, ya. Ibu masih harus menunggu bantuan dari bengkel."
Farhan tampak ragu, tetapi Rania dengan cepat berkata, "Ayo duduk sebentar, kita kan sudah lama tidak mengobrol."
Ibu Farhan menyembunyikan senyumnya di balik cangkir teh. Rencananya berjalan dengan sempurna.
Rania menatap Farhan dengan senyum lembut, matanya berbinar seolah mengingat sesuatu yang indah. Ia mengaduk kopi di depannya perlahan, lalu menoleh ke Farhan yang duduk di seberangnya.
"Farhan… masih ingat waktu kita sering datang ke kafe seperti ini dulu?" suaranya terdengar lembut, nyaris seperti bisikan nostalgia.
Farhan menghela napas pelan, menyandarkan punggungnya di kursi. "Rania, itu sudah lama berlalu."
Rania tersenyum kecil, matanya menatap lurus ke dalam mata Farhan. "Aku tahu… Tapi aku tidak bisa melupakan semuanya begitu saja."
Farhan mengalihkan pandangannya, merasa sedikit tidak nyaman. "Kita sudah punya kehidupan masing-masing sekarang, Rania. Aku sudah menikah."
Rania tertawa pelan, memainkan ujung sendoknya di atas meja. "Menikah… tapi apa kau benar-benar bahagia, Farhan?"
Farhan terdiam. Rania memperhatikan ekspresi wajahnya yang berubah seketika, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih lembut.
"Dulu, kita selalu bermimpi untuk menjalani hidup bersama, ingat? Kau bilang aku adalah satu-satunya orang yang bisa membuatmu bahagia." Rania mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya terdengar lebih emosional. "Aku masih ingat saat kau memelukku di taman kota dan berkata kalau kita akan selalu bersama. Kau tidak ingat?"
Farhan mengusap wajahnya, merasa semakin tidak nyaman. "Rania, itu dulu. Keadaan sudah berbeda sekarang."
Rania tersenyum tipis, tetapi matanya menyiratkan kesedihan yang dibuat-buat. "Ya… tapi aku masih Farhan yang sama. Dan aku tahu, jauh di lubuk hatimu, kau juga masih Farhan yang dulu."
Suasana menjadi hening. Farhan tahu ia harus mengakhiri percakapan ini sebelum semakin dalam, tetapi ada sesuatu dalam tatapan Rania yang membuatnya sulit untuk menolaknya begitu saja.
Di sisi lain, Ibu Farhan memperhatikan dari kejauhan dengan senyum puas. Rencana ini berjalan lebih baik dari yang ia harapkan.