NovelToon NovelToon
Inginku Bukan Ingin_Nya

Inginku Bukan Ingin_Nya

Status: tamat
Genre:Teen / Romantis / Tamat / Cerai / Teen Angst / Diam-Diam Cinta / bapak rumah tangga
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Imas

Kisah ini berlatar belakang tentang persahabatan dan percintaan. Menceritakan kisah seorang gadis yang hidup penuh keberantakan, Jianka namananya.

Jianka mempunyai seorang sahabat dekat yang dia pikir benar-benar seorang sahabat. Namun tidak, dia adalah orang yang paling tidak rela melihat Jianka bahagia.

Beruntung dalam dunia percintaan. Jianka dicintai dengan hebat oleh dua lelaki yang memiliki latar dan gaya hidup yang berbeda.

Jianka menjalin hubungan dekat dengan seorang lelaki bernama Arbian. Remaja zaman sekarang biasa menyebut hubungan ini dengan HTS. Meski demikian, kesetiaannya tak dapat diragukan.

Selain itu, Jianka juga dicintai oleh seorang Gus Muda yang mampu menjaga kehormatannya dan bersikap sangat dewasa.

Bagaimana kisah lengkap mereka? Cinta manakah yang mampu memenangkan Jianka? Kuy, ikuti ceritanya ....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tak Memilih Benci

..."Seharusnya aku membencimu mulai hari itu. Tapi tidak! Bahkan, aku akan menerimamu jika kamu memilih untuk kembali."...

...-Arbian Putra Pratama...

.......

.......

.......

"Jianka, kamu tau, bukan? Sejak awal, aku bahkan berniat menunda hari pernikahanku. Aku tidak mempermasalahkan kamu yang menerima lamaran orang lain, tapi kenapa semudah itu, Jianka?"tanya Arbian sambil mengelus lembut punggung tangan Jianka.

Tanpa mereka sadari, seseorang telah berdiri di ambang pintu. Mahza kembali dan tanpa sengaja mendengar perbincangan tersebut.

"Andai Jianka tau kalau Kak Arbian akan benar-benar membatalkan pernikahan, Jianka tidak akan menerima lamaran lelaki lain."

Jawaban Jianka seolah menyambar hati Mahza. Matanya terpejam dengan bibir yang meringis kesakitan. Mahza yang tak lagi kuasa menahan sakitnya, kembali melanjutkan langkahnya.

"Assalamualaikum, maaf. Kunci mobil ketinggalan," ucapnya yang membuat Arbian dan Jianka mematung seketika.

"Mahza."

Tanpa menjawab panggilan Jianka, Mahza bergegas mengambil kunci mobil miliknya dan ingin segera pergi.

"Mahza tunggu!"

Ucapan tegas itu kini berhasil menghentikan langkahnya yang sudah berada di ambang pintu. Mahza membalikkan tubuhnya.

"Jangan salah paham, Mahza."

"Aku rela ...."

Ucapakan itu terhenti, Arbian tertunduk seolah tak berdaya untuk mengatakannya.

"Aku tau kalian sedekat itu. Maaf kalau aku justru menjadi menghalang untuk kalian."

"Jianka, jika kamu merasa terpaksa, kamu boleh membatalkan itu," lanjut Mahza dengan wajah yang tampak begitu tenang sekarang."

"Aku menerimanya dengan keadaan sadar dan tanpa paksaan."

"Seandainya Arbian datang lebih awal, apakah kamu masih akan menerimanya?"

Jianka tertunduk seketika, bagaimana dia harus menjawab pertanyaan yang bahkan telah ia jawab sebelumnya?

"Itulah takdir, Mahza. Aku datang lebih lambat. Itu artinya, dia adalah takdirmu," sahut Arbian yang menangkap kebingungan Jianka.

...

"Apa? Kak Arbian lari?"

"Acara ini nggak mungkin dibatalin, Za. Tolongin gue."

"Maaf, Fi. Gue nggak bisa."

Melalui panggilan tersebut, Fiana memohon tulus. Suaranya pun dapat menggambarkan setulus apa dia meminta.

"Jangan-jangan kak Arbian batalin pernikahannya karena Jianka?"

Iza bangkit dari tempat duduknya dan bergegas kembali menuju rumah sakit. Yang benar saja, dia sudah mendapati kakak lelakinya tersebut bersama Jianka dan  Mahza.

"Kak?"

Seluruh mata kini tertuju pada Iza yang berwajah emosi.

"Lo gila? Lo nggak mikirin perasaan Fiana? Bahkan, lo batalin pernikahan lo sendiri, demi wanita yang sudah dilamar lelaki lain!"

"Kenapa? Lo mau? Nikahi aja, Za. Nih, pake baju gue! Lo nggak usah mikirin biaya, itu semua udah gue tanggung. Lo tinggal datang sebagai mempelai pria!"

"Lo bener-bener nggak punya hati!"

Iza pergi meninggalkan perdebatan dan bergegas menghadiri acara yang telah usai sebelum diselesaikan tersebut.

Sudah dapat diduga, sehancur apa Fiana saat itu. Pada hari yang sangat dia nanti, seharusnya hari ini menjadi hari yang sangat membahagiakan. Namun tidak, bahkan Fiana tidak pernah menduga bahwa semua ini akan terjadi.

"Fi, hari di mana aku tau tentang hubungan kalian, hancurnya aku hampir sama sepertimu. Karma? Aku harap bukan," batin Iza yang menatap kusut tangis Fiana dari kejauhan.

...

Ponsel Jianka berdering, di tengah suasana yang masih hening dan kaku tersebut. Jianka menjawab panggilan kakak lelakinya yang tak biasanya menghubungi dirinya.

"Kamu di mana? Pulang sekarang!"

"Pulang ke mana?"

"Rumah ayah. Ayah nggak ada," suara yang mendadak melemah.

"Maksudnya nggak ada?"

"Lo pulang sekarang aja! Nggak usah banyak nanya!"

"Jianka lagi di rawat di rumah sakit, Kak."

Tanpa berkata apa pun lagi, tanpa bertanya Jianka sedang sakit apa, tanpa sedikit rasa peduli. Kakak lelakinya itu memutuskan panggilannya.

"Kak, maksud kakak aku apa, ya? Dia bilang ayah nggak ada," tanya Jianka yang tampaknya benar-benar tak mengerti pada Arbian.

Arbian yang mencerna perlahan, tiba-tiba memasang wajah serius yang sedikit dibumbui rasa terkejut.

"Ji, jangan bilang orang yang dibawa turun dari ambulance, yang bareng kamu waktu itu ...."

Wajah yang mulai memahami maksud Arbian seketika berubah serius. Mereka bertiga hanya tampak diam dalam keterkejutan mereka, saling tatap tanpa kata.

"Kak? Maksud Kak Arbian?" tanya Jianka tegang yang sebenarnya mengerti maksud Arbian.

"Kamu tenang, Jianka. Mahza, ayo ikut aku! Kita ke rumah Jianka."

Yang benar saja, rumah yang dulu Jianka tinggali tersebut. Kini tampak ramai dipenuhi para tamu yang memberikan bela sungkawa.

Setelah mendengar kabar itu. Dengan sangat memaksakan diri, Jianka bersikeras meminta untuk keluar dari rumah sakit dan mengunjungi rumah duka. Setelah mendapat pemeriksaan ulang, Jianka diizinkan untuk pulang.

Bersama keluarga Mahza dan juga Arbian, Jianka kembali menginjakkan kakinya di rumah yang dia kira tidak akan pernah dia kembali menginjakkan kakinya di rumah ini.

Air matanya mengalir deras begitu melihat foto ayahnya yang terpajang jelas di antara bunga-bunga duka.

Entah ada apa dengan hari ini. Hari ini seolah menjadi hari yang menyakitakan bagi mereka. Mereka terluka dengan luka mereka masing-masing. Tepat di hari yang sama, meski dengan luka yang berbeda.

Kembali bertemu dengan ibunda dan adik perempuannya. Ini bukanlah acara pelepasan rindu yang selama ini Jianka harapkan. Mustahil tidak merindukan keluarganya selama Jianka jauh dari mereka. Meski mereka memperlakukan Jianka dengan buruk. Rindu Jianka tak pernah usai.

Pelukan yang tak pernah Jianka dapat, hari ini mungkin menjadi hari pertama Jianka mendapatkannya. Ibunda Jianka memeluk hangat tubuh Jianka yang belum sehat sepenuhnya, "Yah, Jianka belum ngerasain pelukan ayah," batin Jianka hancur.

Kakak lelaki Jianka, datang dengan langkahnya yang tampak lemah. Mendekat dengan wajah harunya, memeluk ibunda yang lama tak ia jumpai.

Setelah prosesi pemakaman selesai, ibunda Jianka menghampiri putrinya yang berada di tengah-tengah keluarga Mahza dan juga Arbian.

"Ini Bunda Jianka. Umma, Abah."

"Bun, beliau calon mertua Jianka."

Mendengar kata tersebut, wajahnya tampak merekah cerah. Senyumnya tampak lega bahagia, menggantikan suasana duka.

Sebenarnya ini bukan waktu yang tepat untuk mengenalkan mereka. Tapi apalah daya, mereka harus bertemu dalam waktu ini.

"Alhamdulillah, ini adiknya?" tanya ibunda Jianka menunjuk Mahza yang dia kira adik dari Arbian.

Arbian menunduk seketika. Mahza justru bingung dengan maksud sang ibunda, Jianka yang memahaminya mulai bersuara.

"Bukan, Bun. Ini putra mereka."

"Ini calon kamu?" tanya ibunda terkejut, "Bukannya sama yang ini?" lanjutnya sambil menunjuk Arbian.

Mahza membuang wajah kesal. Lagi-lagi, semua hanya tentang Arbian dan Jianka.

"Bukan, Bun."

"Rencana, kami akan menikahkan mereka setelah Jianka lulus," sahut abah Mahza mengalihkan pembicaraan.

"Baik, Pak. Saya menerima semuanya asal putri saya bahagia."

Mendengar ucapan basi tersebut, Arbian  memasang wajah tengil, menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal.

Jianka hanya tersenyum licik melihat tingkah Arbian yang hanya dipahami olehnya.

Merindukan rumah di mana dia dibesarkan. Jianka mulai menyusuri setiap ruang, termasuk ruang kamar yang dulunya selalu menjadi tempat paling nyaman untuk dirinya tinggal.

Jianka menyentuh lembut setiap barang yang masih tampak sama letak posisinya. Tak ada yang berubah dari kamarnya, hanya meja dan lemari yang tampak kosong tanpa barang-barang Jianka yang memenuhi mereka.

Arbian yang selalu mengkhawatirkan dirinya, selalu berusaha menjaga dan berusaha untuk tidak jauh dari Jianka. Arbian menangkap wajah datar tersebut.

Bersamaan dengan Arbian yang turut memasuki kamar Jianka. Mahza yang mengetahui hal itu tak tinggal diam. Tepat di ambang pintu, Mahza melihat pemandangan indah namun juga sedikit menyakitkan. Namun, ini membuat hatinya merasa sangat yakin pada Jianka.

"Kak, apakah Jianka masih boleh memeluk Kak Arbian? Sementara, ada laki-laki yang bahkan telapak tangannya saja dia jaga agar tidak disentuh oleh sembarang wanita hanya untuk Jianka."

Pada suasana seperti ini, saat di mana Jianka selalu membutuhkan pundak untuk bersandar. Membutuhkan pelukan untuk menguatkan dirinya. Arbian yang selalu menemani setiap lukanya, tentu mengerti kebiasaan apa yang Jianka minta.

Ya, saat sedih seperti sekarang ini. Jianka biasa bersandar di pundaknya, lalu Arbian  akan memeluknya dan Jianka akan menangis di pelukannya. Kedua tangan Arbian yang membentang, mempersilahkan Jianka untuk lari dan menangis dalam pelukannya.

Jika biasanya Jianka akan melakukan hal itu, berbeda dengan saat ini. Bahkan, ini menjadi hari pertama, Jianka penolak pelukan tersebut.

Arbian menurunkan bentangan kedua tangannya, "Kamu cantik waktu pakai jilbab, Jianka. Seharusnya aku sadar sejak saat itu, aku mengenalmu jauh. Kamu tidak akan melakukan sesuatu untuk orang lain, kecuali kamu mencintainya."

Langkah Arbian mendekat, "Dan kamu rela membeli pakaian baru yang Mahza suka, hanya karena dia datang."

"Aku menyadari itu, tapi bodohnya, hatiku buta untuk mengakui bahwa, kamu mulai mencintainya," lanjut Arbian yang kini berdiri tepat di hadapan Jianka.

Jianka hanya tertunduk diam membisu, "Tidak, Kak. Dulu, aku melakukan itu memang karena cinta, tapi bukan cinta seperti cinta kita. Aku mencintai Mahza karena kita seperti keluarga."

"Tidak, jangan merasa bersalah. Angkat kepalamu, Jianka."

Jianka yang tak berani menunjukkan wajahnya yang menahan air mata, hanya tetap tertunduk dalam.

Tangan Arbian mulai mengambil langkah, dia berniat mengaitkan rambut panjang yang terjatuh itu pada telingan cantiknya. Belum sempat ia melakukannya, Arbian tersadar dan kembali menurunkan tangannya.

"Cantik, angkat kepalanya, ya. Aku tidak bisa menyuntuhmu sekarang. Seandainya boleh, aku ingin menyentuh dagumu untuk membantumu mengangkat kepala."

Kelapa itu kembali terangkat, kibasan ringan dari rambut yang menutup wajahnya, memperlihatkan wajah yang hampir menumpahkan air matanya tersebut.

"Sejauh ini, aku yang selalu menghapus air matamu. Apakah hari ini aku kembali menjatuhkan air matamu untuk yang kedua kalinya?"

"Tidak, Kak Arbian. Aku sedang menangisi diriku sendiri."

...***...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!