Anin adalah seorang gadis yang diusianya baru menginjak umur 17 tahun ia sudah harus melewati berbagai rintangan dan cobaan hidup. Masalah demi masalah datang silih berganti tapi ia mencoba sabar melewatinya. Hingga suatu hari Anin harus melewati ujian yang sangat berat sepanjang hidupnya. Mamanya meninggalkan ia diusianya yang masih muda dan ia harus memulai kehidupannya setelah kepergian mamanya. Akankah Anin mampu menjalani kehidupannya tanpa sang mama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummunafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Flasback...
PoV Mama Anin
pagi ini aku sangat kerepotan, bagaimana tidak kerepotan, putriku yang biasa membantuku di dapur rupanya dia masih tidur. Padahal pagi ini aku ada kerjaan penting. Ya sudahlah aku kerjakan saja, kalau ngomel terus kerjaanku malah tidak selesai.
Akhirnya setelah hampir sejam berkutat di dapur, kini sarapan telah tersaji di meja makan, aku sengaja tidak masak banyak, karena rencananya siang nanti aku akan mengajak putriku makan diluar saja.
Saat hendak berangkat kerja, aku kembali mengecek putriku dan ternyata masih sama. Entah jam berapa semalam dia baru tidur, akhirnya aku meninggilkan stickynote lalu ku letakkan di meja makan. Semoga saja ia membacanya.
Baru saja aku hendak menutup pintu kegiatanku yang tadinya ingin mengunci pintu seletika terhenti.
"Nak Gilang?" sapa Mama Anin dengan lembutnya.
"Tante mau kemana?" Tanya Gilang
"Mau ke sekolah. Kamu mau temuin Anin?"
"Tante, Gilang kesini karena mau minta bantuan tante. Tante bisakan buat drama seolah itu benar-benar terjadi dan dari sana aku bisa menentukan pilihanku pada Anin tante."
"Maksudnya kamu suka sama Anin?"
"Jadi rencana kamu apa?"
Akhirnya mama dan juga Gilang tengah menyusun rencana dengan matang.
"Ya sudah, tante ke sekolah bentaran ya. Sana gih coba bangunin Anin, eh tapi jangan berani-berani masuk kerumah kalau cuma berdua ya."
"Iya tante, kalau itu mah Gilang juga paham."
Flashback Off
"Owalaa jadi seperti giru toh ma ceritanya."
"Ya begitulah."
"Ohiya ma, menurut mama Gilang gimana?" Tanya Rika
"Kenapa kamu yang nanya gitu? Harusnya kan Anin. Apa jangan-jangan... Kamu suka juga sama Gilang?"
"Ihh mama, ya nggak mungkin lah. Rika itu cinta mati sama ayang Rika."
"Iya deh Rika bucin."
"Jadi gimana ma?"
"Apa ya? Baik sih anaknya, dia juga pernah nolongin mama waktu papanya Anin datang kesini."
"Serius ma?"
"Iya. Sudahlah hal itu tidak perlu dibahas ya."
"Jadi mama ngerestuin mereka?"
"Kalau Aninnya memang suka sama Gilang, ya mama seneng lah. Tapi kan kamu tahu sendiri, Anin gimana kalau soal cowok. Dipikiran mama itu sekarang sedang bertanya-tanya apa iya mereka akan jadian?"
"Ya sudahlah ma, mending kita tunggu saja."
******
Kembali pada Anin dan Gilang...
Anin dan juga Gilang masih menikmati pemandangan dihadapannya. Keduanya masih berlarut dalam pikiran masing-masing.
"Anin..!" Ucap Gilang, membuat Anin membuyarkan lamunannya itu. Lalu ia menatap sekilas ke arah Gilang seakan memberi jawaban atas panggilannya tadi.
"Jadi gimana soal kelanjutan kita? Apa ada kesempatan buat aku?" Ucap Gilang to the point.
Sedari itulah yang dipikirkan Gilang, ia ingin menanyakan kejelasannya pada Anin, tapi melihat gadis disampingnya diam, seakan Gilang paham akan jawaban Anin nantinya.
Sedetik, dua detik, hingga 15 detik berlalu, Gilang masih menanti harapan itu. Ia berharap hari ini ia bisa bersatu dengan gadis di sampingnya.
Gilang sendiripun sudah bertekad pada dirinya, dan juga berusaha selalu mengingat bahwa yang ia cintai sekarang itu Anin bukan Nina. Bukan berarti melupakan sosok Nina, hanya saja Gilang harus maju, ia tidak mungkin terus terpuruk meratapi sosok yang tidak akan pernah kembali lagi.
Dan kini Tuhan mentakdirkan Gilang sosok gadis cantik, lemah lembut pada Gilang, dan tentunya setiap orang perilakunya berbeda, orang kembar saja memiliki kepribadian yang berbeda. Begitulah Anin dan Nina, memang wajah keduanya persis sama, tapi pasti sikap mereka dan semuanya beda.
"Gilang aku pamit pulang. Please beri aku waktu." ucap Anin dan beranjak berdiri dari tepi danau itu.
"Tapi Anin.??"
"Please kak."
"Baiklah, aku harap kamu mau kasih aku kesempatan itu Anin."
Anin tak menjawab, ia beranjak pergi dari sana. Tak butuh waktu lama, ia sudah tiba dirumah, dilihatnya Rika dan mamanya sedang bercanda, ingin rasanya Anin bergabung, tapi suasana hati Anin sedang tak menentu.
Rika yang menyadari kedatangan sahabatnya itu, hendak memanggil Anin, namun mama Anin menahan seolah mengatakan jangan pada Rika.
"Biarkan dia menenangkan perasaannya dulu, kamu disini saja. Kasihan sekali putriku, pasti ia begitu takut untuk masuk dalam dunia percintaan. Ahhh semua gara-gara papanya yang brengsek itu. Ini dampaknya, Ini yang mama takutkan Rik, liatkan sekarang terjadi juga."
Rika tidak tahu lagi harus berkata apa, ia hanya bisa memeluk mama Anin seakan memberi ketenangan.
Di kamar Anin, Anin duduk di tepi jendela kamarnya. Ia menatap lurus kedepan, larut dalam pikirannya yang begitu menyulitkan.
******
Hari hari telah berlalu, namun Anin masih saja menyendiri di kamarnya. Rika selalu datang tiap hari ke rumah sahabatnya itu. Ingin rasanya ia menghampiri Anin. Ia tak tega melihat sahabatnya seperti ini.
"Ma, aku udah nggak bisa diam kek gini terus. Aku mau ke kamar Anin." Ucap Rika dan berlari menuju ke kamar Anin,
Tok...tok..tok...
"Anin ini gue Rika. Gue boleh masuk."
Satu, dua detik belum ada jawaban. Hingga beberapa detik menunggu terdengar suara pintu terbuka. Tampak sosok Anin, Rika melihat ada raut berbeda dari sahabatnya itu.
"Gue boleh masuk?" tanya Rika lagi
"Iya boleh." ucap Anin
Kini keduanya duduk dipinggir tempat tidur, keduanya masih terdiam.
"Anin..please jangan seperti ini. Kalau emang lo nggak bisa terima, ya gue bakalan temenin lo buat kasih tau kak Gilang. Tapi please jangan siksa diri lo. Kasian mama lo tau. Dia khawatir banget sama lo."
Anin seketika menatap ke arah sahabatnya, tampak raut kekhawatiran dari sahabatnya itu. Anin mengahmburkan pelukannya dan menumpahkan seluruh sesak yang ia pemdam.
"Gue takut akan cinta Rik."
"Iya gue ngerti Nin, tapi lo jangan lemah gini dong. Ayo bangun."
"Tapi gue juga berat buat nolak."
"Maksudnya lo ada rasa? Tapi lo sendiri bingung sama diri sendiri karena belum berani buat kenal cinta? Begitu?" Tanya Rika memastikan, dan dibalas anggukan oleh Anin menandakan bahwa itu benar.
Rika masih tengah berpikir, ia harus memikirkan matang-matang perkataan yang akan keluar dari mulutnya. Ia tidak ingin membuat hati Anin malah terluka.
"Gue panggilin mama ya. Kasian tuh mama." ucap Rika. Ia sepertinya hanya mama Anin yang bisa memberi arahan buat Anin.
Rika keluar dari kamar Anin, dan berlari kecil mendekati mama Anin yang tengah duduk di ruang keluarga.
"Ma, masuk gih sana."
"Emang Anin ngijizin.?"
"Iya ma. Tapi ma, permasalahannya Anin ada perasaan sama kak Gilang, tapi trauma yang dibuat papanya membuatnya takut."
"Sudah kuduga. Ya sudah kamu tunggu disini, mama akan coba bicara sama Anin."
"Iya ma.Makasih ya."
******