"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.
Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"
"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.
"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"
Diam.
"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.
Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Hujan dan Cerita Lama
Hujan turun sejak fajar menyingsing. Awan menggantung tebal di atas langit Bandung, menyelimuti dataran tinggi itu dengan udara dingin dan aroma tanah basah. Pepohonan bergoyang pelan diterpa angin yang lembut, dan suara rintik hujan menciptakan irama yang menenangkan di atap rumah keluarga Darma. Cakra duduk sendiri di teras, mengenakan jaket tipis dan memeluk lututnya. Di hadapannya, halaman kecil mulai tergenang air. Tetes-tetes hujan turun teratur, seolah berusaha menghapus sisa-sisa luka yang masih menetap di dalam dadanya.
Sesekali, ia menghela napas panjang. Matanya tidak fokus—menatap jauh ke luar, tapi pikirannya jauh lebih dalam. Mengenang wajah Laras yang ia lihat di pelukan orang lain, mencicipi kembali rasa kecewa yang belum juga hilang. Ia tidak menangis. Tapi ada kesedihan yang pekat mengalir diam-diam, seperti hujan di depannya—sunyi, namun menusuk. Hujan terus mengguyur Bandung, dan Cakra tetap duduk di sana, seolah ingin membiarkan dirinya larut sejenak bersama langit yang juga sedang bersedih.
Aroma jahe dan teh melati memenuhi udara dapur yang hangat. Di luar, hujan masih turun pelan. Di dalam, Shifa sedang menuangkan air panas ke dalam teko tanah liat, sementara Cakra berdiri di sampingnya, membantu menyiapkan gelas. "Aku suka suasana kayak gini," kata Shifa pelan, sambil tersenyum tipis. "Hujan, teh hangat, dan dapur yang tenang."
Cakra mengangguk pelan. "Tenang, ya... kadang dibutuhin." Mereka duduk di bangku kecil dekat jendela dapur, masing-masing memegang cangkir teh hangat. Obrolan mereka awalnya ringan—tentang makanan favorit, dosen killer di kampus Shifa, dan bagaimana Shifa sempat kesasar naik bus saat pertama kali ke Jogja.
Namun lama-kelamaan, nada suara mereka melambat, menjadi lebih dalam. "Kadang orang datang dalam hidup kita cuma buat ngasih pelajaran," ujar Shifa sambil menatap uap teh di tangannya. "Dulu aku kira dia yang terakhir... tapi ternyata cuma singgah sebentar."
Cakra meliriknya sekilas. "Sakit?" Shifa tersenyum, hambar. "Banget. Tapi lama-lama bisa nerima. Mungkin bukan salah siapa-siapa. Cuma... waktunya nggak pas." Cakra terdiam sejenak. Lalu, dengan suara pelan, ia berkata, "Gue juga... pernah ngerasain kayak gitu. Ditinggal... padahal masih berharap dia tinggal."
Shifa menatapnya sebentar, tak menyela. "Kadang gue mikir, mungkin gue yang salah... atau mungkin dia emang udah nggak lihat gue sama seperti dulu," lanjut Cakra. "Tapi ya, sekarang gue cuma belajar... ngelepas." Mereka terdiam bersama, membiarkan hujan di luar berbicara untuk mereka. Tak ada nama disebut, tak ada air mata tumpah. Tapi di antara dua cangkir teh yang mengepul, dua hati yang pernah patah saling memahami dalam sunyi.
Menjelang siang, hujan masih mengguyur kota Bandung, meski kini tak sederas pagi tadi. Cakra dan Shifa masih duduk di dapur, kini berganti mengupas beberapa potong singkong untuk digoreng. Suasana perlahan menjadi lebih ringan."Eh, kamu tahu nggak," kata Shifa tiba-tiba, memecah keheningan. "Dulu waktu kecil aku pernah nyasar di pasar karena ngikutin tukang kue cubit." Cakra menoleh dengan alis terangkat. "Hah? Serius?" Shifa terkekeh. "Serius. Aku kejar si abang-abangnya karena aromanya enak banget. Eh, pas sadar, ibu aku udah hilang entah ke mana."
Cakra tertawa kecil, suaranya baru terdengar tulus setelah beberapa hari ini. "Kamu diculik rasa penasaran ya?" "Aku diculik sama perut kosong!" jawab Shifa cepat. Mereka tertawa bersama. Hujan terus turun, namun di dalam rumah itu, tawa kecil mulai menyusup di sela-sela luka. Cakra, yang sempat merasa jiwanya beku sejak hari itu di trotoar, kini mulai mencair sedikit demi sedikit. Entah karena teh hangat, hujan yang menenangkan, atau... Shifa.
Saat singkong goreng matang, mereka menyantapnya berdua di ruang tengah, sambil menonton televisi yang menyiarkan sinetron lama. Hakim dan Darma masih tidur siang, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang tak lagi canggung. Cakra tak mengatakan apa-apa. Tapi dalam hati, ia tahu: ini pertama kalinya setelah sekian lama... ia merasa sedikit lebih ringan.
Menjelang sore, hujan mulai reda, menyisakan rintik-rintik kecil yang menetes di ujung daun. Di ruang tengah, Darma muncul membawa setumpuk kartu remi, diikuti oleh Hakim yang membawa cemilan dari dapur. "Ayo, waktunya main kartu!" seru Darma. "Yang kalah nanti cuci gelas sore ini." Cakra mengangkat alis, sedang duduk di kursi sambil menonton televisi. Shifa yang baru keluar dari kamar, ikut duduk di samping Cakra.
"Ayo, Kang Cakra, jangan diam terus. Kita butuh pemain yang tenang tapi bisa dikalahkan," goda Hakim sambil tertawa. Mereka pun mulai bermain. Suasana jadi lebih santai. Darma dan Hakim sengaja membuat candaan-candaan konyol, bahkan beberapa kali pura-pura curang hanya untuk membuat Shifa tertawa. Ketika Cakra dan Shifa kebetulan duduk bersebelahan, Hakim langsung berseru, "Wah, wah... kartu dan cinta mulai bersatu nih."
Cakra langsung menghela napas, lalu tertawa kecil sambil menggeleng. Shifa hanya tersenyum, pipinya memerah, tapi ia tidak menjauh. "Udah, diem kalian," kata Cakra setengah malu, tapi nada suaranya tidak sekeras biasanya. Namun, momen itu terasa hangat. Bukan karena permainan kartunya, tapi karena untuk pertama kalinya, Cakra tertawa tanpa pura-pura. Tawa yang tulus. Dan meski belum sepenuhnya pulih, sore itu adalah satu langkah kecil menuju Cakra yang perlahan kembali.
Malam turun perlahan di langit Bandung. Udara dingin menyusup ke sela-sela dinding rumah, menebar keheningan yang terasa nyaman. Cakra duduk sendirian di ruang tamu, hanya ditemani suara detik jam dinding dan rintik hujan tipis di luar sana.
Lampu temaram memantulkan bayangan samar di lantai kayu. Di tangannya ada cangkir teh yang mulai mendingin, tapi pikirannya justru menghangat. Ia menatap kosong ke arah jendela, namun dalam dirinya ada sesuatu yang bergerak—pelan, tapi nyata.
Bayangan Shifa muncul dalam pikirannya. Cara ia tertawa kecil, cara ia mendengarkan dengan sungguh-sungguh, dan tatapan matanya yang teduh saat mereka bicara di dapur tadi. Ada ketenangan yang tak ia sadari mulai meresap perlahan.
Cakra menarik napas dalam-dalam. Luka itu belum hilang—ia tahu. Tapi rasa perihnya... tak lagi menusuk seperti kemarin. Ada sesuatu yang menenangkannya, membungkus luka itu dengan kehangatan baru.
“Apa ini... awal dari sesuatu yang lain?” bisiknya dalam hati, hampir tak terdengar.
Ia tak punya jawaban malam itu. Tapi untuk pertama kalinya sejak semuanya hancur, Cakra tersenyum kecil. Bukan karena ingin terlihat kuat. Tapi karena ia merasa... mungkin, ia akan baik-baik saja.
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf