NovelToon NovelToon
Garis Batas Keyakinan

Garis Batas Keyakinan

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Percintaan Konglomerat / Cintapertama / Idola sekolah
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: blcak areng

Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.

​Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.

​"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."

​Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Selembar Kerudung dan Salib yang Terpisah

Aku tahu, itu adalah janji Revan. Tapi bagi Indira, itu adalah Garis Batas Keyakinan yang ia tak tahu apakah sanggup untuk melangkahinya. Panggilan video kami berakhir tak lama setelah itu, menyisakan perih yang dingin di hati.

​Keesokan harinya, aku memutuskan untuk tidak berlama-lama di kampus. Setelah kelas terakhir selesai, aku bergegas ke parkiran motor. Neli dan Imel sudah lebih dulu pulang, meninggalkan pesan agar aku tidak terlalu memikirkan perkataan Revan semalam.

​Saat aku melangkah keluar dari gerbang kampus, suara klakson yang familiar memecah keramaian sore.

​"Indira!"

​...Aku menoleh. Di seberang jalan, Revan Elias Nugraha bersandar di mobil hatchback silver-nya. Ia tampak santai dengan kaus putih berkerah dan celana jeans, dengan kalung salib perak yang tampak mencolok di antara warna kain. Ia terlihat menonjol di kerumunan kampusku, seolah dia datang dari dunia yang berbeda.

Indira! Kenapa di sini?" Aku segera menghampirinya, rasa terkejut dan senang bercampur menjadi satu.

​"Kenapa? Kamu tidak senang aku datang?" Ia terkekeh, lalu membukakan pintu mobil untukku. "Ayo, masuk. Sudah lama aku tidak melihat kampusmu."

​"Aku senang, tentu saja. Tapi kukira kamu ada kelas sore? Kampusmu jauh, Van."

​"Hari ini kelas dibatalkan mendadak. Jadi, daripada aku menghabiskan sore di perpustakaan katedral yang sepi itu, lebih baik aku melihat matahari terbenam denganmu." Ia menutup pintu mobilku.

​Aku teringat sesuatu. "Tapi, motorku?"

​Revan tersenyum menenangkan. "Aku sudah memikirkannya. Kuncinya akan aku serahkan pada anak buahku di sana." Ia mengangguk ke arah seorang pria muda yang berdiri tak jauh dari gerbang.

Orang itu langsung mendekat kepada kami lalu aku langsung memberikan kunci itu kepada orang itu. "Nanti dia akan mengantar motormu sampai rumahmu. Jadi, kamu tidak perlu khawatir."

​"Ya Tuhan, Revan! Kamu selalu saja merepotkan dirimu sendiri untuk hal-hal kecil!" Aku memukul pelan lengannya, antara kesal dan tersentuh.

​"Ini bukan hal kecil, Indira. Ini tentang memastikan wanitaku tidak kelelahan." Revan masuk ke kursi kemudi dan menyalakan mesin. "Ayo, jangan cemberut lagi karena omonganku semalam. Aku lapar. Ada tempat ramen yang baru buka di dekat pusat kota. Kamu mau?"

​"Terserah kamu. Asal jangan yang tempatnya terlalu terbuka," ujarku, sadar akan kerudungku dan mata-mata yang mungkin mengenali kami.

​"Tentu. Aku sudah memikirkan itu. Tempatnya nyaman dan tertutup, tenang saja."

​Mobil melaju pelan meninggalkan hiruk pikuk jalanan sekitar kampus. Keheningan di antara kami kini terasa lebih nyaman, tetapi aku tahu keheningan itu menyimpan begitu banyak pertanyaan.

"Van," panggilku pelan, memecah keheningan. "Tentang yang kamu katakan semalam..."

​Ia mengangguk, fokus pada jalan. "Aku tahu kamu masih memikirkannya. Maaf kalau kata-kataku terdengar menggurui."

​"Tidak. Justru itu yang membuatku semakin... galau. Kata-kata kamu itu begitu dewasa, Van. Kamu menghargai agamaku melebihi aku sendiri menghargai batasan itu." Aku menatapnya.

"Kenapa kamu melakukan itu?"

​Revan menarik napas. "Karena aku mencintaimu, Ra. Dan aku tahu bagaimana rasanya kehilangan pegangan. Agama adalah pegangan. Aku tidak mau kasihku merusak peganganmu. Aku ingin kasihku justru menguatkannya."

​"Tapi bagaimana dengan masa depan kita?" tanyaku, suaraku nyaris bergetar. "Aku tahu, kamu sudah menetapkan pilihan. Dan aku... aku tidak bisa memintamu kembali ke jalan yang sudah kamu tinggalkan. Begitu juga sebaliknya."

​Revan menepikan mobilnya sebentar di pinggir jalan yang sepi. Ia memutar tubuh menghadap ku, tatapannya lekat dan intens.

​"Indira Safitri," panggilnya, menyebut nama lengkapku dengan penekanan. "Kamu tahu, aku dibesarkan di dua dunia. Sejak aku kehilangan Ayah dan memilih bersama Ibu, aku menemukan kedamaian di keyakinan ini. Itu adalah jalan yang kulalui sendiri."

​Ia menunjuk kalung salibnya. "Ini adalah lambang keyakinanku. Tapi ini," ia menyentuh dadanya, tepat di atas jantung, "ini adalah rumah bagimu. Dan di rumah ini, tidak ada yang memisahkan kita. Tidak ada Al-Qur'an dan tidak ada Injil."

​"Tapi dunia luar tidak seperti itu, Van! Mereka melihat kerudung dan salib ini. Mereka melihat perbedaan di mata hukum, di mata keluarga, di mata Tuhan!" Aku tidak bisa menahan air mata yang kini menetes.

​Revan tidak menyentuhku, ia hanya mengatupkan kedua tangannya di depan lutut. Sikapnya yang menghormati batasan fisikku justru membuat hatiku semakin sakit.

"Aku tahu, Indira. Aku tahu itu menyakitkan. Tapi kasih itu tidak pernah menyerah. Prinsip yang kupegang—Lakukan segalanya dengan cinta—bukan sekadar kata-kata. Itu adalah cara kita bertahan. Kita fokus pada apa yang bisa kita kendalikan: bagaimana kita saling menghormati, bagaimana kita saling mendukung dalam iman masing-masing, dan bagaimana kita berjuang untuk menemukan jalan yang belum pernah ada."

​"Jalan yang belum pernah ada?"

​"Ya. Jalan di mana 'agamamu adalah agamamu, dan untukku agamaku' menjadi fondasi, bukan tembok. Aku tidak akan memaksamu. Aku tidak akan mengambilmu. Aku hanya akan menunggu sampai kita berdua sama-sama yakin, di mana kita bisa berdiri, tanpa mengkhianati hati maupun Tuhan kita."

​Kata-kata Revan, yang begitu bijaksana di usianya, berhasil menenangkan badai dalam diriku. Ia menanyakan pertanyaan terberat sambil menyodorkan jawaban paling mustahil.

​"Baiklah," kataku, menghapus air mata. "Aku lapar. Ayo kita makan ramen di jalan yang mustahil itu."

​Revan tersenyum, senyum tulus yang membuatku jatuh cinta sejak dulu. Ia menyalakan mesin mobil lagi, melanjutkan perjalanan kami ke tempat makan, seolah tidak ada satu pun Garis Batas Keyakinan yang bisa menghentikan perjalanan mereka.

1
Suyati
cakep bunda nasehatnya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!