Terbangun dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya, Lengkara dibuat terkejut dengan statusnya sebagai istri Yudha. Jangan ditanya bagaimana perasaannya, jelas saja bahagia.
Namun, Lengkara merasa asing dengan suaminya yang benar-benar berbeda. Tidak ada kehangatan dalam diri pria itu, yang ada hanya sosok pria kaku yang memandangnya saja tidak selekat itu.
Susah payah dia merayu, menggoda dan mencoba mengembalikan sosok Yudha yang dia rindukan. Tanpa dia ketahui bahwa tersimpan rahasia besar di balik pernikahan mereka.
******
"Dia berubah ... amnesia atau memang tidak suka wanita?" - Lengkara Alexandria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 - Untukmu Saja
Sebagaimana kebohongan mereka yang sama-sama tertata sempurna, begitu juga dengan Lengkara. Sama sekali Bima tidak curiga ketika sang istri menghubunginya dikala pria itu masih dalam perjalanan.
Cukup lama tidak menginjakkan kaki ke perusahaan akibat alergi beberapa hari lalu, siang ini Bima menjadi pusat perhatian para karyawan. Namun, untuk yang kali ini bukan karena ketampanan atau bingung kenapa tidak ke kantor cukup lama, tapi justru kotak bekal berwarna merah muda yang Bima bawa.
"Anda pasti sangat lelah, bagaimana jika tuan besar tahu masalah ini?"
"Sejak kapan dia peduli tentang rasa lelahku, Pak Chan?" Bima tersenyum getir untuk fakta menyakitkan dalam hidupnya.
Jika ditanya lelah atau tidak, jujur saja tidak. Apa yang dia jalani bertahun-tahun lebih melelahkan dari ini. Bima sama sekali tidak masalah, walau harus pulang pergi dengan jarak yang begitu jauh dan hanya sempat memunculkan batang hidungnya sebentar di kantor.
Bima berusaha sebaik mungkin, untuk saat ini memang hanya begini langkah yang bisa dia titi. Awalnya Yudha meminta agar Bima membawanya lebih baik, tapi andai benar-benar dia lakukan maka besar kemungkinan dia akan sulit bertemu dengan Yudha.
"Kau tumbuh dengan sangat hebat, Nyonya pasti begitu bangga begitu mengetahui putranya sedewasa ini."
"Semoga saja, pak Chan," jawab Bima kembali menghela napas panjang, sudah siang dan dia baru bisa duduk dengan tenang.
Asisten Chan masih menatap Bima penuh sesal. Sedikit terlambat, luka yang menganga di hati Bima sudah begitu parah karena siksaan batin dari Atmadjaya dan istri mudanya.
"Pak Chan kenapa melihatku begitu?" tanya Bima kemudian kala menyadari tatapan sendu pria paruh baya itu.
"Maaf tuan muda, saya terlambat dan membiarkan Anda meraba selama ini."
"Tidak masalah, aku masih bisa bersama mereka sudah lebih dari cukup, Pak Chan."
Dia tidak terlihat marah, padahal kesalahan Chandra Liow cukup fatal jika hendak dibahas. Mengetahui semua yang terjadi, saksi mata kehidupan Atmadjaya di masa muda itu bungkam bertahun-tahun dan menutupi fakta tentang rahasia Nyonya Atmadjaya yang sesungguhnya.
"Ah iya, apa itu bekal yang disiapkan nona muda?"
Bima tersenyum tipis, hampir tidak terlihat dan tatapannya tertuju pada kotak persegi di atas meja. Statusnya bahkan lebih tinggi dari dokumen yang kemarin diletakkan asistennya di atas meja.
"Iya ... anggap saja begitu."
Sadar betul jika Lengkara tidak memberikan bekal itu untuknya, melainkan Yudha. Untuk itu Bima ragu sebenarnya, tapi saat ini dia ingin juga. Terlebih lagi usai perjalanan panjang yang dia lalui.
"Lucu," puji pak Chan yang membuat mata Bima mendelik tajam, dia paham kemana arah pembicaraan Chandra dan tampaknya bukan pujian yang sesungguhnya.
"Seperti milik putriku," lanjutnya kemudian dan berhasil membuat Bima memejamkan mata, bahagia sekali asisten sekaligus orang kepercayaan papanya ini.
"Apa selucu itu?"
"Maaf, tuan muda ... saya permisi."
Secepat mungkin dia pamit, Bima yang pendiam bukan berarti tidak bisa naik darah. Namun, kotak bekal atasannya memang terlalu sayang andai tidak ditertawakan.
"Menyebalkan ... Yudha juga ays!!"
Awalnya keputusan Bima sudah sangat mantap, tapi dia mengurungkan niat dan memilih untuk menuntaskan rapat. Sama seperti beberapa waktu sebelumnya, dia tidak pernah lama di kantor.
Bima seakan tidak ada bedanya dengan pria yang memiliki dua istri, sebisa mungkin harus dibagi dan tentu saja bersifat rahasia. Satu jam lalu dia berada di kantor, kini pria itu sudah berada di sebuah tempat yang pada akhirnya benar-benar dia sebut sebagai rumah.
Tempat kembali dan hati Bima merasa sedikit lebih tenang. Sambutan tangan hangat ibunya membayar semua lelah yang Bima rasakan, begitu juga dengan senyum pria yang selalu menunjukkan seolah dia baik-baik saja.
"Kau baik-baik saja?"
"Seperti yang kau lihat, sangat baik."
"Aku baru tahu kau alergi daging, Bim ... aku benar-benar khawatir kemarin," ucapnya tanpa menatap ke arah Bima, sungguh perhatian sekali.
"Aku hanya makan sedikit, tapi rasanya seperti mau mati."
Bima menghempaskan tubuhnya di sofa, menatap Yudha yang kini menyibukkan diri dengan playstation kesayangannya. Wajah Yudha tampak serius, kalau katanya dia ingin menikmati hidup lantaran dahulu selalu dihabiskan untuk kerja dan kerja. Ya, kira-kira begitu alasan Yudha demi Bima mengabulkan semua keinginannya agar betah di rumah.
"Euuugh!! Sialan!!"
"Yudha," panggil Bima setelah cukup lama membiarkan Yudha menikmati dunianya.
"Kenapa? Kau ingin bermain juga?"
"Bukan ... Kara masak nasi goreng, mau?"
Yudha yang sejak tadi fokus ke depan, mendadak berhenti begitu mendengar pertanyaan Bima. Pria itu menoleh perlahan, matanya mengembun kala menatap kotak bekal yang pernah Lengkara tunjukkan beberapa bulan sebelum kecelakaan.
"Hasil maling, cantik, 'kan?"
Begitu jelas terbayang di benak Yudha, senyum tengil Lengkara ketika menunjukkan hasil buruannya. Sesuai janji, Lengkara benar-benar menyiapkan bekal jika sudah menjadi istri.
"Untukmu saja, dia masak untukmu, Bim."
"Untuk Yudha, bukan Bima," ucap Bima seketika membuat suasana hening, kedua pria itu saling memandang dan terlihat sama sendunya.
"Kau suaminya, Bima, hargai usahanya."
Perdebatan mereka agaknya tidak akan berakhir. Hingga, Bima terdiam kala menyadari seseorang menghubunginya. Mata pria itu mengerjap pelan dan mendadak was-was begitu mendengar siapa yang kini tengah bicara.
"Apa? Dia ke kantor?"
.
.
- To Be Continued -
bikin pedih mata...
ada luka yg tak terlihat tp bs dirasa.
kl diposisi lengkara apa jadinya