Apa yang akan terjadi pada Jamilah setelah tiga kali dilangkahi oleh ketiga adiknya?.
Apa Jamilah akan memiliki jodohnya sendiri setelah kata orang kalau dilangkahi akan susah untuk menikah atau mendapatkan jodoh?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 Wanita Pelangkah
Daddy Emir meminta Alexander untuk keluar dari mobil dan menunggu di dalam rumah Jamilah. Obrolan ini sungguh sangat tidak pantas untuk didengar, terlebih oleh anak kecil. Padahal untuk orang dewasa pun tidak pantas karena akan sangat melukai hati lawan bicaranya. Tapi Daddy Emir masa bodoh saat ini, sebab Jamilah bukan siapa-siapa bagi dirinya. Jadi tidak ada masalah jika Jamilah harus sakit hati mendengarnya.
Daddy Emir menatap mereka dengan sangat tidak ramah mendapati pikiran mereka yang mengira jika dirinya calon suami dari Jamilah. Mereka tidak tahu saja kalau dirinya sangat tidak tertarik pada Jamilah, Jamilah tidak memilki daya tarik apa pun, menurutnya. Dan ia sudah memiliki calon istri yang sudah sangat memenuhi kriteria dirinya. Tapi ibu-ibu itu tidak peduli, malah mereka dengan senang hati memperolok Jamilah di depan Daddy Emir.
"Sepertinya calon suami ibu guru Jamilah ini masih memiliki istri ya?, itu ada cincin yang udah melingkar di jari manisnya?."
Wajah Daddy Emir sudah terlihat sangat menyeramkan, tapi anehnya tidak ada satu pun dari mereka yang takut. Mereka malah lantang menyuarakan ejekannya yang lebih ditujukan pada Jamilah.
"Tapi enggak apa-apa juga ibu guru Jamilah, selama calon suaminya bisa berbuat adil. Iya kan?."
"Satu istrinya di kota, satu lagi disini. Supaya tidak bentrok dan jauh dari keributan."
"Bersyukur aja sekarang mah ibu guru Jamilah, meski jadi istri kedua."
Emak yang sedari tadi melihat dan mendengar apa yang dikatakan oleh mereka datang dengan membawa satu ikat sapu lidi untuk membubarkan ibu-ibu itu.
"Sudah cukup!. Kalian sudah senang mempermalukan Milah?. Sekarang kalian pergi dari sini!." Usir Emak sembari mengangkat tinggi-tinggi sapu lidi tersebut.
"Yeyyy...Emak Jamilah, apa yang kita katakan itu benar adanya. Mending jadi istri kedua, atau ketiga atau mungkin ke empat. Asalkan laku dan ngerasain punya suami itu seperti apa?."
Deg
Entah kenapa?, entah dari arah sudut hati Daddy Emir yang mana?, yang tiba-tiba merasa iba dan kasihan pada Jamilah saat melihat air mata Jamilah menetes dan dengan cepat Jamilah mengusapnya.
"Emak...."
Jamilah memeluk Emak yang menatap nanar pada ibu-ibu yang berlalu dari depan mereka.
"Bersikaplah tegas Milah!, sesekali kamu bela diri mu sendiri!. Jangan mau diinjak-injak seperti itu terus!. Kuping dan hati Emak yang sudah terbakar Milah." Emak meninggalkan Jamilah, tapi kemudian berhenti dan berbalik badan menatap Daddy Emir.
"Maaf kalau Bapak sudah kena getahnya karena berada di dekat Jamilah." Emak benar-benar meninggalkan mereka di sana. Jangan tanyakan dengan air matanya yang kini bercucuran, seakan berlomba keluar dari kedua mata Emak dengan sangat deras.
Daddy Emir merasakan dadanya yang tiba-tiba sesak. Entah kenapa ia begitu terluka melihat wanita yang disebut Jamilah, Emak?.
"Maaf, saya tidak bisa membiarkan Bapak Emir dan Alexander untuk mampir. Maaf untuk kejadian ini" Ucap Jamilah dengan sekuat tenaga menahan air matanya.
Lidah Daddy Emir menjadi kelu, melihat kedalam mata Jamilah begitu banyak menyimpan kesedihan yang tidak pernah diungkapkan.
"Sampaikan maaf saya pada Alexander, jika ia bertanya kenapa ia tidak boleh mampir ke rumah saya?." Jamilah segera masuk melalui pintu samping supaya ia tidak berpapasan dengan Alexander dalam kondisi air matanya yang sudah berjatuhan. Hingga ia lebih memilih untuk masuk ke kamar mandi yang ada di luar, untuk membuang air matanya yang masih saja banyak. Walau Jamilah sudah sering mengeluarkannya saat bercerita dengan Gusti Alloh.
.
.
.
Kejadian di rumah Jamilah, mundur kebelakang dengan kejadian wanita pingsan karena meminta Jamilah untuk menikahi suaminya. Menjadikan Daddy Emir berpikir sangat keras, bagaimana dengan nasib Jamilah kedepannya?.
Daddy Emir memutar-mutar ponsel, posisi tubuh bersandar pada headboard dengan meluruskan kedua kakinya.
"Kenapa aku harus peduli dengan kesedihan dan kesaktiannya?." Yang mampu dilihat Daddy Emir dari wajah cantik Jamilah dengan hijabnya.
"Arkam....Arkam...Arkam..."
"Tiffani...Tiffani...Tiffani..."
"Apa yang akan terjadi pada mereka, jika aku melakukan hal gila ini?. Tapi kalau tidak aku lakukan bagaimana aku bisa menolong wanita itu?. Kenapa aku begitu terganggu dengan air matanya?."
"Arrgggggghhh"
"Kenapa juga aku harus mempercepat kedatanganku ke kampung ini?, seharunya tetap bulan depan saja aku kemari nya. Jadi aku tidak harus melihat semua kejadian ini." Daddy Emir jadi ikut memikirkan wanita yang tidak menarik, menurutnya. Tapi kini wanita tidak menarik itu sudah mendominasi pikiran dan hati Daddy Emir dengan segala kesedihan dan kesaktian yang dirasakan Jamilah.
.
.
.
"Bagaimana Pak, dengan Pak Teguh?. Jadi besok datang kesini?." Tanya Emak saat mereka sudah di dalam kamar.
Bapak mengangguk lemah, Bapak kurang bersemangat menyambut tamu esok hari. Takut kejadian kemarin terulang lagi.
"Kita harus bisa meyakinkan Pak Teguh supaya mau sama Jamilah, Pak." Desak Emak. Emak tidak ingin mengulang kejadian kemarin. Kali ini ia harus bisa meyakinkan Pak Teguh untuk mau sama Jamilah dan kalau bisa langsung melamarnya.
"Lalu apa yang harus kita lakukan Mak?." Tanya Bapak bingung, dari segi harta mereka sangat jauh dibawah, tidak memiliki apa pun.
Emak hanya mampu diam, ditanya balik sama Bapak seperti itu. Memang apa lagi yang harus mereka lakukan sebagai orang tua?.
Keduanya kini tidur saling memunggungi dengan mata yang masih terbuka.
Lain halnya di kamar Jamilah. Usai melaksanakan sholat dua rakaat. Rasa kantuk itu tiba-tiba saja menyerang kedua matanya. Hingga tidak membutuhkan waktu lama Jamilah sudah tidur dengan pulas. Kedua mata yang bengkak cukup memudahkannya untuk terpejam dengan sempurna.
Jamilah sudah berdandan dengan sangat cantik untuk menyambut kedatangan tamu yang sebentar lagi akan datang.
"Milah cepat, Pak Teguh sudah datang!." Seru Emak berteriak begitu senang. Jamilah masih menatap dirinya sendiri di depan cermin dengan senyum yang bahagia.
"Bismillah ini lah jodoh ku!." Ucap Jamilah dalam hati sebelum ia keluar bertamu Pak Teguh.
Saat Jamilah keluar kamar. Emak, bapak, Jaka, Julia sudah berkumpul di sana. Pak Teguh saat ini dalam posisi yang membelakanginya. Jamilah berjalan perlahan, mendekati Pak Teguh yang sedang asyik bicara dengan anggota keluarganya.
"Assalamu'alaikum Pak Teguh?." Ucap Jamilah menyapa Pak Teguh dengan salam.
"Wa'alaikumsalam Jamilah." Balas Pak Teguh seraya membalik tubuhnya.
Deg...Deg...Deg...
Jantung Jamilah sangat berdebar kencang saat mengetahui siapa yang dipanggilnya Pak Teguh adalah pria yang tadi siang ke rumahnya.
"Bapak Emir!."
Jamilah menatap wajah Emir yang begitu bercahaya yang tersenyum kearah dirinya. Wajah datar yang satu hari ini ditemuinya kini tidak ada, hilang. Berganti dengan wajah yang berseri dan selalu tersenyum manis.
Jamilah membuka matanya dengan jantung yang masih berdebar kencang seperti yang terjadi didalam mimpi. Jamilah mengusap wajahnya dengan beberapa kali membaca istighfar. "Astaghfirullahaladzim."
"Ini hanya mimpi." Gumam Jamilah seraya bangkit dari ranjang dan menuju dapur untuk mengambil air minum.
Jamilah langsung duduk di bale-bale usai menghabiskan satu gelas penuh air minum putih. Ia memutar kembali mimpi itu yang begitu terasa nyata dan sangat menyentuh relung hatinya yang paling dalam. Jamilah bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang sedang bertalu-talu. Lagi-lagi Jamilah meyakinkan dirinya jika itu hanya mimpi, mimpi dan mimpi. Yang selama ini selalu dianggapnya sebagai bunga tidur.
.
.
.
Pagi datang menyapa, Emak dan Bapak harus optimis jika hari ini hari baik Jamilah, Aamiin.
Emak dan Bapak menjalankan tugasnya masing-masing usai sholat subuh. Jaka dan Julia mempersiapkan diri untuk sekolah. Dimana hari ini, Jamilah yang akan mengantarkan mereka. Jamilah kembali izin hari ini pada Pak Ginanjar, tidak mengajar.
Dari seluruh anggota keluarga yang lain tidak ada yang terlalu banyak bicara pagi ini. Sebab hati dan pikiran mereka sedang sibuk semua, dimana mereka sedang sibuk menebak apa yang akan terjadi dengan pertemuan Jamilah dengan Pak Teguh?.
Jamilah langsung membawa motornya dengan membonceng kedua adiknya untuk berangkat usai mereka berpamitan.
"Sudah siap semuanya Pak?." Emak melihat Bapak yang sudah berkeringat.
"Sudah Mak." Jawab Bapak singkat, perasaan bapak begitu campur aduk mendekati kedatangan tamu istimewa mereka.
Emak mengangguk, kembali melakukan apa yang harus diselesaikan sebelum tamu mereka datang.
"Bismillah, ini jodoh kamu, Jamilah!" Emak memegang dadanya yang sangat terasa hangat, ia harus percaya jika pria yang datang hari ini adalah jodoh terbaik yang dikirimkan Gusti Alloh untuk Jamilah. Walau apa pun nanti hasilnya. Tapi ia tetap harus percaya Gusti Alloh bersama orang-orang yang sabar.
Jamilah sudah kembali pulang, membawa beberapa kue yang dibelinya dari pasar.
"Semuanya sudah Milah taruh ke dalam piring Mak." Jamilah menatanya dengan rapi. Emak mengangguk mengiyakan seraya melihatnya.
"Kamu sudah izin lagi kan Milah?." Tanya Emak mengingatkan.
Jamilah mengangguk, "Iya Mak udah."
"Sekarang kamu siap-siap!, mereka udah mau sampai." Ucap Bapak pada Jamilah setelah menerima telepon.
"Iya Pak, Mak. Jamilah siap-siap dulu." Jamilah masuk ke kamar setelah Emak dan Bapak mengangguk.
Jamilah memakai pakaian terbaik dengan riasan tipis pada wajah yang tidak pernah tersentuh skin care mahal.
"Apa pun hasilnya hari ini, ini sudah kehendak Gusti Alloh." Jamilah meyakinkan dirinya. Namun sesaat bayangan mimpi tadi malam sekilas terlihat jelas di pelupuk matanya.
"Astaghfirullah...."
Jamilah memegang dadanya yang kembali bekerja lebih cepat, saat Emak memanggilnya berulang kali.
"Jamilah, ayo keluar!. Pak Teguh sudah sampai." Seru Emak seperti apa yang tejadi dalam mimpinya.
Jamilah hanya mengulas senyum, mengingat hal itu. Ini bagian mimpi semalam yang menjadi nyata, menurutnya.
"Bismillah, semoga semuanya berjalan lancar." Doa Jamilah sebelum keluar dari dalam kamar.
Jamilah mendapati mereka sudah berada di ruang tengah, melihat orang-orang yang baru hari ini dilihatnya, saling mengobrol dan ada yang mencicipi makanannya.
"Kemari Jamilah, duduk di sini." Ucap Emak begitu lembut.
Tiga orang tamu yang datang hari ini terlihat begitu ramah dan tidak irit bicara. Hingga suasana menjadi lebih dekat dan terasa sangat kekeluargaan.
"Pak Teguh, ini Jamilah putri pertama kami. Jamilah, ini Pak Teguh putra ke tiga Bapak Asep dan Ibu Adah." Keduanya bersalaman setalah Bapak memperkenalkan keduanya.
Dari dalam rumah Jamilah terdengar tawa kecil mereka, yang entah sedang menertawakan apa. Hingga terasa panas kuping dan hati pria yang saat ini sudah berada di depan rumah Jamilah.
Y
hhh