Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Kekacauan di dapur pagi itu terasa seperti gempa bumi yang meruntuhkan seluruh fondasi keluarga kami. Setelah pisau itu berhasil direbut dan Kak Binar akhirnya luluh dalam tangis histeris yang memilukan di pelukan Ayah, rumah kami diselimuti oleh keheningan yang aneh dan berat. Keheningan yang bukan lagi karena ketegangan, melainkan karena kehampaan.
Pertunjukan telah usai. Tirai telah ditutup. Dan yang tersisa hanyalah puing-puing dari sebuah drama keluarga yang berakhir tragis.
Ibu membimbing Kak Binar yang sudah lemas ke kamarnya, menenangkannya seperti anak kecil. Ayah dan Mas Danu hanya bisa terduduk di ruang makan dengan wajah pias, tampak menua sepuluh tahun dalam sekejap. Aku? Aku mengambil pisau yang tergeletak di lantai, mencucinya, dan menyimpannya kembali ke tempatnya. Sebuah tindakan mekanis yang kulakukan untuk mencegah tanganku bergetar.
Tidak ada yang bisa menatap mata satu sama lain. Kata-kata kejam yang terucap, tamparan yang mendarat, dan pisau yang terhunus telah menciptakan jurang yang terlalu lebar di antara kami.
Mas Danu adalah yang pertama memecah keheningan. "Aku akan pergi," katanya pelan, suaranya serak. Ia tidak menatap siapa pun.
"Pergi ke mana, Nak?" tanya Ayah lirih.
"Saya akan menginap di apartemen dulu untuk beberapa hari. Memberi Binar... dan kita semua, ruang untuk berpikir." Ia lalu menatap Ayah. "Maafkan saya, Yah. Saya gagal menjaga kedua putri Ayah."
"Ini bukan salahmu, Danu," kata Ayah sambil menggeleng lelah. "Kita semua salah di sini. Kita semua ikut andil dalam menciptakan monster ini."
Mas Danu kemudian bangkit dan untuk pertama kalinya sejak insiden itu, ia menatapku. Tatapannya dipenuhi oleh begitu banyak emosi—rasa bersalah, kelegaan, kepedulian, dan kebingungan.
"Kamu... tidak apa-apa?" tanyanya.
Aku hanya mengangguk. Kata-kata terasa tidak perlu.
Dia menghela napas, lalu berjalan ke kamarnya untuk mengemasi beberapa barang. Tak lama kemudian, dia pergi, hanya meninggalkan suara mobilnya yang menjauh. Kepergiannya terasa begitu final. Rumah ini, yang tadinya terasa sesak oleh tiga orang dewasa dalam satu pernikahan, kini terasa terlalu besar dan kosong.
Hari-hari berikutnya terasa sureal. Kak Binar mengurung diri di dalam kamar. Dia menolak makan, menolak bicara, bahkan pada Ibu. Dia hanya berbaring di tempat tidur, menatap kosong ke langit-langit. Kemenangannya yang selama ini ia perjuangkan dengan segala cara telah berubah menjadi kekalahan yang paling telak. Dia mendapatkan anak yang ia inginkan—atau setidaknya, proses untuk mendapatkannya—tetapi ia kehilangan suaminya, kehormatannya, dan dukungan keluarganya.
Ibu dengan sabar merawatnya, tapi sikapnya telah berubah. Tidak ada lagi pembenaran atau pembelaan buta. Yang ada hanyalah kasih sayang seorang ibu yang merawat anaknya yang terluka, terlepas dari apa pun kesalahannya. Ibu juga lebih banyak diam, tapi tatapannya padaku kini dipenuhi oleh penyesalan yang mendalam.
Suatu sore, saat aku sedang bekerja di kamarku, Ibu masuk membawa secangkir teh.
"Arini," panggilnya pelan. "Boleh Ibu duduk sebentar?"
Aku mengangguk. Ia duduk di kursi belajarku, menatapku dengan mata yang sembap.
"Maafkan Ibu, Nak," bisiknya, air matanya mulai mengalir. "Ibu sudah menjadi ibu yang tidak adil. Ibu terlalu fokus pada penderitaan kakakmu, sampai Ibu tidak melihat penderitaanmu. Ibu... Ibu ikut menyakitimu."
Ia terisak pelan. "Ibu malu pada diriku sendiri. Seharusnya Ibu melindungimu, tapi Ibu malah ikut mendorongmu ke jurang."
Melihat penyesalannya yang tulus, dinding pertahanan terakhir di hatiku runtuh. Aku bangkit dari kursiku dan memeluknya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku memeluk ibuku tanpa merasa ada jarak di antara kami.
"Sudah, Bu," bisikku. "Semua sudah terjadi."
"Tapi Ibu tidak bisa memaafkan diri Ibu sendiri," isaknya di bahuku. "Kamu anak yang kuat, Arini. Jauh lebih kuat dari yang Ibu kira."
Momen itu adalah sebuah penyembuhan. Sebuah rekonsiliasi diam-diam yang sangat kubutuhkan. Maafnya mungkin tidak bisa menghapus semua luka, tapi cukup untuk membersihkan racun yang selama ini mengendap di hubungan kami.
Seminggu setelah kepergiannya, Mas Danu kembali. Bukan untuk menemui Kak Binar, tapi untuk bicara dengan Ayah. Aku sengaja tidak ikut campur, mengurung diri di kamar, tapi aku bisa mendengar samar-samar percakapan mereka dari ruang kerja Ayah.
Mereka membahas tentang perceraian. Tentang pembagian harta. Tentang tanggung jawab Mas Danu untuk biaya pengobatan Kak Binar seumur hidup. Semua dibicarakan dengan nada yang tenang dan dewasa. Tidak ada lagi amarah, hanya kesedihan dan kepasrahan.
Malam itu, Mas Danu menemuiku. Dia mengetuk pintu kamarku. Aku membukanya, dan kami hanya berdiri canggung di ambang pintu untuk beberapa saat.
"Aku akan segera mengurus surat cerai dengan Binar," katanya, langsung pada intinya. "Ayahmu sudah setuju."
Aku mengangguk. "Itu mungkin yang terbaik."
"Tapi... prosesnya akan memakan waktu," lanjutnya. "Dan selama proses itu, status kita... masih seperti ini. Suami dan istri."
Jantungku berdebar sedikit lebih cepat. Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini.
"Arini," katanya, menatapku lekat. "Aku tahu ini sangat tidak pantas. Aku tahu waktunya sangat tidak tepat. Tapi aku harus jujur padamu, dan pada diriku sendiri. Pengakuanku malam itu... aku serius."
Dia mengambil langkah lebih dekat. "Aku tidak ingin kehilanganmu. Setelah semua ini selesai, setelah debunya mereda... maukah kamu memberiku kesempatan yang sesungguhnya? Memulai dari awal. Bukan sebagai adik ipar, bukan sebagai istri kedua karena terpaksa. Tapi sebagai Arini dan Danu."
Permintaannya menggantung di udara. Sebuah pertanyaan yang bisa mengubah masa depanku sepenuhnya. Sebagian diriku ingin langsung berkata 'ya'. Sebagian diriku merasa lelah dan hanya ingin semua ini berakhir. Tapi sebagian diriku yang lain, bagian yang telah terluka begitu dalam, masih ragu-ragu.
"Aku... butuh waktu, Mas," jawabku jujur. "Terlalu banyak yang terjadi. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan diriku sendiri dulu. Aku perlu menemukan siapa Arini sebenarnya, tanpa bayang-bayang siapa pun."
Dia tampak sedikit kecewa, tapi dia mengangguk mengerti. "Aku paham. Ambil waktumu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku akan menunggu. Tidak peduli berapa lama."
Janjinya terasa hangat dan tulus. Sebuah janji yang memberiku kekuatan.
Keesokan harinya, aku membuat keputusanku sendiri. Aku menemui Ayah dan Ibu.
"Yah, Bu, Arin sudah memutuskan," kataku. "Arin mau pindah dari rumah ini."
Mereka berdua tampak terkejut. "Pindah ke mana, Nak? Kenapa?" tanya Ibu cemas.
"Arin mau sewa apartemen kecil di dekat kantor," jelasku. "Bukan karena Arin marah. Tapi seperti yang Arin bilang ke Mas Danu, Arin butuh waktu dan ruang untuk diri sendiri. Untuk menata kembali hidup Arin. Di sini... terlalu banyak kenangan yang menyakitkan."
Aku menatap mereka berdua. "Arin butuh awal yang baru. Dan awal yang baru itu harus dimulai dari diri Arin sendiri."
Awalnya mereka keberatan, takut aku akan sendirian. Tapi setelah aku meyakinkan mereka bahwa ini adalah hal terbaik untukku, untuk proses penyembuhanku, mereka akhirnya setuju dengan berat hati.
Dua minggu kemudian, aku berdiri di tengah sebuah apartemen studio yang mungil namun terang. Hanya ada sedikit perabotan: kasur, lemari kecil, dan sebuah meja kerja. Tapi tempat ini terasa seperti istana. Ini milikku. Sepenuhnya milikku. Tidak ada barang bekas, tidak ada kenangan buruk, tidak ada bayang-bayang orang lain.
Meninggalkan rumah adalah keputusan tersulit sekaligus termudah yang pernah kubuat. Sulit karena aku meninggalkan keluargaku di tengah krisis. Mudah karena aku tahu ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan kewarasanku.
Aku menatap ke luar jendela, melihat lampu-lampu kota yang mulai menyala. Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Mas Danu.
Sudah sampai di tempat barumu? Butuh bantuan apa-apa?
Aku tersenyum. Dia menepati janjinya untuk memberiku ruang, tapi tetap mengawasiku dari jauh.
Sudah. Semuanya aman. Terima kasih. balasku.
Aku meletakkan ponselku. Aku berjalan ke tengah ruangan, merentangkan tanganku, dan berputar perlahan. Aku sendirian. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kesendirian itu tidak terasa menakutkan. Rasanya seperti kebebasan.
Aku telah melalui pertempuran yang sengit. Aku telah terluka, menangis, dan hampir hancur. Tapi aku berhasil melewatinya. Aku berhasil keluar dari bayang-bayang.
Siapa pemenang sejati dalam perang ini? Bukan Mas Danu yang kini harus menata ulang hidupnya. Bukan Kak Binar yang kini terpuruk dalam kesendirian dan penyesalan. Dan mungkin, bukan juga aku yang masih harus menjahit luka-luka di hatiku.
Pemenang sejatinya adalah kebenaran. Kebenaran yang akhirnya terungkap dan menghancurkan semua kepalsuan. Dan dari puing-puing kehancuran itulah, aku akan membangun kembali hidupku.
Di apartemen kecilku yang sunyi, di tengah gemerlap lampu kota, aku menarik napas dalam-dalam. Napas pertama dari sisa hidupku yang baru. Ini adalah awal. Dan kali ini, aku yang akan menulis ceritanya sendiri.
kan jadi bingung baca nya..