Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.
update setiap hari (kalo gak ada halangan)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Satu bulan telah berlalu sejak pertemuan terakhir mereka. Dalam waktu itu, Devan benar-benar tidak pernah menghubungi Jovita lagi. Seolah kata-kata terakhir wanita itu menjadi tembok yang tak bisa ia lewati.
Devan sendiri beberapa kali bertemu dengan Mawar, namun meski tampak ramah, hatinya masih tertutup. Ia belum siap membuka diri, belum siap untuk siapa pun.
Sementara itu, Jovita menjalani hari-harinya seperti biasa. Datang ke kantor, menenggelamkan diri dalam pekerjaan, dan mencoba melupakan semuanya. Tapi ketenangan itu goyah ketika perusahaan meluncurkan produk baru, produk hasil ide yang pernah ia buat, namun kini diklaim Arum sebagai miliknya.
Kantor mendadak jadi lebih sibuk dari biasanya. Semua orang terlihat antusias, kecuali Jovita yang hanya bisa menyaksikan semuanya dengan dada sesak.
Adam, yang diam-diam selalu memperhatikannya, menyadari satu hal: Devan tak lagi berada di sekitar Jovita. Ia pun menarik kesimpulan sendiri, hubungan mereka telah berakhir. Sejak itu, Adam mulai mendekati Jovita lagi. Sikapnya lembut, perhatian, seolah berusaha menebus kesalahan masa lalu.
Namun bagi Jovita, luka pengkhianatan itu belum kering. Meski kadang hatinya goyah, sejenak lupa pada luka lama itu, semua kembali nyata setiap kali matanya bertemu dengan sosok Arum. Saat itu juga, hatinya mengeras lagi, mengingat alasan kenapa ia tak boleh lagi jatuh pada orang yang sama.
Siang itu, setelah makan siang, Jovita kembali tenggelam dalam pekerjaannya. Matanya terpaku pada layar komputer, jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard.
Tiba-tiba, segelas es latte diletakkan di sudut mejanya. Aroma kopi langsung menyebar. Jovita menoleh refleks dan mendapati Adam berdiri di sana, menatapnya dengan senyum kaku.
“Untukmu,” katanya singkat.
Jovita menghela napas pelan. Pandangannya bergeser ke gelas di depannya, lalu kembali ke wajah Adam. “Aku udah berhenti minum kopi. Bawa lagi aja,” ucapnya datar, sebelum kembali menunduk melanjutkan pekerjaannya.
Adam terdiam. Napasnya terasa berat, tenggorokannya seperti tercekat. “Jo,” panggilnya lirih, hampir tak terdengar, “aku bener-bener gak punya kesempatan?”
Tangan Jovita sempat terhenti di udara, jari-jarinya menggantung di atas keyboard. Ia menarik napas pelan, lalu melanjutkan ketikannya tanpa menoleh sedikit pun. “Kamu udah cukup menyulitkanku,” ujarnya datar. “Jangan tambah beban aku lagi.”
Adam baru saja hendak bicara ketika Arum tiba-tiba muncul dari arah belakang. Tanpa ragu, wanita itu langsung menggandeng lengannya, seolah ingin menegaskan sesuatu di depan semua orang. Jovita spontan menoleh sekilas. Tatapannya datar, tapi ada sedikit sesak yang berusaha ia sembunyikan di balik wajah tenangnya.
“Ngapain? Kita harus rapat lagi,” kata Arum cepat, menarik Adam pergi tanpa menunggu jawaban.
Adam hanya sempat menatap Jovita sebentar sebelum akhirnya mengikuti langkah Arum. Pandangan itu singkat, tapi cukup untuk membuat udara di sekitar Jovita terasa lebih berat.
Begitu keduanya menghilang di balik pintu ruang rapat, suara kursi bergeser pelan terdengar di sebelahnya. Sena, yang rupanya sejak tadi memperhatikan, kini duduk lebih dekat dengan wajah penuh waspada.
“Kamu gak berniat balikan, kan?” tanyanya, nadanya seperti separuh bercanda tapi jelas mengandung peringatan.
Jovita menoleh sekilas, keningnya berkerut. Sebelum sempat menjawab, Sena menambahkan dengan nada lebih serius, “Jangan coba-coba.”
Jovita tersenyum tipis, namun matanya tampak sayu. “Aku gak sebodoh itu,” balasnya lirih.
Hari-hari berlalu tanpa ada perubahan berarti, hingga akhirnya datang satu pagi yang menjadi titik balik bagi hidup Jovita.
Begitu tiba di kantor, ia langsung disambut suasana yang tak biasa. Telepon di setiap meja berdering bersahut-sahutan, suara panik dan kebingungan terdengar di mana-mana. Beberapa karyawan tampak berbicara cepat di telepon, sementara yang lain menatap layar komputer dengan wajah tegang.
Jovita yang baru saja menaruh tasnya menatap sekeliling dengan bingung. “Kenapa rame banget?” bisiknya pada Sena.
Sena hanya menghela napas berat. Wajahnya tampak lelah dan cemas, satu tangannya menekan pelipis. “Banyak pelanggan yang komplain,” jawabnya pelan. “Katanya setelah makan produk baru.”
Jovita terdiam, jantungnya berdetak lebih cepat. Sejak awal, saat Arum dengan percaya diri mempresentasikan produk itu, ia sudah punya firasat buruk. Tapi siapa yang mau mendengarkan?
“Komplain kenapa?” tanyanya pelan, nyaris berbisik.
Sena menatapnya sejenak sebelum menjawab. “Mereka keracunan. Beberapa malah udah dilarikan ke rumah sakit.”
“Apa?” Jovita terpaku, dahinya berkerut kuat.
Suasana semakin terasa menyesakkan ketika pintu ruang manajer tiba-tiba terbuka lebar. Manajer mereka keluar dengan langkah cepat dan wajah penuh amarah. Suaranya menggema di antara deretan meja kerja.
“Arum! Masuk ke ruangan saya sekarang!”
Semua kepala spontan menoleh. Arum yang duduk tak jauh dari sana langsung berdiri kaku, wajahnya pucat, lalu berjalan tergesa ke arah manajernya.
Sena dan Jovita saling pandang. Sena menggeleng pelan, bibirnya berbisik nyaris tak terdengar. “Berakhir sudah.”
Namun di sisi lain, perasaan tidak enak justru muncul di dada Jovita. Entah kenapa, firasatnya mengatakan hal ini belum selesai, dan entah bagaimana, ia akan ikut terseret di dalamnya.
Tak lama kemudian, Arum dan manajer keluar lagi. Langkah mereka cepat, wajah sang manajer masih terlihat murka. Keduanya menuju lantai atas, tempat para petinggi perusahaan berada. Kabar insiden itu ternyata sudah sampai ke telinga direksi.
Komplain pelanggan memang sudah muncul beberapa hari terakhir, tapi hari ini situasinya memuncak.
Di ruang rapat besar yang kini hening, Direktur Utama menatap tajam ke arah Arum yang berdiri di tengah ruangan dengan kepala tertunduk. “Jadi kamu yang bertanggung jawab atas produk ini?” tanyanya dingin, suaranya berat menahan emosi.
Arum hanya mengangguk pelan. Matanya nyaris tak berani menatap siapa pun.
Seorang asisten pribadi menyerahkan setumpuk berkas ke meja Direktur, isi laporan lengkap mulai dari rancangan prototipe, daftar bahan, hingga anggaran produksi. Direktur membacanya cepat, alisnya semakin berkerut dalam setiap lembar yang dibaliknya.
Ada sesuatu yang janggal. Bahan utama produk itu ternyata berpotensi berbahaya, dan seharusnya tidak boleh digunakan sama sekali.
Dengan gerakan cepat, Direktur melemparkan berkas itu ke wajah Arum. Suara kertas yang menampar udara terdengar keras di ruangan sunyi itu. “Kamu gak tau itu berbahaya?! Bahkan bahan itu dilarang dikonsumsi!” bentaknya tajam, membuat Arum bergidik ketakutan.
Belum sempat ia menjawab, suara Direktur kembali menggema, lebih keras lagi. “Kalau masalah ini sampai tersebar ke media, kamu mau tanggung jawab, hah?!”
Arum terpaku di tempatnya. Wajahnya pucat, napasnya tersengal. Tangannya gemetar hebat, sementara matanya mulai berkaca-kaca.
Direktur menatapnya tajam, rahangnya mengeras, urat di lehernya menegang. “Sekarang jawab,” katanya dingin. “Siapa yang akan mempertanggungjawabkan semua ini?”
Udara di ruangan itu terasa berat. Arum memicingkan mata, menahan napas sejenak. Ia tahu, harus keluar dari situasi ini, bagaimanapun caranya. Pengakuan yang baru saja ia dapatkan tidak boleh hilang begitu saja.
Perlahan, ia mengangkat kepalanya. Gerakannya tegas meski jemarinya masih menggenggam erat ujung roknya sendiri. Tatapannya mantap, matanya berkilat penuh keyakinan.
“Itu…” suaranya sempat terputus, membuat semua orang otomatis menoleh padanya. “Bukan saya yang harus tanggung jawab.”
“Saya hanya mengikuti apa yang ada di prototipe itu.”
“Ha?” sang direktur menatapnya dengan kening berkerut. Kebingungan jelas tergambar di wajahnya, karena memang begitulah fungsi prototipe, pikirnya cepat. Tapi belum sempat ia bicara lagi, Arum sudah meneruskan.
“Saya akui,” ucapnya, kini nadanya lebih tenang tapi tajam, “prototipe itu bukan milik saya. Itu milik orang lain.”
Tatapan Arum beralih, menancap pada manajer divisinya, tajam, penuh arti, menusuk.
Manajer itu tersentak kecil. Ia berusaha tersenyum, tapi suaranya goyah saat ikut bicara, “Ah… benar juga. Sebenarnya itu memang punya orang lain.”
Jovita terus menatap layar komputernya, mencoba fokus di antara suara dering telepon yang tak henti-hentinya memecah konsentrasi. Suara itu seperti jarum halus yang menusuk telinga, membuat pikirannya tak bisa tenang.
Waktu berjalan cepat tanpa ia sadari. Saat jarum jam mendekati sore hari, suara manajernya terdengar dari arah meja depan. “Jovita, kamu dipanggil ke ruangan Dirut.”
Jovita menoleh dengan alis terangkat. “Saya?” tanyanya ragu, sementara Sena yang duduk di sebelahnya ikut melirik, sama bingungnya. Ia tidak merasa berbuat salah. Jadi, kenapa dipanggil?
Langkah Jovita terdengar pelan tapi berat saat memasuki ruang direktur utama. Begitu pintu tertutup, ia langsung merasakan hawa tegang di dalam ruangan itu. Arum sudah ada di sana, berdiri di sisi meja dengan senyum samar.
“Kamu Jovita?” suara Dirut terdengar tegas, matanya menatap tajam, menyembunyikan bara amarah di balik ketenangan.
“Iya, Pak,” jawab Jovita hati-hati.
Dirut mencondongkan tubuh ke depan, suaranya meninggi. “Kamu tahu karena ulahmu, perusahaan mengalami kerugian besar?”
Jovita menatapnya, keningnya berkerut. “Maaf?” ujarnya pelan. “Gara-gara saya?”
Dirut menggebrak meja. “Produk yang kamu buat membuat banyak orang keracunan! Kamu tahu berapa banyak laporan yang masuk pagi ini?! Kamu tahu apa yang harus kita lakukan untuk memperbaiki semua ini?!”
Jovita terpaku di tempatnya. Matanya membelalak, menatap tanpa benar-benar melihat. Untuk beberapa detik, pikirannya kosong, otaknya seperti menolak memahami tuduhan yang baru saja dilontarkan. Tapi perlahan, kesadarannya kembali.
Tatapannya beralih ke Arum. Pandangannya penuh tanda tanya, mencari penjelasan. Tapi Arum hanya berdiri tenang, dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Jovita kemudian menatap kembali ke arah Dirut. “Bapak bicara tentang prototipe itu?” tanyanya pelan.
Tatapan tajam Dirut cukup menjadi jawaban. Tak perlu kata-kata. Jovita menghela napas berat. “Itu bukan saya,” katanya dengan nada menahan emosi.
“Kenapa kamu gak mau ngaku?” potong sang manajer dengan suara meninggi. “Udah jelas kamu sendiri yang bikin itu.”
Jovita menatapnya dengan wajah tak percaya. “Apa?” bisiknya lirih. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, tapi dadanya terasa semakin sesak. “Saya sudah bilang, prototipe saya diplagiat sama dia! Kenapa sekarang malah saya yang disalahkan? Saya sudah kasih semua buktinya.”
Arum tersenyum tipis. “Aku gak pernah plagiat,” ucapnya tenang.
Jovita langsung menoleh, sorot matanya tajam. Tapi Arum sudah lebih dulu melanjutkan, nada suaranya terdengar lembut tapi menusuk, “Kamu sendiri yang memberikannya.”
Jovita terdiam, alisnya berkerut. Ia memang pernah menyerahkan rancangan itu, tapi bukan untuk disalin mentah-mentah. Hanya untuk dijadikan inspirasi. Kini kata-kata Arum seolah membalikkan semua kenyataan.
Dan di ruangan itu, dengan semua tatapan yang tertuju padanya, Jovita merasa seperti seluruh dunia sedang menjatuhkan vonis sebelum ia sempat membela diri.
Perdebatan itu berlangsung lama dan melelahkan. Suara-suara di ruangan saling bersahutan, tapi arah semuanya sama, menyudutkan Jovita.
Setiap kali ia mencoba menjelaskan, Arum lebih cepat memotong, memutar balikkan fakta dengan kata-kata manis yang terdengar meyakinkan. Hingga akhirnya, Jovita menyadari satu hal yang menyakitkan: ia dijadikan kambing hitam.
Saat perdebatan berakhir, ruangan itu terasa sunyi. Dirut memberi keputusan tanpa belas kasihan. Jovita bahkan tak diberi kesempatan terakhir untuk membela diri.
“Mulai hari ini, kamu resmi diberhentikan dari perusahaan,” kata Dirut datar.
“Kenapa saya yang dipecat?” suaranya pecah, bergetar menahan marah sekaligus sedih. “Saya bahkan gak pernah ikut campur setelah dia mencurinya!”
Namun tak ada yang menjawab. Semua hanya menunduk, pura-pura sibuk, pura-pura tak mendengar. Seolah sejak awal, mereka memang sudah sepakat bahwa Jovita harus menjadi pelaku.
Ia keluar dari ruangan itu dengan mata memerah, menahan air mata yang hampir jatuh.
Tatapan karyawan lain langsung tertuju padanya. Mereka saling berbisik, mencoba menebak apa yang baru saja terjadi.
“Kenapa, Jo? Apa yang terjadi di dalam?” tanya Sena, suaranya campuran antara cemas dan penasaran.
Jovita tak menjawab. Ia hanya mengambil barang-barangnya dengan gerakan cepat, lalu berjalan pergi tanpa sepatah kata.
Begitu melewati pintu keluar, ia hampir bertabrakan dengan Adam. Pria itu refleks menahan lengannya.
“Jo, kenapa?” tanyanya cemas, matanya menatap wajah Jovita yang tampak pucat dan nyaris menangis.
Namun Jovita hanya membalas dengan tatapan tajam, dingin, penuh kekecewaan.
Andai saja Adam memihaknya dari awal. Andai saja dia mau berkata jujur, semua ini tak akan terjadi.
Tanpa sepatah kata, Jovita menarik tangannya dengan kasar, melepaskan diri dari genggamannya, lalu melangkah pergi.
Hanya satu hal yang kini memenuhi kepala Jovita: balas dendam.
Ia tidak akan membiarkan orang-orang itu menjatuhkannya begitu saja. Tidak kali ini.
Dan di antara kekacauan pikirannya, satu nama muncul jelas.
Devan.
Tanpa berpikir panjang, ia segera melangkah keluar. Ia menumpang kendaraan pertama yang lewat, menuju kejaksaan, tempat Devan bekerja.
Begitu tiba di sana, halaman kantor mulai ramai oleh pegawai yang baru saja selesai jam kerja. Jovita berdiri di tengah lobi, menunggu dengan napas yang tak beraturan.
Tak butuh waktu lama. Pintu lift terbuka, dan dari sana keluar sosok yang dikenalnya.
Devan berhenti sejenak, menatapnya dengan dahi berkerut.
“Jovita?” panggilnya heran, langkahnya melambat sebelum akhirnya mendekat.
Jovita mendongak. “Bantu aku,” ucapnya cepat, nada suaranya tegas namun mengandung keputusasaan yang nyaris tak bisa disembunyikan.
To be continued