NovelToon NovelToon
Suamiku Ternyata Konglomerat

Suamiku Ternyata Konglomerat

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Pernikahan Kilat / Nikahmuda / CEO
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Indriani_LeeJeeAe

Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.

“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”

Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25 > Ketika Kekuasaan Tunduk Pada Cinta

Dunia berubah dalam satu malam. Tidak dengan ledakan. Tidak dengan perang terbuka. Tidak dengan darah yang mengalir di jalanan.

Perubahan itu datang dengan sunyi, namun tak terelakkan. Seperti matahari yang terbit tanpa izin siapa pun. Nama Varendra mulai menggema di setiap bursa saham dunia, di setiap ruang rapat tertutup, di setiap jaringan kekuasaan yang selama puluhan tahun mengatur arah peradaban manusia dari balik tirai... namun kali ini, tidak ada lagi tirai. Raiden Varendra berdiri di puncak. Dan dunia-tidak punya pilihan selain menunduk.

Pagi hari...

Cahaya matahari masuk begitu lembut melalui tirai tipis kamar khusus rumah sakit. Tidak lagi terasa seperti tempat yang penuh ketegangan dan nyawa di ujung tanduk. Aroma steril masih ada, namun kini bercampur dengan kehangatan yang menenangkan. Serene terbangun perlahan. Untuk pertama kalinya sejak waktu yang terasa seperti kehidupan lain, ia terbangun tanpa rasa takut.

Tangan kanannya menyentuh perutnya secara refleks yang tak pernah hilang. Detak kecil di bawah kulitnya masih terasa. Dua kehidupan kecil. Dua alasan ia bertahan. “Sudah bangun?” Suara itu datang dari samping.

Serene menoleh. Ia melihat Raiden tengah duduk di kursi dekat ranjang, jasnya masih rapi meski jelas belum tidur. Rambutnya sedikit berantakan, detail kecil yang entah mengapa membuat jantung Serene bergetar pelan. “Kau belum tidur?” tanyanya lirih.

Raiden menggeleng. “Aku tidak ingin melewatkan apa pun.”

Serene tersenyum tipis. “Aku tidak akan ke mana-mana.”

Raiden berdiri, lalu mendekat. Ia duduk di tepi ranjang dengan gerakan yang nyaris ragu untuk meletakkan tangannya di atas perut Serene. “Dokter bilang mereka semakin kuat,” katanya. “Dua-duanya.”

Serene mengangguk. “Aku bisa merasakannya.”

Hening sejenak menyelimuti mereka. Bukan hening yang canggung. Melainkan hening yang nyaman-seperti dua orang yang masih belajar berada di ruang yang sama, tanpa topeng, tanpa ketakutan. “Aku mendengar…” Serene ragu sejenak. “Dunia sedang kacau di luar sana.”

Raiden tersenyum tipis. “Dunia selalu kacau. Hanya sekarang… lebih jujur.”

Serene menatapnya. “Kau melakukannya?”

Raiden tidak langsung menjawab. “Aku membereskan apa yang seharusnya dibereskan,” katanya. “Aku menutup celah. Aku memutus simpul-simpul lama.”

“Kedengarannya seperti… menaklukkan dunia.”

Raiden menatap Serene, sorot matanya melembut. “Aku hanya memastikan dunia tidak lagi bisa menyentuhmu.” Kalimat itu-terlalu sederhana. Namun entah mengapa, dada Serene terasa sesak.

Sementara di luar kamar itu, realitas bergerak cepat. Dewan Ekonomi Global mengadakan pertemuan darurat.

Tiga bank investasi terbesar di Eropa runtuh dalam dua hari. Konsorsium teknologi Asia mengumumkan merger tunggal dengan Varendra Holdings sebagai pemegang saham mayoritas.

Media menyebutnya: “Era Baru Kapital Global.” Namun di balik layar, mereka yang benar-benar mengerti kekuasaan menyebutnya satu hal lain: Penaklukan Senyap. Raiden tidak tampil di konferensi pers. Ia tidak memberikan wawancara. Ia bahkan tidak muncul di layar.

Namun satu keputusan dari Varendra cukup untuk mengubah nasib jutaan orang. Dan tidak ada satu pun yang berani menentangnya.

***

Beberapa hari kemudian, Serene diperbolehkan pulang.

Mobil hitam panjang berhenti tepat di depan pintu rumah sakit. Pengawalan ketat, namun tidak berlebihan. Elegan. Terkontrol.

Raiden membantu Serene masuk ke mobil dengan gerakan hati-hati, seolah ia sedang memegang sesuatu yang jauh lebih berharga daripada nyawanya sendiri. Di perjalanan, Serene memandangi kota dari balik kaca. “Semua terasa berbeda,” gumamnya.

Raiden meliriknya. “Karena kau melihatnya dengan mata yang berbeda.”

“Tidak,” Serene menggeleng. “Karena aku tahu… aku tidak sendirian.”

Raiden terdiam. Tangannya perlahan mencari tangan Serene. Tidak menggenggam. Hanya menyentuh ujung jari.

Sentuhan itu cukup membuat Serene menoleh. Sehingga mata mereka pun bertemu. Tidak ada kata. Namun ada sesuatu yang bergerak perlahan... sesuatu yang selama ini mereka abaikan karena terlalu sibuk bertahan hidup.

Sesampainya di rumah Varendra, Serene melihatnya tidak berubah. Masih megah. Masih sunyi. Masih terasa seperti benteng. Namun bagi Serene, tempat itu kini berbeda.

Bukan lagi sekadar bangunan raksasa yang membuatnya merasa kecil. Kini, itu adalah tempat di mana ia ingin pulang. Malam pertama setelah kembali, Serene sulit untuk tidur. Ia bangkit perlahan, dan berjalan ke arah balkon. Udara malam menyentuh kulitnya dengan lembut.

Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar di belakangnya. “Tidak bisa tidur?” tanya Raiden.

Serene menggeleng. “Terlalu banyak yang kupikirkan.”

Raiden berdiri di sampingnya. Mereka memandang kota bersama. Dua jiwa yang sangat berbeda, kini berada di titik yang sama. “Apa yang kau pikirkan?” tanya Raiden.

“Bagaimana hidupku berubah,” jawab Serene jujur. “Aku masih mencoba memahaminya.”

Raiden menatapnya. “Apakah kau menyesal?”

Serene menoleh cepat. “Tidak.”

Jawaban itu keluar terlalu cepat. Raiden terdiam, lalu tersenyum kecil. “Bagus,” katanya. “Karena aku tidak tahu bagaimana hidup tanpa kalian.”

Serene menelan ludah. “Kau… benar-benar ingin ini?” tanyanya pelan. “Aku, bayi-bayi ini… dunia yang akan selalu mengawasi?”

Raiden mengangkat tangannya, menyentuh pipi Serene dengan lembut. “Dunia boleh mengawasi,” katanya rendah. “Tapi hidupku… hanya untuk kalian.”

Serene menutup mata. Dan untuk pertama kalinya... ia bersandar ke dada Raiden tanpa ragu. Pelukan itu tidak penuh gairah. Tidak dramatis. Namun terasa... nyata, aman.

Raiden menahan napas sejenak sebelum melingkarkan lengannya dengan hati-hati, seolah takut memecah momen itu. “Kau tahu,” bisik Serene, “aku dulu berpikir cinta itu sesuatu yang meledak-ledak.”

Raiden tersenyum tipis. “Dan sekarang?”

“Sekarang aku pikir… cinta itu seperti ini.” Ia menepuk dada Raiden pelan. “Tenang. Tapi selalu ada.”

Raiden menunduk, menyentuhkan keningnya ke kening Serene. “Aku akan belajar,” katanya. “Menjadi pria yang layak untuk itu.”

Tanpa terasa hari-hari berlalu. Serene mulai lebih sering tersenyum. Bayi-bayi itu tumbuh sehat. Rumah yang dulu terasa dingin perlahan menghangat. Raiden yang dikenal dunia sebagai raja tanpa belas kasihan, kini berubah dengan cara yang tidak disadari oleh siapa pun.

Ia pulang lebih awal. Ia makan malam bersama Serene. Ia mendengarkan cerita-cerita kecil yang tidak ada hubungannya dengan kekuasaan atau uang. Dan ia menyukainya.

Suatu malam, Serene menemukan Raiden tertidur di sofa dengan satu tangan masih berada di perutnya. Ia berdiri lama, memandangi pria itu. Pria yang dunia takuti. Pria yang menaklukkan sistem global. Pria yang kini tertidur dengan ekspresi damai karena mendengar dua detak kecil dari dalam rahim istrinya.

Serene tersenyum, air mata menggenang. “Aku tidak pernah menyangka…” bisiknya, “bahwa rumah bisa terasa seperti ini.”

Raiden terbangun perlahan. “Kau menangis?” tanyanya khawatir.

Serene menggeleng sambil tersenyum. “Tidak. Aku hanya bahagia.”

Raiden menariknya pelan, membuat Serene duduk di sisinya. “Dunia mungkin milikku,” katanya pelan, “tapi kebahagiaanku… adalah kau.”

Serene bersandar sembari menutup mata. Di bawah satu langit yang sama... di saat dunia telah ditaklukkan oleh nama Varendra, kini dua hati mulai benar-benar saling memiliki. Namun jauh di balik gemerlap kota, di tempat yang tidak tersentuh cahaya,

seseorang menatap layar dengan senyum tipis. “Seorang raja selalu punya musuh terakhir.”

Dan permainan ini... belum sepenuhnya selesai.

***

Bersambung…

1
Wayan Miniarti
luar biasa thor... lanjuttt
Li Pena: Siap, Akak.. maacih udah mampir ya 🙏🤭
total 1 replies
Sunarmi Narmi
Baca di sini aku Paham kenapa bnyak yg tdk Like...Di jaman skrng nikah kok berdasar Status apalagi sdh kaya....Bloon bnget kesenjangan sosial bikin gagal nikah apalagi seorang Raiden yg sdh jdi CEO dgn tabungan bnyak...Kkrga nolak ya bawa kbur tuh istri dn uang " mu....Cerdas dikit Pak Ceo..gertakan nenek tidak berpengaruh.masa nenek jdi lbih unggul kan body aja ringkih
Li Pena: Terimakasih sudah mampir dan juga menilai novel ini. maaf bila alur tidak sesuai yang diharapkan dan juga banyak salahnya, mohon dikoreksi agar author bisa belajar lebih banyak lagi 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!