El Gracia Jovanka memang terkenal gila. Di usianya yang masih terbilang muda, ia sudah melanglang buana di dunia malam. Banyak kelab telah dia datangi, untuk sekadar unjuk gigi—meliukkan badan di dance floor demi mendapat applause dari para pengunjung lain.
Moto hidupnya adalah 'I want it, I get it' yang mana hal tersebut membuatnya kerap kali nekat melakukan banyak hal demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan sejauh ini, dia belum pernah gagal.
Lalu, apa jadinya jika dia tiba-tiba menginginkan Azerya Karelino Gautama, yang hatinya masih tertinggal di masa lalu untuk menjadi pacarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tarik Ulur
...Bagian 4:...
...Tarik Ulur...
...💫💫💫💫💫...
"Oh shit!" Jovanka mengumpat.
Lamunannya seketika buyar sewaktu merasakan sesuatu mendarat di pahanya. Kepalanya praktis mendongak disertai sorot mata kesal usai menemukan bahwa benda itu adalah leather jacket milik Karel.
"Apa?" ketusnya.
Karel yang berdiri di hadapannya bersedekap, raut wajahnya datar.
"It's cold outside, dummy," sahut lelaki itu.
"Terus?"
"Pakai," kata Karel. Lelaki itu kemudian mengambil posisi duduk di depan Jovanka, masih dengan kedua lengan terlipat di depan dada.
Jovanka mendecih, menyingkirkan leather jacket Karel dari pangkuannya dengan sewot.
"Sekalian aja bawain gue selimut, biar bisa gue pakai bungkus seluruh badan gue," sarkasnya.
"Mau?"
"Nggak!" sergahnya, matanya mendelik. "Nggak usah sok care deh."
"I do care."
"About what?"
"My image. Nggak akan bagus buat nama baik gue kalau biarin lo sekarat setelah keluar dari kafe ini."
Dang! Lelaki sialan! Jovanka mengibaskan tangan di depan wajah, mendadak merasa gerah karena dadanya dipenuhi amarah.
Seharusnya dia tahu sejak awal bahwa Karel memang menyebalkan. Hobi tarik ulur tidak jelas. Oh, entahlah itu bahkan termasuk ke dalam tindakan tarik ulur atau tidak. Jovanka hanya tahu Karel sesekali suka bersikap baik padanya, untuk kemudian mendorongnya dengan lebih kasar dan tidak berperikemanusiaan—seperti perlakuannya di kelab empat hari lalu.
"Lagian udah tahu musim hujan, masih aja pakai outfit kayak gitu buat keluyuran."
Jovanka menoleh cepat, alisnya menukik tajam. "Kayak gitu gimana?" kesalnya. Tatapannya perlahan turun, memindai penampilannya sendiri. Tidak ada yang salah. Kaus oversize dan hotpants adalah perpaduan yang sempurna. Lagipula, hanya pergi membeli kopi, memangnya dia harus berpenampilan seperti apa? Mengenakan kebaya dan kain, atau perlu pakai outfit winter yang berlapis-lapis sampai tubuhnya tampak macam lontong daun pisang?
"Paha lo ke mana-mana tuh."
"Emangnya kenapa kalau paha gue ke mana-mana?"
"Jovanka,"
"Lo ngeselin," geram Jovanka. Tatapannya semakin menajam. "Following Instagram lo isinya cewek-cewek setengah telanjang, tapi lo selalu cerewet soal outfit gue. Standar ganda."
"They're models and they live overseas, El Gracia Jovanka. But other than that, as I said before, gue nggak suka lihat cowok-cowok di sekitar mandang lo dengan mata jelalatan. Disgusting."
"Then be my boyfriend!" tantang Jovanka. Sesuai dugaan, Karel hanya terdiam dengan bibir setengah terbuka.
Jovanka tertawa sumbang, miris meratapi nasibnya sendiri. Dia memang gila. Bisa-bisanya jatuh cinta pada Karel hanya karena malam itu diberi tempat aman untuk menangis. Seharusnya, cukup saja dengan berterima kasih, lalu melupakan segalanya dan kembali bersikap selayaknya orang asing. Bukan malah mengekor ke mana lelaki itu pergi, bertingkah sedemikian rupa untuk mencuri perhatiannya—hanya untuk berakhir mendapatkan luka lebam beruntun di dadanya karena penolakan yang Karel berikan berkali-kali padanya.
"Kalau lo nggak mau jadi cowok gue, nggak usah ngatur-ngatur. Selain donatur, dilarang ngatur. Lo tahu?" pungkasnya, lalu menyambar cup hot chocolate dan mulai menenggak isinya. Beruntung, dia sudah cukup lama meninggalkannya di sana sehingga cairan pekat di sana sudah cukup hangat untuk melewati tenggorokannya tanpa takut terluka.
Sementara itu, Karel tak lepas memandang ke arah gadis muda di depannya. Gadis ingusan yang dia pikir hanya akan bertemu dengannya sekali itu kini menjadi sosok yang kerap kali membuat kepalanya pening. Bukan hanya karena keteguhannya mengajak berpacaran, tetapi juga tingkah polahnya yang benar-benar di luar batas normal manusia kebanyakan.
Tidak sekali dua kali Karel harus membereskan kekacauan yang Jovanka sebabkan. Meninju wajah orang asing di kelab dan nyaris mendekam di jeruji besi bahkan bukanlah yang terparah. Pernah suatu kali, dia hampir meregang nyawa karena sekelompok berandalan yang ditemui di kelab ternyata membawa senjata. Semua pertikaian yang Karel alami itu disebabkan karena Jovanka yang teler di meja bar dan berakhir menjadi rebutan. Bagai seonggok daging merah di tengah-tengah kelompok singa kelaparan.
Karel tidak benar-benar tahu mengapa Jovanka gemar sekali menempatkan dirinya dalam bahaya. Entah gadis itu terlalu kesepian hingga mendambakan hujan perhatian, atau karena ada sesuatu di dalam dirinya yang terlampau rusak dan terlalu sulit untuk dibetulkan. Namun yang jelas, apa yang Jovanka perbuat selalu mendatangkan kesulitan baginya. Dan itu adalah satu dari sekian banyak alasan mengapa dia membenci gadis itu—meski tidak bisa dipungkiri, dia juga tidak bisa berhenti merasa peduli.
"Kalau mau balik ke apartemen, minta payung sama Irwan. Di belakang ada beberapa stok payung punya anak-anak."
Tanpa mendengar jawaban, Karel beranjak, menyakui satu tangan, dan dalam sekejap sudah sibuk berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon.
Jovanka, dengan mulut penuh gigitan butter croissant, hanya bisa memandang kepergian Karel dengan kekesalan yang bercokol di tenggorokan. Rasa-rasanya ingin dia lemparkan hot chocolate yang masih setengah penuh itu tepat ke kepala Karel, agar lelaki itu berbalik dan kembali ke hadapannya. Tidak apa-apa sambil marah-marah, asal dirinya tidak lagi ditinggalkan ketika sedang kesal-kesalnya.
"Gue sumpahin lo jomblo seumur hidup, kecuali nikahnya sama gue!" kutuknya, bersungguh-sungguh.
...💞💞💞💞💞...
Di luar dugaan, hujan masih terus turun sampai dua jam kemudian. Alih-alih mengikuti arahan Karel untuk meminta payung kepada Irwan agar dirinya bisa pulang, Jovanka malah membiarkan dirinya tenggelam di sofa tempatnya duduk. Tulang belakangnya seperti melunak, membuat tubuhnya kini setengah rebah di sofa lembut berwarna cokelat susu itu.
Di belakang meja kasir sana, Karel masih menjalani perannya dengan baik. Meski pandangannya tidak bisa menangkap seperti apa rupa lelaki itu ketika sedang melayani pelanggan, Jovanka tetap bisa mendengar betapa ramah dan lembutnya suara Karel menyapa setiap pelanggan yang datang.
"Ada lagi tambahannya, Kak?"
"Ada member nggak, Kak, lumayan ada tambahan diskon loh kalau pakai member."
"Mau upsize aja nggak, lebih hemat loh Kak."
Dan masih banyak lagi percakapan yang Jovanka curi dengar di sela-sela kegabutannya menunggu hujan reda.
"Giliran sama gue nggak ada ramah-ramahnya!" gerutunya. Masih enggan menerima fakta bahwa dialah satu-satunya pelanggan yang tidak pernah dilayani dengan ramah oleh Karel.
Jovanka membetulkan posisi duduknya tepat ketika lonceng di pintu kafe berbunyi nyaring dan mencuri perhatiannya. Dari sana, muncul seorang wanita anggun bergaun biru muda selutut. Rambut hitamnya tergerai menyentuh punggung, wajahnya bersih tanpa pulasan make up, bibir tipisnya dipulas liptint warna peach.
Di lengan kirinya, seorang gadis kecil bergelayut manja, rambutnya legam dikuncir dua, pipi gembilnya merona, dihiasi lesung cukup dalam ketika empunya tertawa. Dress selutut yang dikenakannya berwarna senada dengan milik ibunya, seakan keduanya ingin menunjukkan kepada dunia betapa kompaknya mereka.
"Ayah!" seru si gadis kecil.
Dalam sekejap, gelayutan di lengan ibunya lepas. Dia berlari penuh semangat menghampiri sosok yang dipanggilnya ayah.
Pandangan Jovanka ikut bergerak, mengikuti ke mana si gadis kecil berpindah.
Di sana, laki-laki berkemaja biru muda yang sejak tadi dia sumpahi, tampak berjongkok dengan kedua lengan terentang lebar. Senyumnya merekah, matanya berbinar penuh kebahagiaan, dan lengan-lengan kekar itu berakhir memeluk si gadis kecil begitu erat.
Oh, lihatlah, mereka tampak seperti keluarga bahagia sekarang.
"Kehujanan nggak?"
"Sedikit."
"Aduh, ke ruangan Ayah yuk, kita nyalain penghangat."
"Ayo!"
Jovanka masih tidak mengalihkan pandangan ketika Karel mengangkat tubuh si gadis kecil ke dalam gendongan, berjalan menuju ruangannya di bagian dalam kafe bersama si wanita anggun, lalu menghilang beberapa detik kemudian. Dia hanya menghela napas begitu panjang setelah adegan manis itu lewat dan kesadarannya kembali.
"Ya ... siapa suruh naksir orang yang belum selesai sama masa lalunya?" monolognya.
Punggung yang susah payah ditegakkan perlahan merosot lagi tanpa bisa dicegah. Jovanka lanjut merutuki nasib, sampai tidak menyadari eksistensi pria jangkung yang berdiri di depan pintu kafe, memandang ke arahnya dengan sorot yang dipenuhi begitu banyak ekspresi.
Bersambung....