"Aku mencintaimu, Hayeon-ah. Mungkin caraku mencintai salah, kacau, dan penuh racun. Tapi itu nyata." Jin Seung Jo.
PERINGATAN PEMBACA:
Cr. pic: Pinterest / X
⚠️ DISCLAIMER:
· KARYA MURNI SAYA SENDIRI. Cerita, karakter, alur, dan dialog adalah hasil kreasi orisinal saya. DILARANG KERAS mengcopy, menjiplak, atau menyalin seluruh maupun sebagian isi cerita tanpa izin.
· GENRE: Dark Romance, Psychological, Tragedy, Supernatural.
· INI BUKAN BXB (Boy Love). Ini adalah BxOC (Boy x Original Female Character).
· Pembaca diharapkan telah dewasa secara mental dan legal.
©isaalyn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon isagoingon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keinginan Hidup yang Kuat
Ruangan itu kini dipenuhi aroma disinfektan yang tajam, bercampur dengan nuansa kesedihan yang menyelimuti. Dokter telah pergi, meninggalkan suntikan dan sebotol pil—sebuah upaya untuk menstabilkan kondisi Hayeon.
Diagnosisnya tak terbantahkan: ancaman keguguran. Penyebabnya? Stres fisik dan emosional yang menggerogoti.
Syaratnya: kedamaian total—untuk tubuh dan jiwa, seolah kedamaian itu bisa dibeli dengan uang receh.
Seung Jo berdiri dekat jendela, punggungnya menghadap tempat tidur, bahunya tegang—seolah memikul beban berat yang tiba-tiba terasa sangat nyata. Sejak dokter menyampaikan berita itu, keheningan menyelimuti mereka.
Ketika pintu tertutup, meninggalkan mereka dalam kesunyian, tangis Hayeon meledak. Bukan tangis histeris, melainkan isakan dalam yang merobek jiwa, seakan setiap tetes air mata adalah bagian dari hatinya yang hancur. Tangannya yang dingin menyentuh perutnya yang masih berkontraksi.
"Sayangku... anakku..." bisiknya, suaranya penuh kepedihan, air mata membasahi bantal di bawahnya.
"Kau tidak pantas... tidak pantas hidup di dunia yang kejam ini."
Dia menarik napas dalam-dalam, suaranya bergetar, seolah setiap kata adalah jeritan dari kedalaman hatinya. Kenapa si kecil ini harus bertahan? Kenapa? Dunia di luar sana—penuh dengan orang-orang seperti dia... seperti mereka. Ibu ini merasa tak berdaya, tak mampu melindungi.
Setiap kata adalah doa yang putus asa, harapan untuk mengakhiri penderitaan calon bayi itu sebelum semuanya menjadi lebih menyakitkan. Dia, yang telah kehilangan segalanya, merasa tak punya keberanian untuk membawa kehidupan baru ke dalam neraka pribadinya.
Di sudut ruangan, Seung Jo mendengar setiap kata, tubuhnya semakin kaku. Kata-kata Hayeon seperti cambuk yang menghunjam langsung ke jantungnya.
"Dunia yang kejam... orang-orang seperti dia..." Seperti dia.
Dia adalah pencipta "dunia kejam" itu bagi Hayeon. Dia adalah ancaman utama bagi bayi itu.
Tangan Seung Jo mengepal. Konflik di dalam dirinya memuncak. Di satu sisi, ini adalah keturunannya—darah dagingnya, sebuah perpanjangan dari dirinya yang dia kendalikan sepenuhnya.
Namun di sisi lain, dia melihat penderitaan yang dia timbulkan pada Hayeon, mendengar keputusasaan dalam suaranya.
Dia berbalik perlahan. Wajahnya masih pucat, tapi ekspresi marahnya telah sirna, digantikan oleh keheningan yang dalam dan kompleks.
Dia mendekati tempat tidur. Hayeon, melihatnya mendekat, langsung membeku, matanya membelalak ketakutan, tangannya secara refleks melindungi perutnya.
Namun, Seung Jo tidak melakukan kekerasan. Dia hanya berdiri di sana, memandangi perut Hayeon yang masih rata—tempat benih kehidupan yang keras kepala itu bersembunyi.
"Jika dia... jika dia memilih untuk bertahan," kata Seung Jo tiba-tiba, suaranya rendah dan serak,
"itu berarti dia memang ditakdirkan untuk dunia ini. Kejam atau tidak."
Itu bukan penghiburan, melainkan pernyataan yang keras dan fatalistik. Namun, dalam nada suaranya, ada pengakuan halus terhadap kekuatan kehidupan itu sendiri—keinginan untuk hidup yang begitu kuat hingga mampu bertahan dari dorongan dan stres yang hampir mematikan.
Hayeon menatapnya, air matanya masih mengalir, bingung dengan kata-katanya. Seung Jo tidak menambah penjelasan. Dia hanya memandangnya sejenak sebelum berbalik dan meninggalkan kamar. Tapi kali ini, kunci tidak berbunyi.
Hayeon sendirian lagi, terjebak dalam gejolak emosi dan rasa sakit fisiknya.
Namun, kata-kata Seung Jo itu terngiang di telinganya. "Jika dia memilih untuk bertahan..."
Dia meletakkan tangannya kembali di perutnya, dan untuk pertama kalinya, di balik semua ketakutan dan keputusasaan, sebuah percikan kecil harapan—atau mungkin hanya rasa ingin tahu—tersulut. Mungkin, hanya mungkin, kekuatan kecil ini adalah satu-satunya hal yang bisa mengubah segalanya. Atau, justru akan menjerumuskannya ke dalam lubang penderitaan yang lebih dalam...