Ia berjuang sendirian demi menebus kesalahan di masa lalu, hingga takdir mengantarkannya bertemu dengan lelaki yang mengangkatnya dari dunia malam.
Hingga ia disadarkan oleh realita bahwa laki laki yang ia cintai adalah suami dari sahabatnya sendiri.
Saat ia tahu kebenaran ia dilematis antara melepaskan atau justru bertahan atas nama cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Dini menghela napas panjang, menepuk tangan Alma.
“Apapun alasanmu Al, aku tidak ikut campur keputusanmu, tapi kamu harus hati-hati dengan laki-laki yang terbiasa datang ke tempat seperti ini. Kamu tahu maksudku, kan?.”
Alma menatap sahabatnya dalam-dalam, menahan senyum.
“Aku paham, Din aku juga tidak mengejar cinta.Aku hanya ingin hidup normal sebagai wanita dan seorang Ibu."
Dini tersenyum tipis,sorot matanya penuh pengertian.
“Semoga aku bisa menyusul kamu ya, Al.”
"Aku doakan, agar kamu bisa menyusul keluar dari dunia seperti ini."Sahut Alma sambil tersenyum.Dini membalas senyum itu, merasa hangat.
Untuk pertama kalinya mereka berbincang sehangat itu tanpa persaingan terselubung.
Tidak terasa sudah masuk bulan kedua Alma tidak lagi bekerja di lounge, hari harinya ia habiskan menemani Putri kecilnya, dunianya kini mengerucut ada rasa jenuh yang kerap menyapanya.
Malam itu saat Harsya menyambanginya Alma mengutarakan rasa jenuhnya.
“Mas…” suara Alma pelan, tapi jelas.
Harsya menoleh, mengangkat alis.
“Hmm… ada apa, sayang?.”
“Aku… bosan,” ujarnya mencoba jujur.
“Jadi gimana, sayang?,tinggal bilang saja, mau keluar kota, keluar negeri… tapi Mas tidak bisa ikut. Kamu bisa pergi dengan Asha dan pengasuh.”
“Bukan itu, Mas. Mas tahu selama ini aku bekerja, dan sekarang di rumah saja… rasanya jenuh, loh, Mas.”
Harsya mengangguk pelan, memahami tanpa menghakimu
“Ouh… kalau begitu kamu bisa buka butik, café, atau apapun yang menarik minatmu.”
Alma tersenyum kecil, matanya berbinar.
“Menarik! kalau begitu saya pelajari dulu, Mas,” ujarnya sambil menatap Harsya.
Harsya mengangguk, tersenyum.
“Silakan, sayang Mas akan selalu dukung apa pun yang kamu pilih, selama itu membuatmu bahagia.”
Suasana di apartemen itu terasa hangat.
Tidak ada tekanan, tidak ada drama berlebihan. Hanya dua orang yang sedang mencoba menyesuaikan diri dengan kehidupan baru — kehidupan yang cukup, aman, tapi butuh warna dan tujuan, dan Alma mulai menemukan jalannya sendiri.
Pagi itu, sinar matahari masuk lembut ke apartemen.Alma terbangun dengan semangat, percakapan dengan Harsya semalam.masih melekat kuat dalam ingatannya
Alma duduk di meja kerja, laptop terbuka di depannya, catatan kecil berserakan di samping.
Ia sedang mencari informasi tentang kursus bisnis untuk pemula, mulai dari butik, café, sampai konsep kreatif lain yang bisa ia jalani sendiri.
Setiap klik, setiap halaman yang dibuka, membuatnya merasa ada energi baru yang belum pernah ia rasakan sejak keluar dari dunia malam.
Ia menulis nama-nama kursus, alamat workshop, hingga kontak mentor yang bisa dihubungi.
Sesekali ponselnya bergetar. Harsya mengirim pesan:
“Lagi sibuk, sayang?,"
Alma tersenyum, membalas cepat.
“Iya, lagi lihat-lihat kelas kursus Mas datang gak hari ini?."
"Mas gak bisa janji tapi lihat nanti ya sayang."
Alma menutup laptop sebentar, menatap jendela. Kota Semarang terasa berbeda hari ini.
Bukan lagi dunia yang menuntutnya bertahan sendirian, tapi dunia yang bisa ia bentuk sendiri — langkah demi langkah, dengan pilihan dan keputusan miliknya sendiri.
Harsya tiba saat Senja mulai turun.
"Gimana harimu sayang?."Sapanya saat Alma menyambutnya di depan pintu.
"Baik Mas,capek?."Timpal Alma sambil melepas jas dari badan Harsya.
"Lumayan, meeting padat hari ini." Sahut Harsya seraya menghempaskan tubuhnya disofa, Alma menyusulnya sambil membawa secangkir kopi.
“Jadi yang mana, yang mau kamu jalani?” tanyanya ringan.
"Sementara butik Mas, itu sesuai dengan passionku bidang fashion."
Harsya hanya tersenyum, lalu kembali menyeruput kopinya.
Harsya menatapnya lama, matanya lembut.
“Bagus, Mas akan support kamu sepenuhnya, apapun itu selama itu positif.”
"Alma balas menatapnya, ia tidak menemukan hal lain di sorot mata Harsya selain ketulusan.
"Makasih ya Mas."Bisik Alma seraya merebahkan kepalanya di bahu Harsya.
Malam itu berlalu dengan percakapan ringan pilihan kursus, rencana kecil, sampai obrolan iseng tentang langkah selanjutnya.Alma menyadari satu hal—hidupnya pelan-pelan berubah menjadi sesuatu yang bahkan dulu tak pernah ia bayangkan.
Namun di sudut pikirannya, ada bayangan samar yang tak berani ia sentuh
Semua ini akan tetap ada… sampai kapan?.
Sejurus kemudian Harsya melirik arlojinya, hembusan napasnya terasa berat dan seolah enggan beranjak.
"Sayang Mas harus pergi, kamu jaga diri ya."
Alma menatapnya dengan sendu.
Sisi lain egonya ingin menahan laki laki itu agar tetap bersamanya, namun disisi yang lain masih segar dalam ingatannya, kejujuran Harsya yang mengatakan bahwa ia punya keluarga dan Alma sepakat untuk tidak menuntut.
"Hati hati ya Mas."Ucapnya sambil mencium punggung tangan Harsya, ini bukan kali pertama ia harus merelakan laki laki itu meninggalkannya, tapi tetap saja terasa berat.
Dua minggu setelah kunjungan Harsya ,Alma resmi mengikuti kelas bisnis pemula yang diadakan di sebuah co–working space kecil di daerah Candi. Tempatnya modern, wangi kopi, dengan dinding kaca yang membuat cahaya pagi masuk leluasa.
Di ruangan itu, Alma tiba-tiba merasa sangat… muda. Bukan muda dalam arti usia, tapi muda dalam arti peluang. Ia melihat orang-orang dari latar berbeda ibu rumah tangga, pegawai kantoran, barista, mahasiswa, bahkan ada seorang bapak paruh baya yang bercita-cita membuka usaha katering.
Semua datang dengan alasan yang sama—ingin maju.
Alma berdiri sebentar di pintu sebelum masuk. Jantungnya berdegup kecil, bukan takut… tapi semacam grogi .
“Ikut kelas Bu Nanda ya?.” seorang perempuan berkacamata menyapanya ramah.
“Ah iya,” jawab Alma sambil tersenyum.
“Aku Sarah,"
"Alma,"Timpal Alam sambil tersenyum ramah.
Kelas dimulai mentor menjelaskan tentang dasar-dasar perencanaan bisnis, target pasar, branding, modal kecil tapi bertahap, dan hal-hal yang selama ini tak pernah Alma pikirkan.
Ia berusaha fokus dan menangkap semua materi.
Di tengah materi, ada momen ketika mentor bertanya,
“Kenapa kalian memilih ikut kelas ini?”
Satu-satu peserta menjawab tidak terkecuali Alma.
"Saya ingin menjadi pengusaha dan membuka lapangan kerja sebanyak banyaknya." Semua peserta bertepuk tangan.
Saat kelas usai langkahnya terasa ringan dan ia merasa seperti terlahir kembali bukan lagi Alma tapi sebagai wanita yang berhak punya mimpi.
Saat ia berjalan keluar co–working space, angin sore menyapu wajahnya. Di dalam hati, suara itu kembali muncul—lebih jelas, lebih mantap.
“Aku harus maju aku tidak boleh selamanya bergantung pada Mas Harsya.”
Malam itu Alma baru pulang , ia membuka ponselnya. Ada banyak pesan dari Harsya .
“Sayang, kamu di mana?.”
“Kamu sibuk banget ya sampai tidak sempat membalas pesan Mas?”
Alma menggigit bibir, rasa bersalah muncul begitu saja. Ia mengetik balasan cepat.
"Maaf Mas, saya ada kelas hari ini."
Belum sampai sepuluh detik, ponselnya langsung berdering. Nama Harsya muncul di layar. Alma menarik napas, lalu mengangkat.
“Al…” suara Harsya datar, bukan marah—lebih ke arah kecewa.
“Kenapa kamu tidak ngabarin sih kalau ada kelas hari ini?."