Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.
Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.
Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.
Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.
Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.
Dan dia adalah sosok itu...
Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sadar dari koma dan potongan ingatan yang menyakitkan
Suasana ruang ICU nomor 713 tak lagi sesenyap beberapa minggu terakhir.
Cahaya matahari menembus tirai tipis, jatuh lembut ke wajah pucat Viora — memberi sentuhan hangat di antara aroma antiseptik yang dingin. Mesin-mesin medis masih berdetak dengan irama yang sama, tapi kali ini bunyinya terasa berbeda. Bukan lagi suara yang menakutkan, melainkan tanda kehidupan yang perlahan kembali berdenyut.
Hembusan napas lega keluar bersamaan dari dada Claretta dan Leonard saat melihat putri mereka akhirnya membuka mata. Air mata haru mengalir tanpa bisa ditahan.
“Alhamdulillah… ya Allah,” bisik Claretta nyaris tanpa suara. Ia menunduk, mencium punggung tangan putrinya dengan gemetar. “Anak Mama sadar… akhirnya kamu kembali, sayang.”
Leonard berdiri di sisi lain ranjang, menatap wajah Viora dengan sorot mata yang sulit dijelaskan — campuran antara syukur, takut, dan kelegaan yang membuncah. “Kami merindukan mu, Sayang,” ucapnya pelan.
Viora menatap mereka dengan pandangan buram, mengerjap perlahan, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyilaukan. Pupil matanya bergetar halus, seolah berusaha mengenali kembali dunia yang terasa begitu asing.
Suara, cahaya, bahkan udara yang ia hirup terasa berbeda. Tapi di antara kabut kesadarannya yang samar, suara ibunya menjadi satu-satunya hal yang terasa nyata.
“Ma…” Bibirnya bergerak pelan, suara yang keluar serak dan nyaris tak terdengar.
Claretta sontak menegakkan tubuhnya, menatap putrinya dengan mata melebar. “Ya, Nak? Mama di sini… bilang apa, Sayang?”
Air mata menetes di pipi Viora. Ia berusaha bicara, tapi suaranya tertelan napas berat. “Air…” gumamnya lirih, nyaris seperti hembusan napas yang meluruh di udara.
“Dia bicara! Dok—dia minta air!” seru Claretta, suaranya bergetar.
Dokter segera mendekat, memberi isyarat agar sang ibu tetap tenang. Ia mengambil kapas basah dari wadah steril, menempelkannya perlahan ke bibir Viora.
“Pelan-pelan saja, jangan dipaksakan dulu,” ucapnya lembut.
Viora menelan sedikit kelembapan itu dengan susah payah. Napasnya masih tersengal, tubuhnya lemah, tapi kesadarannya mulai terbit perlahan.
Pandangan yang semula kabur mulai menangkap bentuk-bentuk di sekitarnya — wajah-wajah yang menatapnya penuh harap, mata ibunya yang basah, genggaman tangan ayahnya yang bergetar, dan siluet Elvatir di ujung ranjang.
Dokter menatap layar monitor sejenak, memastikan grafik detak jantung tetap stabil sebelum menoleh pada keluarga Walker.
“Untuk sementara, tolong jangan ajak dia banyak bicara dulu,” ujarnya dengan nada lembut tapi tegas. “Kondisinya masih sangat lemah. Yang paling penting sekarang adalah memberinya waktu untuk menyesuaikan diri kembali.”
Claretta mengangguk cepat, menyeka air matanya. “Baik, Dok.”
Leonard menggenggam tangan istrinya, seolah mencoba menenangkan.
Tak lama, pintu ruang ICU terbuka. Dua remaja___kembaran Viora masuk dengan langkah tergesa namun sebisa mungkin tidak menimbulkan keributan. Zevan dan Zegra yang langsung datang ke rumah sakit ketika mendengar kabar bahwa adik mereka telah sadar.
“Vi…” suara Zevan tercekat di tenggorokan, antara tak percaya dan lega.
Sementara Zegra berdiri membeku di ambang pintu, matanya memerah, menatap tubuh lemah adik perempuannya di atas ranjang rumah sakit. “Akhirnya... lo sadar juga Vi.” gumamnya pelan.
Suasana ruangan seketika dipenuhi haru yang nyaris tak terucapkan. Hanya detak mesin medis dan isak tertahan yang terdengar — saksi bisu dari sebuah keajaiban yang baru saja terjadi.
Namun di balik keajaiban itu, sesuatu bergetar di dalam kepala Viora.
Sebuah rasa aneh—tajam, menusuk—seperti kilatan cahaya yang datang tiba-tiba. Gambar-gambar berkelebat di pikirannya: berlapis-lapis, acak.
Udah, jangan nangis. Lukanya cuma dikit kok.”
“Kamu bisa jalan, kan? Mau aku gendong?”
“Yey… Vio terbang!” Gadis kecil itu tertawa.
"Nih, sapu tangannya kamu bawa aja, ya. Simpan baik-baik!”
Suara itu berputar di kepalanya, samar tapi jelas.
Bayangan seorang anak laki-laki muncul di antara kabut ingatan—tersenyum, dengan iris mata tajam namun teduh di waktu yang bersamaan. Suara dan bayangan itu berulang-ulang seperti kaset rusak yang tak bisa berhenti.
Lalu—
“Viooo, awas!!"
Brak!
Sebuah mobil hitam melaju kencang dan menabrak Tubuh mungil Viora yang terpental jauh, darah mengalir di aspal yang basah.
“Vio!!”
Teriakan panik remaja laki-laki itu menggema di telinganya, mengguncang ruang sunyi yang dipenuhi gelap dan suara hujan.
Napas Viora kini tersengal. Keringat dingin membasahi keningnya. Tidurnya tak tenang—bayangan-bayangan kecil, potongan masa lalu yang kabur dan abstrak, mulai memaksa masuk ke dalam pikirannya.
“Janji, ya. Sampai besar nanti, kita tetap bareng kayak gini?”
“Janji. Tapi kamu juga harus janji... kamu bakal selalu jagain aku, kayak gini.”
Suara tawa anak-anak kembali terdengar, lembut dan polos, sekejap mengisi ruang gelap itu—sebelum tiba-tiba semuanya pecah, berganti wajah lain.
Kini muncul sosok remaja laki-laki dengan wajah yang berbeda. Suaranya lebih berat, matanya lebih dingin.
“Kamu mau jadi pacar aku?”
Gadis itu—remaja perempuan yang mirip dirinya—tersenyum kikuk.
“Um… boleh.”
“Oke. Mulai sekarang, kita pacaran.”
Tapi bayangan itu segera retak. Ganti dengan suara lain yang menyakitkan, penuh kebohongan.
“Aku sama Viora cuma formalitas. Biar gak ada yang curiga soal hubungan kita.”
“Aku gak pernah benar-benar cinta sama dia.”
“Mulai sekarang, hubungan kita selesai.”
Kata-kata itu seperti pisau—menusuk, memotong ingatan yang belum pulih.
Lalu terdengar suara tangis…
“Lo semua jahat sama gue…”
Suara isak menyatu dengan bunyi hujan yang menggila. Petir menyambar, deru mesin mobil meraung, dan klakson bertubi-tubi menggema di udara.
Cahaya putih menyilaukan matanya tak sadar lampu lalu lintas berwarna merah.
Brak!
Dentuman keras itu mengguncang jantungnya.
Viora terbangun dengan teriakan tertahan. Napasnya tersengal-sengal, peluh dingin membasahi seluruh tubuhnya. Matanya terbuka lebar, menatap langit-langit putih ruang ICU. Dadanya naik turun cepat, seperti baru saja diseret keluar dari mimpi yang terasa terlalu nyata.
“Viora!”
Suara Claretta langsung pecah saat melihat tubuh putrinya terbangun dengan napas memburu. Ia sontak berdiri dari kursinya, wajahnya pucat, tangan gemetar menekan tombol panggil di sisi ranjang.
“Dokter! Tolong cepat lah kemari! Pitri saya...” serunya panik.
Viora menggigil, matanya membulat, seolah masih terperangkap di antara mimpi dan kenyataan. Peluh dingin menetes dari pelipisnya, dan dadanya naik turun cepat, menandakan jantungnya berdetak tak beraturan.
Claretta segera mendekat, menggenggam tangan putrinya erat-erat. “Sayang… tenang, ya. Kamu aman. Mama di sini, Nak. Dengar Mama?”
Viora mencoba fokus, tapi pandangannya masih buram. Suara-suara di sekelilingnya terasa seperti gema jauh—terlalu banyak, terlalu cepat.
Tak lama kemudian, pintu ICU terbuka dengan cepat. Dua perawat bersama dokter jaga berlari masuk. Mereka segera memeriksa monitor dan mendekati ranjang.
“Ada apa, Bu?” tanya sang dokter dengan tenang namun sigap.
“Dia tiba-tiba terbangun—teriak, napasnya berat banget,” ujar Claretta dengan suara gemetar. “Tadi dia tenang, tapi tiba-tiba seperti ketakutan.”
Dokter menatap layar monitor yang memperlihatkan detak jantung yang melonjak cepat. “Kita bantu tenangkan dulu,” ucapnya. Ia memberi isyarat kepada perawat untuk menyiapkan suntikan penenang dosis ringan.
“Tenang, Nona Viora,” katanya lembut sambil memeriksa pupil dan denyut nadi. “Kamu aman sekarang. Tidak apa-apa. Coba tarik napas pelan.”
Viora menatap dokter itu sebentar, lalu kembali pada ibunya. Air mata tipis mengalir di sudut matanya, tapi kali ini bukan karena sakit — melainkan karena ketakutan yang tak bisa dijelaskan.
“Ma…” bisiknya lirih, suaranya bergetar. “Aku… aku lihat…”
Claretta mengusap lembut keningnya. “Ssshh… sudah, Sayang. Jangan dipaksa bicara dulu.”
Beberapa detik kemudian, Leonard datang membawa kantong plastik berisi makanan. Begitu melihat kondisi di dalam ruangan, kantong itu hampir jatuh dari tangannya.
“Viora?! Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada panik.
“Dia tiba-tiba kaget, teriak,” jawab Claretta cepat, matanya masih terpaku pada wajah anaknya. “Sekarang dokter lagi bantu tenangkan.”
Leonard langsung menghampiri sisi ranjang, berdiri di samping dokter dengan wajah cemas. “Dia kesakitan? Atau mimpi buruk?”
Dokter menatap sekilas, lalu menjawab tenang, “Sepertinya reaksi spontan dari trauma memori yang mulai aktif kembali. Hal ini bisa terjadi pada pasien yang baru pulih dari koma panjang.”
Leonard mengangguk pelan, tapi matanya tetap tak lepas dari wajah anak perempuannya. Ia menunduk, mengelus lembut rambut Viora. “Kamu aman sekarang, Nak. Papa di sini.”
Suara detak monitor perlahan menurun, tanda detak jantungnya mulai stabil. Suntikan penenang ringan mulai bekerja; napas Viora menjadi lebih tenang, matanya perlahan mengantuk, tapi masih berusaha menatap orang tuanya.
Claretta menunduk, mencium kening putrinya. “Tidur lagi, Sayang. Istirahat, ya… Mama nggak akan ke mana-mana.”
Leonard menatap istrinya yang masih menahan air mata, lalu menaruh tangannya di bahu wanita itu dengan lembut. “Kita biarin dia tenang dulu,” ucapnya pelan.
Perawat merapikan selimut dan memastikan semua alat terpasang dengan baik. Setelah itu, ruangan kembali perlahan sunyi.
Claretta duduk di kursi di sisi ranjang, menggenggam tangan Viora erat-erat. Tatapannya tak beranjak dari wajah putrinya yang kini kembali terlelap — kali ini dengan napas yang jauh lebih teratur.
Leonard berdiri diam di sisi lain ranjang, menatap layar monitor, lalu memejamkan mata sejenak. Berharap setelah ini keadaan putrinya membaik.
***
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
sosok misterius itu???
lanjut thor
love u sekebon buat para readers ku🫶🫶