"Tolong mas, jelaskan padaku tentang apa yang kamu lakukan tadi pada Sophi!" Renata berdiri menatap Fauzan dengan sorot dingin dan menuntut. Dadanya bergemuruh ngilu, saat sekelebat bayangan suaminya yang tengah memeluk Sophi dari belakang dengan mesra kembali menari-nari di kepalanya.
"Baiklah kalau tidak mau bicara, biar aku saja yang mencari tahu dengan caraku sendiri!" Seru Renata dengan sorot mata dingin. Keterdiaman Fauzan adalah sebuah jawaban, kalau antara suaminya dengan Sophia ada sesuatu yang telah terjadi tanpa sepengetahuannya.
Apa yang telah terjadi antara Fauzan dan Sophia?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝐈𝐩𝐞𝐫'𝐒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 13
Renata berdiri menatap punggung Kartika yang melangkah menuju pintu samping yang terhubung langsung dengan rumah Sophia. Ia menghela napas sesaat lalu beralih mengambil lap untuk membersihkan kompor dan sekitarannya yang terkena cipratan minyak dan bumbu saat masak.
Setelah memastikan dapur bersih ia kembali naik ke kamarnya untuk membangunkan sang suami. "Mas, sudah setengah tujuh. Ayo sarapan sekarang! kita kan mau berangkat jam delapan." Ucapnya sembari mengguncang pelan tubuh Fauzan membuat laki-laki itu seketika mengerjap.
"Jam berapa ini?" tanya Fauzan dengan suara serak khas bangun tidur.
"Setengah tujuh, kita berangkat jam delapan ya mas!" ucap Renata penuh harap.
Fauzan menyibakkan selimut lalu bangkit. Ia duduk dengan menyandarkan punggung ke belakang menatap Renata yang sibuk memasukkan pakaian kotor kedalam paperbag.
"Ngapain kita berangkat sepagi itu? sampai Jakarta juga palingan tidur-tidur juga." Ucapnya sembari menguap, menahan keinginan untuk menyentuh sang istri membuatnya semalam susah memejamkan mata. Alhasil saat ini ia masih merasakan kantuk.
"Maas... Aku belum beres-beres rumah. Bahkan seragam pun semuanya belum di setrika, kita berangkat jam delapan biar sekalian ngantar bapak dulu ke Stasiun."
"Lagian kamu ngeyel sih, dari dulu ditawarin untuk mempekerjakan ART selalu menolak. Sekarang giliran menghabiskan waktu sama keluarga, harus terganggu dengan masalah pekerjaan di rumah." Suara Fauzan sedikit ketus, has-rat yang tak tersalurkan membuat moodnya tak karuan. Ia beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi, bahkan pria itu menutup pintu kamar mandi dengan sedikit membantingnya.
Tak ingin kembali terpancing dengan sikap suaminya ia memilih keluar dari kamar hendak menemui kedua orang tuanya.
"Bu.." ia mengetuk pintu kamar ruang tamu namun sampai beberapa saat berdiri tak jua mendapat sahutan dari dalam. Dengan perlahan ia membuka pintu dan ternyata hanya ada barang-barang milik orang tuanya. Lah mereka kemana? tanya nya dalam hati sembari mengedarkan pandangan bersamaan dengan itu sebuah tepukan mendarat dipundaknya.
"Ibu darimana?" Renata menatap ibunya dari atas sampai bawah.
"Ibu dan bapak habis dari depan jalan-jalan di sekitar komplek. Padahal niat awalnya hanya jalan-jalan depan rumah saja. Eh pak Ikram malah ngajak jalan agak jauh dan akhirnya ketemu tukang bubur, itu ibu bawain juga beberapa bungkus." Bu Rohmah menunjuk ke arah ruang makan.
"Jadi, ibu sama bapak sudah sarapan?" Renata menyelidik yang langsung dijawab anggukan oleh Bu Rohmah sambil tersenyum. Seketika Renata menghembuskan napas leganya, ia tak perlu repot-repot mengajak sarapan kedua orang tuanya di tengah sikap Kartika yang tengah merajuk.
"Kalau begitu bapak mandi dan siap-siap. Jam delapan bapak harus berangkat ke Stasiun takutnya macet apalagi ini weekend, tapi naik taksi lagi enggak apa-apa kan Bu? soalnya mas Zan kayaknya masih kelelahan, dia di Jakarta sibuk lembur terus sampai sini juga sibuk."
Ucapnya sambil menunduk. Ia tak ingin kedua orang tuanya tahu kalau dirinya dan Fauzan habis terlibat cekcok bahkan dari semalam.
"Padahal bapak naik ojek saja biar sat set bisa salip sana sini." Sela pak Amar yang baru saja masuk ke dalam kamar. Paruh baya yang masih terlihat bugar dan bersahaja tersebut duduk di tepi ranjang, sorot mata teduhnya menatap lamat-lamat putri semata wayangnya penuh kasih. "Jangan pikirkan bapak nak, bapak sudah terbiasa kesana kemari naik motor, ngojek, dan sepeda sekalipun yang penting bisa sampai tujuan dengan selamat." Tuturnya santai tanpa beban.
"Yasudah bapak mau mandi lagi barusan keringetan lagi." Ucapnya seraya berdiri.
.
.
Jam delapan kurang lima menit, Renata memeriksa ponselnya saat sebuah notif pesan masuk bersamaan dengan suara klakson dari arah depan rumah. "Pak, taksinya sudah datang!" serunya, membuat semua orang yang tengah berkumpul menoleh ke arahnya termasuk Fauzan.
Laki-laki itu sontak berdiri, namun kalah cepat dari Renata yang lebih dulu beranjak sambil menjinjing tas meninggalkan pak Amar yang tengah pamitan pada Kartika dan pak Ikram orang tua Fauzan.
"Pak, kenapa bapak malah naik taksi? kan Zan bisa ngantar bapak ke Stasiun." Ucap Fauzan dengan raut bersalah, ia mencium tangan mertuanya dengan takzim.
"Enggak apa-apa nak, kamu capek harus bolak-balik Stasiun mana sebentar lagi mau berangkat juga kan."
"Paak... Ayo cepetan!"
Seruan Renata yang memanggil pak Amar memutus percakapan keduanya. Pak Amar menepuk bahu Fauzan sambil tersenyum, "hati-hati nanti di jalan jangan ngebut. Maaf bapak belum bisa ke ikut Jakarta, Insya Allah nanti kalau sekolah libur akan kesana." Ucapnya seraya melangkah menghampiri Renata yang baru saja memasukkan tasnya ke dalam mobil.
"Bapak..." Lirih Renata, air matanya seketika merembes saat dirinya mencium punggung tangan sang bapak. Lalu ia memeluk paruh baya cinta pertamanya sembari terisak, pertahanannya runtuh saat dekat dengan bapaknya. Padahal sudah sekuat tenaga ia menahannya dari tadi namun tetap saja bobol, kegundahan hati yang dipendamnya ia keluarkan lewat air mata.
"Bapak hati-hati di jalan, selama ibu di Jakarta bapak jangan begadang dan harus jaga makan. Kalau sudah sampai langsung kabarin aku ya pak." Ucapnya yang hanya ditanggapi kekehan kecil oleh pak Amar.
"Nduk, sampainya akan duluan kamu. Bapak sampai rumah paling nanti habis Maghrib." Kata pak Amar, tangannya mengusap puncak kepala sang putri. Ada makna yang tersirat dalam sorotnya, sebuah cinta sejati dan dukungan buat putrinya.
"Yasudah bapak berangkat dulu ya, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Renata dan Bu Rohmah serempak menjawab salam sambil melambaikan tangan. Begitupun dengan Fauzan yang ikut melambaikan tangan setelah menutup pintu disamping mertuanya.
Tanpa berucap apapun Renata kembali masuk menggandeng tangan sang ibu, kemudian ia membelokkan langkahnya menuju pintu rumah Sophia untuk pamit pada si kembar dan adik iparnya. Namun saat kakinya hendak meniti teras, Fauzan menyentuh tangannya.
"Siap-siap, kita pulang sekarang." Ucap Fauzan lembut menatap wajah Renata yang masih memerah karena tangisnya.
"Pastikan dulu sudah dapat ijin dari ibu, baru menyuruhku siap-siap!" Sahut Renata pelan seperti bisikan, bersyukur Bu Rohmah berbelok menghampiri ibu mertuanya yang tengah menyiram bunga-bunganya yang berjejer.
"Rena!" desis Fauzan namun Renata sama sekali tak menggubrisnya, perempuan itu langsung membuka pintu rumah Sophia yang tidak tertutup rapat.
Kamu aja yg di telpon gak mau ngangkat 😏😏😏
baru juga segitu langsung protes 😏😏
Rena selalu bilang gak apa apa padahal dia lagi mendem rasa sakit juga kecewa tinggal menunggu bom waktunya meledak aja untuk mengeluarkan segala unek unek di hati rena😭
scene nya embun dan mentari juga sama
bikin mewek 😭
jangan bikin kecewa Napa ahhhhh😭😭
aku sakit tau bacanya
padahal bukan aku yang menjalani kehidupan rumah tangga itu😭😭😭
suka watir aku kalauu kamu udah pulang ke bandung 😌😌