Hagia terkejut bukan main karena dirinya tiba-tiba dilamar oleh seorang pria yang jauh lebih muda dari usianya. Sebagai seorang janda beranak satu yang baru di ceraikan oleh suaminya, Hagia tidak menyangka jika tetangganya sendiri, Biru, akan datang padanya dengan proposal pernikahan.
"Jika kamu menolakku hanya karena usiaku lebih muda darimu, aku tidak akan mundur." ucap Biru yakin. "Aku datang kesini karena aku ingin memperistri kamu, dan aku sadar dengan perbedaan usia kita." sambungnya.
Hagia menatap Biru dengan lembut, mencoba mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya. "Biru, pernikahan itu bukan tentang kamu dan aku." kata Hagia. "Tapi tentang keluarga juga, apa kamu yakin jika orang tuamu setuju jika kamu menikahi ku?" ucap Hagia lembut.
Di usianya yang sudah matang, seharusnya Hagia sudah hidup tenang menjadi seorang istri dan ibu. Namun statusnya sebagai seorang janda, membuatnya dihadapkan oleh lamaran pria muda yang dulu sering di asuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Starry Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 06
Happy birthday...
Happy birthday....
Happy birthday Radhin....
Dengan nada gembira, orang-orang itu menyanyikan lagu ulang tahun untuk seorang anak yang berada dalam gendongan Heru. Sosok wanita cantik disebelah Heru juga menarik perhatian Hagia.
"Selamat ulang tahun anak Papa dan Mama," ucap Heru tersenyum lebar. Lalu secara bersamaan Heru dan wanita yang ada disebelah mencium pipi anak laki-laki itu.
"Ayah...," suara kecil Hasya membuat semua orang yang ada disana menoleh kearah Hagia dan Hasya.
"Hagia, Hasya." gumam Heru pelan melihat kedatangan mantan istri dan putrinya.
"Hasya juga mau di gendong ayah." Kata-kata Hasya membuat hati Hagia merasa tercubit, namun wanita itu hanya bisa tersenyum samar dan mengecup kening putrinya.
"Hagia, kamu datang." ucap wanita paruh baya menghampiri Hagia dan Hasya. Fatma, dia adalah mantan ibu mertua Hagia.
"Hasya, nenek rindu." tangannya hendak menyentuh Hasya, namun Hagia memundurkan tubuhnya. "Hagia..." gumam Fatma. Wanita itu jelas melihat kekecewaan yang teramat dalam dimata Hagia.
"Sepertinya saya datang disaat yang tidak tepat. Maaf sudah mengganggu," ucap Hagia. Jantungnya berdetak kencang, tubuhnya terasa lemas, bahkan matanya memerah dan dipenuhi dengan cairan bening yang siap menetes.
"Hagia, tunggu, Nak." kata Fatma saat Hagia membalik tubuhnya. "Ibu mohon, dengarkan penjelasan ibu," pintanya menahan Hagia.
"Itu tidak perlu, Bu. Aku sudah melihat dengan jelas, apa yang terjadi." sahut Hagia kembali melanjutkan langkahnya.
"Hagia! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan," seru Fatma menoleh kearah Heru. "Kenapa kamu diam saja! Cepat kejar Hagia!" ucap Fatma geram melihat Heru yang tidak bergeming.
"Cepat atau lambat, Hagia juga pasti akan tahu, Bu. Lagi pula, kami sudah resmi bercerai." sahut Heru tanpa rasa bersalah.
"Ckkk, kamu ini!" Fatma berlari menyusul Hagia yang sudah meninggalkan halaman rumah dengan mobilnya.
"Maafkan ibu." gumamnya penuh penyesalan. Fatma tahu jika dirinya telah membuat Hagia sangat kecewa dan sakit hati.
Dengan langkah lemas, Fatma kembali masuk dalam rumah dan disambut Heru yang berada diruang tamu. "Bu, ayo kita potong kuenya Radhin." ajak Heru. Fatma menatap tajam putranya dengan tidak percaya.
"Setelah semua ini, kamu masih bisa melanjutkannya?" Fatma menggelengkan kepalanya. "Ibu benar-benar kecewa sama kamu!" tukas Fatma meninggalkan Heru begitu saja.
....
Hagia mengemudikan mobilnya dengan perasaan kacau. Perkiraannya dipenuhi kenangan masa lalu, Hagia sadar jika pernikahannya dengan Heru bukan karena cinta. Bahkan proses perkenalan mereka sangat singkat, hanya dalam waktu tiga bulan, langsung menuju pelaminan.
Dulu, Hagia tidak berpikir jika keputusan menikah dengan Heru itu terlalu terburu-buru. Hagia merasa sudah cukup umur dan matang, begitu pula dengan Heru yang kala itu sudah berusia 31 tahun. Hagia yakin jika mereka bisa membangun rumah tangga yang bahagia, meskipun belum ada cinta diantara keduanya.
"Bunda, Hasya belum di gendong ayah." suara Hasya membuyarkan lamunannya. Bayang-bayang masa lalu dan pemandangan yang menyesakkan dadanya menguap begitu saja, mengingat ia sedang bersama putri kecilnya.
"Lain kali ya, sayang." ucap Hagia sambil mengusap kepala Hasya penuh kasih sayang.
Hagia baru menyadari jika selama ini Heru tidak pernah memperlakukan Hasya dengan hangat, seperti apa yang tadi di lihatnya. Wanita dengan hijab abu-abu itu tersenyum miris.
Wajar jika Heru bersikap kaku dengan Hagia, namun dengan Hasya? Apakah selama ini tidak ada cinta kasih seorang ayah pada anaknya dalam hati Heru? Bodohnya Hagia, karena baru menyadarinya.
Malik langsung bangkit dari duduknya melihat mobil yang dikendarai Hagia memasuki halaman. Pria paruh baya itu jelas terkejut, karena Hagia pulang lebih cepat dari perkiraannya.
"Assalamualaikum," ucap Hagia dengan menggendong Hasya. Senyum tipis menghiasi bibirnya, meskipun tidak bisa menutupi wajah sendunya.
"Walaikumsalam," sahut Malik, mengulurkan tangannya dan langsung disambut Hagia. "Kenapa cepat sekali? Apa.."
"Mas Heru sedang ada acara keluarga. Jadi, Hagia dan Hasya pulang." jelasnya. Hagia paham dengan apa yang akan ditanyakan oleh Malik.
"Hagia masuk dulu, Pak." Hagia tidak ingin Malik mengetahui apa yang telah terjadi.
"Memangnya kenapa kalau ada acara keluarga? Hasya kan putrinya Heru," gumam Malik masih heran karena Hagia malah membawa Hasya pulang lebih cepat.
...
Setelah menidurkan Hasya, Hagia duduk bersandar di ranjang dengan memeluk kedua lututnya. Cairan bening yang sejak tadi di tahannya kini mulai mengalir deras, pikiran negatif memenuhi kepalanya.
Hagia dan Heru baru saja resmi bercerai 2 bulan yang lalu, tapi Heru merayakan ulang tahun seorang bocah yang kini berusia 2 tahun. Apakah selama ini Heru memang bermain dengan wanita lain di belakang Hagia?.
Drtt....drttt....drttt....
Hagia menatap datar tasnya, ponselnya sejak tadi berdering, entah dari siapa itu, Hagia tidak ingin tahu. Hingga atensinya beralih kearah pintu yang diketuk dari luar.
"Buk, ada telepon dari Pak Heru." seru Sri dari balik pintu, namun Hagia hanya diam tanpa berniat membuka pintu itu.
"Maaf, Pak. Sepertinya Bu Hagia sedang tidur." ucap Sri, samar-samar terdengar oleh telinga Hagia.
"Apa karena mereka kamu menceraikan aku dan membuang kami." gumam Hagia sambil mengusap air matanya. Pandangannya tertuju pada Hasya yang terlelap dalam buaian mimpi. Rasa bersalah semakin menyelinap dalam hatinya, ingatan Hagia melayang jauh, saat Fatma begitu serius membujuk Hagia.
"Anak ibu itu orangnya baik, gak neko-neko. Percaya sama ibu, kamu pasti akan menjadi wanita paling bahagia mempunyai suami seperti anak ibu." ucap Fatma meyakinkan Hagia agar mau berkenalan dengan putranya, Heru.
"Memangnya anak ibu tidak punya kekasih?" tanyanya penasaran. Hagia pernah sekali melihat putra dari pelanggan nya itu, benar apa yang dikatakan Fatma. Heru memang tampan, gagah, dan terlihat sangat dewasa. Hagia tidak yakin jika Heru tidak memiliki kekasih.
"Tidak, makanya ibu berniat mengenalkan kalian. Siapa tahu cocok dan jodoh, ibu sih berharap banget kalau kalian jodoh." Fatma sangat menyukai Hagia, menurut Fatma, Hagia adalah wanita yang baik, selain itu Hagia juga cantik dan santun.
"Kalau memang anak ibu, setuju. Hagia juga mau berkenalan dengan dia." ucap Hagia tersenyum. "Kalau memang kami cocok, insyaallah akan lanjut ke tahap yang lebih serius. Tapi, kalau tidak cocok, Hagia harap, ibu tidak kecewa." jelas Hagia dengan sopan. Fatma tersenyum senang karena Hagia setuju berkenalan dengan putranya.
Hagia merasa tidak ada salahnya berkenalan dengan anak dari salah satu pelanggannya, toh Hagia juga single. Terlalu fokus bekerja membuat Hagia lupa mencari pasangan hidup, mungkin inilah jodoh yang sudah Allah persiapkan untuk Hagia. Bahkan dengan cara yang tak terduga.
Beberapa hari kemungkinan, Hagia dan putra pelanggan nya itu akhirnya bertemu, disini lah mereka, disebuah kafe sederhana.
"Maaf ya, kalau ibuku terlalu memaksa kamu." ucap Heru segan. Sebab Fatma terkesan memaksanya berkenalan dengan Hagia.
"Tidak apa-apa, Mas. Aku paham dengan maksud Bu Fatma," sedetik kemudian, Hagia menyesali perkataannya.
"Paham?" ulang Heru mengerutkan keningnya.
"Emmm, maksudku..." Hagia bingung memilih kata-kata yang tepat. "Bu Fatma bilang kalau putranya sudah cukup dewasa. Jadi..."
"Ya, aku paham." sela Heru. Fatma selalu mengingatkan Heru akan usianya yang semakin bertambah, walaupun Heru mengatakan kalau dirinya masih terhitung muda.
Setelah beberapa kali pertemuan, Hagia merasa nyaman bersama Heru. Sesuai dengan perkiraannya, Heru adalah pria dewasa yang cukup matang. Pembawaannya tenang dan santai, Heru juga terlihat baik, tidak banyak menuntut, mengerti akan kesibukan Hagia.
Meskipun Heru belum pernah menyatakan cinta, Hagia menerima saran Bu Fatma untuk melanjutkan proses perkenalan mereka dalam sebuah ikatan pernikahan.Tanpa mencari tahu kisah masa lalu Heru.
*
*
*
*
*
TBC