Follow IG othor @ersa_eysresa
Anasera Naraya dan Enzie Radeva, adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun tepat di hari pernikahan, sebuah tragedi terjadi. Pesta pernikahan yang meriah berubah menjadi acara pemakaman. Tapi meskipun begitu, pernikahan antara Ana dan Enzie tetap di laksanakan.
Namun, kebahagiaan pernikahan yang diimpikan oleh Ana tidak pernah terjadi. Karena bukan kebahagiaan yang dia dapatkan, tapi neraka rumah tangga yang ia terima. Cinta Enzie kepada Ana berubah menjadi benci di waktu sama.
Sebenarnya apa yang terjadi di hari pernikahan mereka?
Apakah Ana akan tetap bertahan dengan pernikahannya atau menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perubahan Sikap Enzi
Rumah sakit.
Sampai di rumah sakit Ana segera mendapatkan pertolongan dari tenaga medis yang berjaga disana. Arvin dengan khawatir menunggu di luar dan mondar-mandir tak tentu arah. Dia tidak percaya kalau Ana sudah mendapatkan penyiksaan seperti itu dari Enzi. Arvin pikir, Enzi hanya mengurung nya di dalam gudang saja tanpa ada penyiksaan fisik.
"Emang dah gila tuh orang. Kehilangan kedua orang tuanya sudah membuatnya tidak waras. " gumam Arvin merutuki sahabat sekaligus bos nya itu.
Terdengar ruang penanganan pasien terbuka, dan seorang dokter jaga keluar menghampiri Arvin.
"Bagaimana keadaan teman saya dokter? " tanya Arvin khawatir.
"Anda temannya, saya kira anda suaminya? " dokter balik tanya.
"Eee.... Suaminya sedang keluar kota dokter. Dan saya hanya diminta tolong untuk mengantarnya ke rumah sakit. " jawab Arvin memberi alasan, agar wajah Enzi tidak tercoreng.
"Oh, jadi seperti itu. Mbak Ana pingsan karena dehidrasi dan sepertinya belum makan, ya. Ada sedikit gangguan di lambung." ujar dokter, " Luka-luka di tubuhnya tidak terlalu parah, dan sudah kami obati. Tinggal memindahkan ke ruang perawatan, mungkin besok sudah sadar lagi. "
"Terima kasih dokter, "
"Sama-sama, silahkan ke bagian administrasi untuk memindahkan Mbak Ana ke ruang perawatan. "
Tanpa banyak bicara lagi, Arvin segera mengurus kamar tempat Ana akan di rawat. Setelah Ana dipindahkan, Arvin merasa lega setidaknya Ana selamat dari bahaya.
" Aku nggak tau kalau akan seperti ini jadinya, An. Kalau tau sepeti ini, aku nggak akan ngijinin kamu menikah dengan Enzi. Bagaimana pun kita juga sudah berteman lama, dan aku pikir kalian akan semakin bahagia setelah menikah. " Arvin menghela nafasnya berat melihat keadaan Ana.
"Istirahatlah, semoga besok Arvin sadar dengan perbuatannya. Aku akan menunggu di luar. "
Setelah mengatakan itu, Arvin memutuskan menunggu Ana di luar untuk berjaga-jaga dari fitnah. Karena tidak pantas baginya yang bukan siapa-siapa menunggu istri bosnya di dalam ruangan.
Mendengar pintu ruangannya tertutup perlahan Ana membuka matanya. Dia sudah sadar sejak tadi dan hanya pura-pura tidak sadar. Dia juga mendengar semua ucapan Arvin, yang membuatnya meneteskan air mata dari sudut matanya.
"Aku juga nggak tau kalau sikap Enzi akan seperti padaku, Vin. Kalau aku tau, aku tidak akan menikah dengannya. Tapi aku akan mencoba bertahan, dan memberikannya kesempatan. Dia hanya sedang kehilangan arah karena kehilangan kedua orang tuanya. Setelah dia sadar, aku yakin dia akan kembali padaku. " gumam Ana penuh harap dan keyakinan di dalam hatinya.
Rumah Enzi.
Enzi bangun saat matahari mulai meninggi dan dia sudah ada di dalam kamarnya. Dengan kepala yang terasa berdenyut dia bangun dari tidurnya untuk membersihkan diri. Mungkin dengan mandi dia bisa menghilangkan rasa sakit di kepalanya.
"Ah, sial. Kenapa setiap pagi kepalaku terasa sakit seperti ini. " gumamnya menggosokkan shampo di Kepalanya.
Setelah di rasa cukup dan rasa sakit di kepalanya sedikit berkurang, Enzi segera berganti pakaian dan bersiap ke kantor. Dia turun ke lantai bawah dan melihat rumahnya terasa sepi. Tidak terdengar ocehan Ana maupun Bi Darmi dan hanya tercium aroma masakan saja dari dapur.
"Pagi, Bi, Ana kemana? " tanya Enzi.
Mendengar sapaan Enzi, Bi Darmi merasa terkejut dan mendekati Enzi.
"Mas Enzi sudah lupa?" tanya Bi Darmi kebingungan.
Kening Enzi berkerut mendengar pertanyaan Bi Darmi. " Kenapa? "
"Semalam mbak Ana pingsan di gudang. Mas Arvin membawanya ke rumah sakit. " Bi Darmi mengingatkan kejadian semalam.
Mata Enzi membulat mendengar itu dia terlihat panik dan langsung beranjak dari duduknya dan segera berlari keluar mencari sopir. Saat berada di luar rumah dia berpapasan dengan wanita paruh baya yang berjalan mendekatinya.
"Mas Arvin, kata mbak Ana bibi di minta kerja disini mulai hari ini. " kata Bi Marni.
"Oh, iya, bi, hari ini temani bi Darmi dulu, aku ada urusan yang harus ku lakukan. " kata Enzi dengan nada panik dan khawatir lalu segera masuk ke dalam mobil menuju rumah sakit.
Bi Darmi mengajak Bi Marni masuk, dan menjelaskan apa yang terjadi, tapi tidak menjelaskan konflik yang terjadi antara Enzi dan Ana.
"Kamu bisa disini dulu atau pulang, nggak Apa-apa Mar. Nanti kalau mbak Ana sudah pulang aku kabari, soalnya keadaan masih belum kondusif. " kata Bi Darmi.
"Ya udah kalau gitu mah, aku pulang aja. Nggak enak kalau nggak ada mbak Ana. Soalnya yang memintaku kerja lagi kan mbak Ana. "
Bi Darmi mengangguk dan bersyukur kalau teman kerjanya ini pengertian.
Sesampainya di rumah sakit, Enzi segera menanyakan keberadaan istrinya ke bagian administrasi. Setelah mengantongi ruangan tempat Ana di rawat, Enzi segera menuju ke ruangan itu untuk melihat keadaan Ana.
Dari kejauhan Enzi bisa melihat sosok pria yang sangat dia kenal sedang duduk di kursi tunggu pasien di luar ruang perawatan. Dia segera berlari mendekat dan menghampiri Arvin.
"Vin, " sapanya.
"Eh, udah datang." Arvin terlihat terkejut melihat kedatangan Enzi dengan wajah panik.
"Gimana keadaan Ana? " tanya nya
"Dia sudah mendapatkan penanganan dokter semalam, nggak tau dia udah sadar apa belum. Aku belum masuk kamar. " kata Arvin berdiri meregangkan ototnya.
"Ya udah, karena kamu datang, aku pergi dulu. Aku mau istirahat, nanti kalau sempet aku akan ke kantor. Kamu temani aja istrimu sampai sembuh. Jangan kamu sakiti lagi. " Arvin menyerahkan kunci mobil dan menepuk bahu Enzi lalu berlalu pergi.
Enzi memandangi kepergian Arvin yang semakin menjauh, lalu dia segera masuk ke dalam ruang perawatan Ana untuk melihat keadaan istrinya itu.
Di dalam ruangan, dia melihat Ana sedang duduk termenung. Sepertinya dia sudah sadar, tapi wajahnya masih terlihat pucat. Ana yang menyadari kedatangan seseorang langsung menoleh, dan seketika tatapannya berubah dingin saat melihat sosok Enzi.
"Bagaimana keadaan mu? " tanya Enzi berjalan mendekat dan duduk di kursi yang ada di samping brangkar.
"Sudah lebih baik, aku beruntung karena aku tidak mati. " jawab Ana datar.
Enzi menghela nafasnya mendengar ucapan Ana lalu menoleh ke arah nakas dan melihat sarapan Ana yang masih utuh.
"Kamu belum makan? Aku suapi ya, " Enzi segera mengambil makanan itu dan menyuapkannya ke mulut Ana.
"Makanlah, biar cepat sembuh. "
Ana menatap Enzi dengan kebingungan. Dia merasa Enzi sudah mempermainkan perasaannya. Kadang dia terihat seperti gunung es atau monster, dan sekarang dia bersikap baik. Apa-apaan ini?
"Ayo, makanlah. Aaaa.... "
Dengan ragu Ana membuka mulutnya dan menerima suapan demi suapan dari Enzi, dan akhirnya dia menemukan Enzinya yang dulu.
"Maafkan aku ya, sudah bersikap kasar kepadamu, aku tau aku sudah keterlaluan. Aku tidak bisa berfikir waras saat harus menerima kenyataan kalau orang tuaku meninggal dengan cara mendadak seperti itu. "
Ana terdiam, mungkin benar dia harus memberi Enzi waktu untuk menerima kenyataan kalau kedua orang tuanya sudah meninggal. Karena itu memang tidak mudah, saat kita harus kehilangan orang yang kita sayangi dengan cara seperti itu.
dia sudah memilih
be strong woman you can do it
marah atau pura pura ga tau