Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.
Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.
Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.
Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanda, Batas, dan Pilihan
Dinda sedang makan malam saat Rendra pulang. Pria itu terlihat agak tertekan. Dasi longgar, langkah berat, dan wajah yang seolah belum sempat bernapas sejak pagi. Penuh beban dan enggan bicara.
"Kamu udah makan?" tanya Dinda.
"Belum." Jawabnya pendek. Ia lelah dan butuh alkohol.
Rendra langsung menuju lemari dapur. Mengambil botol whisky, menuangnya ke gelas kristal, lalu menyesapnya pelan.
Alkohol membakar tenggorokan, tapi setidaknya itu memberinya sesuatu untuk dirasakan selain kelelahan. Setelah itu ia duduk di seberang Dinda sambil memainkan gelas di tangannya.
"Chef Deka buat salmon panggang dan salad buat kamu. Mau aku siapin?" Tanya Dinda.
Tatapan Rendra jatuh ke piring Dinda. Tiba-tiba perutnya terasa lapar.
"Itu kamu makan apa?" Tanyanya penasaran.
"Sop buntut. Tadi aku masak."
Rendra mengangkat sebelah alisnya, "Kamu yang masak?"
Dinda mengangguk.
"Masih ada? Aku mau."
Beberapa menit kemudian mereka sudah makan berdua di sana. Suasana mulai mencair. Obrolan perlahan mengalir ringan, tanpa beban. Rendra menceritakan klien asing yang keras kepala, deadline yang mepet, rapat yang melelahkan. Dinda mendengarkan sambil sesekali berkomentar. Ada kedamaian kecil di antara mereka. Lalu Rendra menyebut gala dinner tahunan perusahaan yang akan diadakan pertengahan tahun dan mereka perlu hadir bersama.
"Kok aku gugup ya?" ujar Dinda, sendoknya berhenti di udara.
Sudah terbayang olehnya. Acara mewah, orang-orang elit, bisa jadi ada wartawan. Kemungkinan mereka akan jadi pusat perhatian.
"Aku di samping kamu terus nanti. Kamu nggak perlu gugup." Rendra meliriknya sekilas, nadanya lebih lembut dari biasanya.
Dinda mengangguk, meski pikirannya belum sepenuhnya tenang.
Ia sempat berpikir untuk membahas soal direct message dari Namira, tapi akhirnya ia urungkan. Ia ragu. Apa ia pantas cemburu? Statusnya memang istri, tapi sering kali ia masih merasa seperti tamu di hidup Rendra. Bagaimana kalau Rendra menganggapnya bocah rewel? Lagi pula, dari nada pesannya, sepertinya Namira hanya ingin mengusik.
Lalu kemudian ia teringat sesuatu.
"Oh iya, kenapa kamu kasih aku tanda di sini?" Tanya Dinda sambil menunjuk lehernya. Nadanya kesal.
"Apa salahnya?" Rendra tampak tidak peduli. Bahkan tidak mengangkat wajah dari piringnya.
"Salah karena orang-orang jadi lihat. Nggak cuma sekali kamu ngelakuin hal begini. Waktu aku lagi telepon Mas Bima pun kamu tiba-tiba masuk, nyentuh aku. Kamu bikin aku malu, Mas."
Rendra baru mengangkat wajahnya. Alisnya naik, seperti baru mendengar sesuatu yang absurd. "Orang-orang tau kamu punya suami. Masalahnya di mana?"
Memangnya kenapa? Itu hal yang wajar untuk suami-istri.
Dinda menghela napas, mencoba menahan frustrasinya. "Bukan itu poinnya! Kamu nggak menghargai privacy-ku. Aku nggak protes waktu itu, tapi aku nggak nyaman. Dan sekarang kamu bikin tanda ini tanpa tanya dulu. Kamu pikir aku nggak keberatan? Orang-orang nggak perlu tau aktivitas seksual kita!"
"Bima lihat?" Kali ini Rendra menatapnya lekat.
Dinda terdiam. Oh... jadi itu alasannya. Ada apa dengan pria ini?
"Kamu kasih ini untuk ditunjukin ke Mas Bima? Ya ampun, aku nggak percaya."
"Dia mau kamu, aku nggak suka!" Jawabnya tajam.
"Karena itu kamu tandai aku kayak barang? Bahkan tanpa persetujuan aku?" Nada suara Dinda mulai naik.
"Cuma supaya dia tau batasan."
"Nggak gitu caranya!" Dinda hampir berteriak sekarang. "Aku bukan objek yang bisa kamu tandai seenaknya, apalagi cuma untuk ditunjukin ke orang lain!"
"Kamu istriku!" Rendra berdiri, kursinya bergeser kasar. Wajahnya mengencang karena amarah. "Dia nggak bisa telepon mesra dan peluk kamu sembarangan kayak kemarin!"
Bahkan saat marah dia sangat tampan. Rahangnya yang tegas, matanya yang menyala. Dinda hampir saja hilang fokus. Tapi tidak. Tidak kali ini.
"Telepon mesra apa?!" Dinda ikut berdiri. "Aku diskusi soal skripsiku dan ngobrol ringan. Dan soal pelukan... dia sepupuku, Mas! Apa yang kamu permasalahkan?"
"That's EXACTLY the problem! Because he's your cousin, the boundaries are blurred! Dia bisa do whatever he wants dan kamu bilang it's fine karena 'oh, he's family' . That's bullshit, Dinda!"
"Tapi cara kamu tandai aku tetep nggak bisa dianggap benar! Kamu nggak berhak melanggar privasiku!" Mata Dinda mulai berkaca-kaca, tapi bukan karena sedih, ia marah."Ini bukan protecting, Mas! Kamu posesif!" Dinda mengepalkan kedua tangannya dan pergi meninggalkan Rendra.
Pria itu hanya diam di tempatnya. Kebingungan karena tidak terbiasa dengan Dinda yang memberontak. Ia tau ia salah, tapi tidak menyangka reaksi Dinda akan sekeras ini. Dan sorot mata gadis itu barusan, menahan Rendra untuk tidak lagi menyusulnya untuk berdebat. Ledakan ini bisa berbahaya jika tidak ditangani dengan baik. Kali ini mungkin ia harus mundur.
...***...
Sejak kecil, Dinda tumbuh di rumah yang tenang tapi menekan. Ayahnya jarang bicara, tapi setiap ucapannya adalah titah. Ibunya lebih banyak diam, mengalah dalam hening. Memang tidak pernah ada pertengkaran besar, tapi Dinda hapal pola-pola kecil yang mencekik itu.
Air panas untuk mandi, piring makan siap di meja, dan tunduk yang dibungkus kata "mengalah." Lingkungan tempatnya tumbuh membuat ia terbiasa berkompromi dengan dominasi pria.
Dulu Dinda kira itu normal.
Tapi setiap kali Rendra membuat keputusan tanpa bertanya atau menyudahi diskusi dengan nada mutlak, Dinda merasa seperti menonton ulang masa lalunya. Sebelumnya ia selalu diam pada perilaku problematik Rendra. Kali ini tidak bisa. Dinda tidak ingin berakhir dengan menjadi jilid kedua ibunya. Ia tidak mau pernikahan seperti itu.
Ciuman bertanda ini akan jadi salah satu kepatuhan yang dipaksakan padanya jika ia tetap diam. Dan Rendra mungkin akan merasa itu hal yang wajar. Karenanya Dinda mulai menunjukkan batas.
Rendra sempat terdiam lama di depan pintu kamar. Haruskah ia masuk? Dinda pasti masih marah. Baru kali ini ia takut masuk kamarnya sendiri. Namun ia putuskan untuk menemuinya.
Saat Rendra masuk, Dinda sedang mengambil laptop untuk mengerjakan naskah memoir client-nya. Pria itu mendekat, Dinda bisa melihat pantulannya di cermin. Perlahan Rendra melingkarkan kedua lengannya di pinggang Dinda.
"Maaf." Kata Rendra pelan.
Dinda tidak menjawab.
"Harusnya aku nggak lakuin hal-hal yang bikin kamu malu." Rendra mengakuinya. Sepertinya ia memang keterlaluan.
Dinda menghela napas dengan berat, mencoba mengatur emosinya.
"Cara kamu itu primitif, Mas. Kamu bukan hewan." Suaranya lebih lembut kali ini, tapi masih dingin.
"Aku tau, aku minta maaf."
Dinda meletakkan laptopnya di meja, diam sesaat, lalu perlahan berbalik dan menatap wajah Rendra sebentar. Dia kelihatan murung. Ekspresinya seperti anak kecil yang baru dimarahi. Dinda menyerah, ia tidak tega. Lalu tanpa kata ia membalas pelukan Rendra sambil menghela napas.
Betapa menyebalkannya pria ini. Dia posesif dan sering melanggar batas, itu membuat Dinda kesal. Tapi setiap kali Dinda melihat wajahnya, setiap kali ia mencium aroma tubuhnya dari dekat, dan ketika hembusan napasnya menyentuh kulit, Dinda merasa lega. Bahwa akhirnya ia bisa menyentuh Rendra setelah hari panjang yang ia lewatkan tanpa kehadirannya. Jadi kesalahan ini, lagi-lagi ia maafkan.
"Aku dimaafin?" Tanya Rendra, matanya melebar.
Dinda mengangguk kemudian melepas pelukannya. "Kamu nggak perlu khawatir soal Mas Bima. Kami udah kayak saudara kandung. Nggak mungkin ada apa-apa."
Alis mata Rendra menyatu tidak setuju, ia bersikap defensif lagi, "Aku nggak ragu sama kamu, tapi aku nggak percaya dia. Aku laki-laki Dinda, aku tau isi kepalanya."
Dinda hampir tertawa. Hampir. Tapi ia melihat keseriusan di mata Rendra dan ia tau pria ini tidak bercanda. Ia menghela napas panjang. Kelelahan tiba-tiba menyerang. Pertengkaran ini menguras energi.
"Okay." katanya akhirnya. "Okay, aku ngerti."
Ia tidak setuju sepenuhnya, tapi ia tau kalau dilanjutkan, mereka akan berputar-putar di argumen yang sama.
"Tapi lain kali tolong komunikasi. Jangan ambil keputusan impulsif kayak tadi." Dinda menatapnya serius. "Kalau kamu nggak suka sesuatu, bilang. Kita bicarain. Jangan langsung..." Ia menyentuh lehernya sendiri, "...lakuin ini."
Rendra mengangguk pelan. "Nggak akan aku ulangi."
Ia meraih tangan Dinda yang menyentuh lehernya, lalu membawanya ke bibirnya. Mengecup punggung tangannya lembut. Matanya tidak lepas dari Dinda.
"Aku janji." bisiknya di kulit Dinda.
Meski ia tau ini bukan penyelesaian sempurna, Dinda merasa sedikit lebih baik. Untuk pertama kalinya, Rendra mau mendengar. Untuk pertama kalinya, ia merasa pendapatnya dihargai.
Mungkin ini kemajuan.
Mungkin.
...***...
Suatu hari setelah Dinda diperkenalkan kepada supir barunya, ia masih sulit percaya pada apa yang ia alami.
Rico, pria berwajah datar yang disebut Rendra sebagai "supir pribadi", menempel ke mana pun Dinda pergi. Persis seperti yang Heru lakukan pada Rendra.
Awalnya Dinda mengira dia hanya supir. Tapi gerak-geriknya terlalu terlatih untuk sekedar mengemudi. Ia bicara seperlunya, menjaga jarak, dan matanya selalu awas terhadap sekitar. Mungkin ia pengawal atau semacamnya.
Dan satu hal yang membuat Dinda sangat terganggu adalah, dia bahkan ikut turun dari mobil saat Dinda berada di kampus, lalu menungguinya di depan kelas. Dinda sudah menegurnya dengan nada kesal, tapi jawaban pria itu, "Saya lakukan sesuai instruksi Pak Rendra, Bu."
Pagi itu Dinda baru bangun tidur, dan seperti biasa Rendra sudah tidak ada di sana. Ia merasa perlu mengatakan pada Rendra bahwa Rico tidak seharusnya menungguinya di depan kelas seperti yang ia lakukan kemarin. Dan ia terlalu terburu-buru untuk menyadari baju apa yang ia pakai.
Masih dengan gaun tidur sutra super pendek yang dipilih Rendra untuknya semalam, ia masuk ke ruang kerja suaminya tanpa sempat mengetuk. Rendra duduk di kursi kerjanya sedang membaca sesuatu di map, dan ada Heru yang berdiri di sisinya. Dua pria itu sontak menoleh.
Hening beberapa detik.
Heru yang bangun dari keterkejutan langsung menunduk, cepat-cepat memalingkan wajahnya. Saat itulah Dinda baru sadar, betapa tidak pantasnya baju yang ia pakai.
"Heru, keluar." Kata Rendra tegas. Rahangnya mengencang, matanya tidak berpaling dari Dinda.
Heru buru-buru melangkah keluar tanpa suara.
"Kamu ngapain?" Tanya Rendra, suaranya lebih tinggi dari biasa. Matanya naik turun menatap tubuh Dinda yang nyaris tidak tertutup apa-apa.
"Aku.. mau ngomongin soal Rico." Dinda berdiri kaku, satu tangan memegangi ujung gaun tidurnya.
"Kenapa?" Tanya Rendra, masih dengan nada kesal.
"Aku nggak mau dia nungguin aku di depan kelas." Jawab Dinda, "Dia terlalu mencolok, Mas. Aku bukan selebriti yang harus dijaga body guard. Karena dia aku jadi bahan gosip satu jurusan."
Rendra menghela napas pelan, "Itu hal paling minimal yang bisa aku kasih ke kamu. Harusnya kita dijaga sekelompok Paspampres."
Dinda menatap tak percaya. Paspampres katanya? Dia pasti bercanda.
"Seenggaknya jangan sampai di depan kelas. Tunggu aja di mobil." Desaknya lebih pelan.
Rendra mengulurkan tangannya, "Sini."
Dinda sempat ragu, tapi akhirnya melangkah maju.
Rendra menarik tubuh Dinda dan mendudukannya di pangkuan, satu tangan melingkari pinggangnya.
"Mungkin kamu merasa ini berlebihan, tapi ada alasan kenapa aku lakuin ini. Dia di sana supaya kamu aman." Katanya lembut, nyaris seperti bisikan.
"Kamu mungkin belum beradaptasi dengan posisi kamu sekarang, tapi kita nggak bisa kurangi ini. Coba untuk terbiasa." Tapi dari sorot matanya, ia jelas tidak membuka ruang kompromi.
Dinda menghela napas pelan.
Apakah selalu dia yang harus terbiasa?
Rendra memandangi wajahnya sejenak, lalu turun ke gaun tipis yang nyaris tembus cahaya. Suaranya merendah dan nadanya agak dingin, "Dan kamu nggak pantes pakai baju begini waktu ada laki-laki lain."
Dinda menggigit bibir bawahnya, rasa malu dan kesal bercampur jadi satu. Malu karena Heru melihatnya dalam keadaan tidak pantas. Dan kesal karena lagi-lagi Rendra berhasil membungkamnya.
...***...
Bola golf meluncur menembus udara, kemudian jatuh dengan mulus di kejauhan. Suara 'swing' terdengar ritmis, bercampur dengan tawa ringan yang sesekali pecah di antara percakapan.
Darren merapikan sarung tangannya, lalu menoleh pada Rendra. Wajah Tionghoa-nya tampak perhitungan, seolah selalu menyimpan rencana di balik setiap ucapan.
"So, about the merger, Ren... kalau kita bisa secure distribution di Singapore, valuasi brand lo bisa naik, at least twenty percent."
Rendra mengayunkan stik dengan tenang, matanya mengikuti arah bola yang jatuh sempurna, "That's the plan. Tapi gue nggak mau terlalu agresif. I prefer steady growth, not a bubble."
Victor -pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih namun tubuh masih tegap bak atlet- terkekeh, menepuk bahu Rendra sambil mengangguk puas, "Classic. But hey, it works! Results speak for themselves."
Mereka berjalan menyusuri fairway, stik golf tersampir di tangan, obrolan strategi perlahan memudar. Darren tiba-tiba menyeringai kecil, seolah baru teringat sesuatu yang lebih menggoda dari angka-angka bisnis.
"By the way... Cassandra's been asking about you." Kata Darren pada Rendra.
Langkah Rendra melambat. Ia menoleh dengan ekspresi datar, "Cassandra?"
Darren tertawa pendek, menegakkan badan sambil memutar stik golf di tangannya, "Yeah. Dia bilang... last time you were too cold. Dia masih penasaran."
Rendra hanya mendengus pelan. Tangannya mencengkeram stik lebih erat.
Victor langsung menimpali, nadanya penuh godaan, "Why though? She's hot as hell! Dan dia jago banget di ranjang!"
Rendra menahan komentar, ia hanya melempar pandang sekilas pada Darren.
"Dia mau ketemu lo lagi. Kali ini... bukan urusan bayaran katanya." Senyuman Darren semakin melebar.
Victor bersiul. "Wah, that's rare! Cassandra nggak pernah nawarin personal meeting."
Rendra tersenyum samar. Ia mengangkat tangan, memperlihatkan cincin di jari manisnya, "I've got a wife."
Hening sebentar.
Lalu Victor meledak dalam tawa. "Man... we've ALL got wives!" Ia menepuk pundak Rendra keras. "Still, I respect your choice."
Darren ikut tertawa, tapi lebih terkontrol. Ia menggeleng sambil tersenyum, "Your loss. Tapi kalau lo berubah pikiran, bilang aja. I can set it up anytime."
"Thanks. But I'll pass."
Pembahasan mereka beralih ke masalah aset dan strategi jangka panjang. Seolah obrolan soal Cassandra hanya lelucon kecil di antara kesepakatan bernilai jutaan dollar. Boys being boys. Locker room talk. Nothing serious. Tapi dalam hati Rendra tau, percakapan itu menyinggung sisi rentan dalam dirinya.
Well, ini sudah ketiga kalinya godaan datang setelah ia menikah. Dua hari setelah kepulangannya ke Jakarta Alexa -his ex fling- menawarinya brunch date di Hotel Mulia, dan ia tau itu bukan sekadar ajakan 'polos'. Minggu lalu Valerie Chen -Marketing Vice President Nixon- tiba-tiba menggodanya untuk one night stand. Meski sudah menikah, godaan seperti itu bukan barang asing bagi pria di kalangannya.
Dan tawaran Cassandra kali ini juga bukan sekadar bayangan, ia bisa mengambilnya kapan saja kalau ia mau. Bermalam dengan wanita itu juga bukan deal mudah. Butuh ratusan juta. Jadwal. Antrian panjang berbulan-bulan.
Namun kenapa saat wanita-wanita itu datang ia selalu terbayang wajah kecewa Dinda? Ada suara hatinya yang entah dari mana tegas berkata 'JANGAN'. Bukan karena takut ketahuan, bukan juga demi citra yang ia pertahankan. Melainkan karena di lubuk hatinya, ia tidak ingin mengkhianati gadis itu.
Mungkin karena Dinda terlalu murni, terlalu polos, terlalu muda dan belum tahu jahatnya dunia. Sehingga mengkhianatinya akan terasa seperti menendang anak kucing yang sedang tidur.
Atau mungkin ada alasan lain? Alasan yang mungkin bisa membuatnya mempertanyakan seluruh pemahamannya selama ini mengenai hubungan. Ia juga tidak tau.
Yang jelas, cincin di jarinya terasa lebih berat sore itu.
...***...