NovelToon NovelToon
RAHIM TERPILIH

RAHIM TERPILIH

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Dosen / Identitas Tersembunyi / Poligami / Romansa / Konflik etika
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.

"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.

Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.

Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.

Aditya.

Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SEBUAH KEPEDULIAN SEDERHANA

Sesuai perkataannya kemarin, begitu mata kuliah terakhirnya selesai, Adit tidak beranjak menuju kantornya seperti rutinitas biasanya. Begitu dosen menutup kelas dan mahasiswa lain mulai berkemas, Adit hanya memasukkan beberapa buku ke dalam tas tanpa terburu-buru—seolah pikirannya sudah berada jauh di tempat lain sejak pagi.

Di lorong fakultas yang mulai lengang, langkahnya mantap namun terlihat mengandung beban. Ia mengecek jam di pergelangan tangan, memastikan waktu masih cukup. Hari ini ia memang sudah meniatkan sesuatu, tidak ada rapat kantor, tidak ada kembali ke meja kerja. Semua itu ia singkirkan demi satu tujuan.

Hari ini ia akan menemui dekan Asha.

Tekad itu menguat setiap kali ia mengingat ucapannya kemarin,

Aku nggak mau kamu stres mikirin pekerjaan kamu. Aku nggak mau kamu merasa bersalah karena harus istirahat. Biar aku jelasin ke pihak kampus soal kondisi kamu. Mereka pasti ngerti.

Adit membelok ke arah gedung pusat fakultas, tempat ruangan dekan berada. Koridor yang ia lewati terasa berbeda dari biasanya—lebih sunyi, lebih formal, dan entah bagaimana membuat langkahnya semakin berat. Dinding-dindingnya dipenuhi papan pengumuman akademik dan foto-foto prestasi fakultas, namun Adit nyaris tak memperhatikan apa pun. Fokusnya hanya satu, ruangan di ujung lorong lantai empat.

Tangannya meremas tali tasnya lebih erat saat menaiki anak tangga. Setiap pijakan seakan menggema, menandakan langkah menuju sesuatu yang tidak bisa ia tarik kembali. Setibanya di lantai empat, suasana makin sepi. Hanya terdengar suara printer dari jauh dan percakapan lirih dua staf administrasi.

Semakin dekat ia dengan pintu itu, ia akhirnya berdiri tepat di depan pintu kayu berat yang bertuliskan DEKAN FAKULTAS. Pintu diketuknya perlahan—hanya tiga ketukan ringan, namun cukup untuk terdengar jelas di ruangan yang sunyi itu.

“Silakan masuk.”

Adit memutar kenop pintu dan mendorongnya ke dalam.

"Pak Adit," Sapa seorang pria paruh baya sambil beranjak dari sofa, langkahnya mantap dan senyumnya ramah. Pak Yanto—Dekan yang dikenal bijak dan humoris, menghampiri Adit dengan tangan terulur.

Adit buru-buru menyambutnya. “Bapak, jangan menyebut saya dengan sebutan pak. Bagaimanapun saya ini juga masih mahasiswa di kampus ini.”

Pak Yanto tertawa lebar, tawa yang selalu membuat suasana tegang mencair seketika. “Mahasiswa semester akhir, hampir lulus, sudah jadi manajer perusahaan, beristri dosen pula.” Ia menunjuk Adit sambil geleng-geleng kecil. “Pintar, mapan… ya pantas dong saya sebut Bapak. Setara lah sama posisi saya.”

Adit ikut tersenyum tipis. “Bapak bisa saja.”

“Ayo duduk,” Ajak Pak Yanto sambil kembali mempersilakan. “Silakan, ada apa?”

Adit duduk perlahan, membetulkan posisi tasnya, lalu menatap dekan itu dengan serius. “Istri saya hamil, Pak.”

“Wah!” seru Pak Yanto spontan, wajahnya benar-benar bersinar. “Alhamdulillah! Kalau begitu semakin pantas saya manggil kamu Bapak.” Ia tertawa lagi, kali ini lebih hangat. “Selamat ya, Dit.”

Adit menunduk sopan, namun kecemasan jelas masih tersisa di sorot matanya. “Gimana Bapak saja… saya ke sini mau minta bantuan,” Ucapnya pelan namun tegas. “Tolong Pak untuk memperpanjang cuti Bu Asha. Apa bisa, Pak?”

Tawa Pak Yanto mereda. Ia menatap Adit lebih serius, duduk sedikit condong ke depan.

“Perpanjang cuti?” Ulangnya, memastikan.

Adit mengangguk. “Iya, Pak. Kondisi Asha… masih rawan. Dokter menyarankan untuk istirahat total dulu. Saya takut dia memaksakan diri kalau kembali mengajar cepat-cepat.”

Pak Yanto mengusap dagunya sambil menghela napas pendek, lalu mengangguk pelan. “Saya mengerti, Dit. Sangat mengerti.”

Ia bersandar, wajahnya menunjukkan empati seorang ayah. “Kesehatan ibu hamil itu prioritas. Apalagi kalau kehamilannya butuh perhatian ekstra.”

Adit tampak sedikit lega, meski tetap tegang.

“Begini,” Lanjut Pak Yanto, “Asal ada surat dokter atau rekomendasi medis, fakultas bisa memperpanjang cuti Asha. Itu haknya. Tidak masalah.”

Benar-benar seperti beban besar terlepas dari bahu Adit. “Terima kasih, Pak… saya benar-benar menghargai bantuan ini.”

Pak Yanto tersenyum hangat. “Sudahlah. Untuk urusan keluarga, apalagi kehamilan pertama, kita semua pasti mendukung. Sampaikan salam saya untuk Asha. Bilang padanya agar fokus menjaga kandungan. Urusan kampus? Biar saya yang urus, atau nanti saya akan berniat meminta rekan lain untuk sementara mengisi kelasnya Bu Asha.”

Adit mengangguk—penuh syukur dan lega. "Terima kasih, Pak."

****

Sayang, aku udah ijin sama Pak Yanto untuk memperpanjang cuti hamil kamu. Alhamdulillah, di ACC.

Begitu sebuah pesan dibaca Asha, hatinya langsung mencair. Ketegangan yang sejak tadi menekan Dadanya perlahan luruh, digantikan kelegaan hangat yang menjalar sampai ke ujung jemarinya.

Asha mengembuskan napas panjang, hampir seperti baru saja terhindar dari sesuatu yang tidak sanggup ia hadapi sendiri.

Rasa syukurnya mengalir begitu kuat hingga matanya berkaca-kaca. Ia sangat berterima kasih pada Adit. Pada kesungguhannya. Pada perhatiannya. Pada keberanian diam-diam yang selalu ia tunjukkan tanpa diminta.

Kemudian, ia menyentuh ikon panggilan di layar ponselnya—ibu jarinya sempat bergetar kecil sebelum akhirnya menekan tombol itu. Nada sambung langsung terdengar, memenuhi ruang sunyi tempat ia duduk.

"Halo, sayang?"

"Mas, kamu serius udah bilang ke Pak Yanto tadi?"

"Serius, sayang. Aku lupa lagi tadi… nggak minta izin ke Pak Yanto buat aku minta videoin keterangan kalau beliau ACC, biar kamu percaya," Celetuk Adit dari sebrang sana, terdengar begitu sok serius tapi niatnya jelas menggoda.

Asha langsung terkekeh kecil, suara tawanya terdengar lega dan hangat. “Mas… nggak gitu juga,” Ucapnya, sedikit memanjangkan nada seolah menahan senyum yang tak bisa disembunyikan.

Adit di seberang ikut tertawa pendek, suara napasnya terdengar lebih ringan, seakan mendengar tawa Asha saja sudah cukup membuat seluruh penatnya hilang.

"Tapi aku lega lho, Mas. Kamu udah berani bilang sama Pak Yanto, dosen super killer yang paling banyak di takutin semua mahasiswa."

"Hmmm-mmm… awalnya sih aku tegang, tapi kamu tahu nggak? Pak Yanto tadi nyambut aku kayak orang penting banget. Dia bahkan manggil aku Bapak. Waw… betapa berharganya aku di mata dia.”

Asha langsung mendengus tertawa. “Oh, jadi Mas mau sombong, nih?”

“Enggak. Aku cuma pengen bangga aja,”

Asha tertawa kecil “Sama aja kali, Mas…” Ia menghela napas lega yang terselip senyum. “Makasih ya, sayang. Love you. Aku jadi bisa jaga kandungan kita baik-baik tanpa keganggu urusan kerja.”

“Cuma bilang makasih sama I love you doang?”

Asha terkekeh kecil. “Oke, oke… sebagai ucapan terima kasih, malam ini aku bakal masak makan malam spesial buat kamu, Mas. Gimana?”

“Nah, gitu dong. Aku jadi nggak sabar buat pulang.”

“Kamu fokus kerja dulu di kantor. Nanti juga nggak kerasa waktunya.”

“Yang ada, di kantor aku malah mikirin kamu,”

“Gombal!” Asha menahan tawa.

“Yaudah, aku tutup dulu ya. Aku mau lanjut ke kantor.”

“Hati-hati ya, Mas…”

“Kalau ada apa-apa kabari aku. Kamu jaga diri di rumah, ya.”

“Iya, Mas.”

“Love you.”

“Love you too.”

Tuuuut.

Sambungan telepon terputus. Senyum Asha masih bertahan lama di wajahnya. Ia meletakkan ponsel di atas nakas, lalu melangkah meninggalkan kamar menuju dapur.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!