Setelah meninggal karena tenggelam saat menolong anak kecil, Nadra Elianora, gadis modern yang ceria dan blak-blakan, terbangun di dunia kuno dalam tubuh Li Yuanxin seorang gadis malang yang dibuang oleh tunangannya karena sang pria berselingkuh dengan adik tirinya.
Tersesat di hutan, Nadra membangun gubuk, hidup mandiri, dan menggunakan ilmu pengobatan yang ia kuasai. Saat menolong seekor makhluk terluka, ia tak tahu bahwa itu adalah Qiu Long, naga putih ilahi. Dari pertemuan konyol dan penuh adu mulut itu, tumbuh hubungan ajaib yang berujung pada kontrak suci antara manusia dan hewan ilahi.
Tanpa disadari, kekuatan dalam diri Nadra mulai bangkit kekuatan milik Sang Dewi Semesta, makhluk tertinggi yang jiwanya dulu dipecah ke berbagai zaman untuk menjaga keseimbangan dunia.
Kini, dengan kepintaran, kelucuan, dan keberaniannya, tak hanya menuntut balas atas pengkhianatan masa lalu, tapi juga menapaki takdir luar biasa yang menunggu: menyelamatkan dunia dan mengembalikan cahaya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 — Api yang Tak Bisa Padam
Malam itu, ruang dimensi Li Yuanxin diterangi oleh cahaya biru dari kolam roh. Uap hangat mengepul lembut, memantulkan wajahnya yang tenang tapi berbahaya. Di bahunya, Feng Yan sang Phoenix api kecil sedang sibuk mengacak-acak rambutnya.
“Dia tampan,” kata Feng Yan santai sambil mengepakkan sayap mungilnya. “Tapi berbahaya. Aku suka yang berbahaya.”
Yuanxin mendengus geli. “Kau suka semua makhluk tampan, bahkan ular berbisa pun kalau matanya indah.”
Feng Yan mengangkat kepalanya dengan sombong. “Aku Phoenix, tentu aku punya selera tinggi. Tapi jujur saja, manusia itu... auranya lain. Dia membawa sesuatu yang tidak semestinya dimiliki manusia biasa.”
Qiu Long muncul dari kolam roh, tubuh naganya berkilau di bawah cahaya biru. “Itu karena dia menyimpan pecahan roh kuno di dalam dirinya. Aura itu... mengingatkanku pada masa perang para dewa.”
Yuanxin memutar tubuh, menatap mereka berdua. “Maksudmu… dia juga bagian dari takdir masa lalu?”
“Sangat mungkin,” jawab Qiu Long berat. “Aku bisa merasakan energi itu. Tenang, dingin, tapi dalam seperti samudra. Roh seperti itu hanya milik satu orang… Pengawal Agung dari Sang Dewi Semesta.”
Yuanxin terdiam. Sebuah ingatan samar melintas bayangan seseorang yang berdiri di depan cahaya ribuan bintang, melindunginya dari panah iblis. Ia tidak bisa melihat wajahnya, hanya mata perak yang menatapnya sebelum semuanya gelap.
Feng Yan melayang mendekat. “Kau gemetar.”
“Aku hanya kedinginan,” jawab Yuanxin, tapi tangannya menggenggam erat gelang naga di pergelangan. “Kalau benar dia Pengawal itu... berarti takdir mulai berputar lebih cepat dari yang kuduga.”
“Lalu apa rencanamu?” tanya Feng Yan, suara kecilnya tiba-tiba serius.
“Rencanaku?” Yuanxin menatap ke kolam roh, senyumnya muncul samar. “Balas dendam tak pernah berubah. Tapi sekarang… aku harus menambah satu tujuan baru.”
“Yaitu?” tanya Feng Yan Phoenix dan Qiu Long
“Mengungkap siapa sebenarnya Feng Liansheng... dan kenapa dia bisa hidup di dunia manusia.”
Ia bangkit berdiri, lalu dengan gerakan ringan tangannya memunculkan bola api biru. Api itu berputar di udara, kemudian berubah menjadi peta kota Feng.
“Besok,” katanya pelan, “aku akan membuka tempat baru untuk klinik tabib di pusat kota. Di sanalah semuanya dimulai.”
----
Keesokan paginya, kabut tipis menyelimuti kota Feng. Di jalan utama, orang-orang melihat papan kayu baru dipasang di depan bangunan sederhana.
[Rumah Tabib Lotus Emas Semua Penyakit, Semua Luka, Semua Dendam Bisa Disembuhkan]
Tulisan terakhir itu membuat orang tertawa, tapi juga penasaran. Nama “Tabib Yu Xin” sudah beredar luas sejak insiden Meiyun, dan sekarang semua mata tertuju padanya.
Di dalam, Yuanxin sedang menata botol-botol ramuan dengan Ren dan Ruan. Feng Yan duduk di atas rak, menyamar jadi burung hias merah.
“Kalau ada yang coba-coba bikin onar, aku bakar tokonya!” ancamnya.
Ren terkekeh. “Burung sekecil itu mau bakar siapa?”
“Burung sekecil ini Phoenix, bocah!” Feng Yan mengipasi sayapnya. “Satu bersin dariku, toko sebelah bisa jadi arang.”
Ruan menatap Yuanxin. “Nona, anda yakin membuka klinik baru di sini, apa tidak berbahaya? Banyak bangsawan yang tidak suka pada Anda.”
Yuanxin tersenyum, wajahnya lembut namun mata keemasannya berkilat tajam. “Kalau mereka ingin datang mencari masalah, berarti mereka datang tepat ke tempat yang salah.”
Belum sempat mereka menata semuanya, seorang wanita bergaun merah tua masuk dengan angkuh. Pelayan di belakangnya menunduk-nunduk.
“Nona Yu Xin,” suaranya nyaring. “Atas perintah pangeran Feng Zihan, kau harus menutup tempat ini!”
Semua orang di toko membeku. Ren dan Ruan menatap Yuanxin, menunggu perintah.
Namun gadis itu hanya tersenyum manis. “Pangeran Feng? Ah, aku lupa mengucapkan terima kasih padanya. Berkat dia, tokoku akan semakin ramai.”
Wanita itu memerah. “Jangan main-main! Kau berani melawan keluarga kerajaan?”
Yuanxin mengambil secangkir teh, menyesapnya perlahan. “Katakan pada Zihan… aku sedang menunggu dia datang sendiri. Jangan kirimkan anjingnya untuk menggonggong di depan pintuku.”
Wajah wanita itu memucat, tapi sebelum sempat bicara, udara di dalam ruangan tiba-tiba berubah panas.
Feng Yan mengepakkan sayap mungilnya, bola api kecil muncul di ujung bulu. “Aku muak dengan manusia berisik.”
Sekali sentil, percikan api terbang melewati meja dan “boom!” ujung gaun merah itu langsung terbakar.
Jeritan memenuhi ruangan. Wanita itu berlari keluar sambil berteriak, membuat warga sekitar panik. Namun Yuanxin hanya berdiri tenang, menatap api kecil itu padam sendiri.
“Feng Yan,” katanya datar. “Kau terlalu lembut kali ini.”
Burung itu menyeringai bangga. “Aku belajar dari majikanku yang lembut.”
Sore hari, kabar kejadian itu sampai ke istana Feng.
Feng Zihan melempar cangkir teh hingga pecah. “Tabib sialan itu berani mempermalukanku lagi?!”
Pelayan gemetar. “T-tapi, Tuan Muda… kabar beredar, orang-orang mulai berpihak padanya. Mereka bilang Tabib Yu Xin menolong banyak rakyat miskin tanpa bayaran.”
“Menolong?” Zihan tertawa dingin. “Aku akan lihat sampai kapan dia bisa bertahan!”
Ia berbalik, matanya gelap. “Siapkan orang-orang bayaran. Besok malam, bakar tokonya.”
Namun di luar pintu, seorang pelayan lain berlari masuk. “Yang Mulia Putra Mahkota ingin bertemu, Tuan Muda!”
Wajah Zihan menegang. “Gege?”
Tak lama kemudian, Feng Liansheng memasuki ruangan. Tatapannya dingin. “Aku dengar kau berniat menyerang tabib itu.”
Zihan tersenyum kaku. “Hanya gosip, Gege.”
“Jangan berbohong padaku.” Suara Liansheng menurun, tapi lebih tajam dari pedang. “Aku sudah menugaskan orang mengawasi pergerakanmu. Kau pikir aku akan diam saat kau mengacaukan nama keluarga?”
Zihan menelan ludah. “Tapi gege! Dia mempermalukan Meiyun! Dia—”
“Dia hanya membalas keadilan yang kau rampas darinya,” potong Liansheng. “Kau pikir aku tidak tahu hubunganmu dengan gadis itu? Meiyun adalah tunangan orang lain sebelum kau merebutnya.”
Zihan pucat. “G-gege…”
Putra Mahkota mendekat satu langkah, suaranya pelan tapi mengancam. “Jika kau berani menyentuh tabib itu, aku sendiri yang akan membakar rumahmu.”
Zihan terdiam, tubuhnya gemetar. Liansheng berbalik dan meninggalkannya tanpa menoleh lagi, meninggalkan hawa dingin yang membuat semua pelayan tak berani bergerak.
Malam tiba.
Di ruang dimensinya, Yuanxin sedang duduk bersila di atas batu giok. Bola cahaya keemasan melayang di depan dadanya inti spiritual yang baru saja ia bentuk.
Feng Yan berputar di sekelilingnya, matanya berkilat. “Kau naik tingkat lagi!”
“Ya,” jawab Yuanxin pelan. “Setiap kali aku menyalakan api keberanian, kekuatanku tumbuh. Dunia ini mulai membuka pintunya sedikit demi sedikit.”
Tiba-tiba kolam roh beriak kuat. Qiu Long muncul, wajahnya serius. “Ada sesuatu di luar sana. Aura kegelapan… bergerak mendekat dari arah kota.”
Yuanxin membuka matanya. “Zihan?”
“Tidak. Lebih tua. Lebih kuat.”
Yuanxin berdiri. Dengan jubah putihnya yang berkilau di bawah cahaya kolam, ia tampak seperti dewi perang yang baru terbangun.
“Kalau begitu, mari kita sambut tamu malam ini,” katanya dingin.
Dalam sekejap, ia menghilang dari ruang dimensi, muncul di atap kliniknya di dunia manusia. Langit malam berawan, dan hawa busuk memenuhi udara.
Dari arah gang, muncul lima sosok berjubah hitam, wajah tertutup, membawa pedang bersimbah energi hitam.
Feng Yan melayang ke pundaknya. “Bukan orang biasa. Mereka dari sekte pemburu roh.”
“Menarik,” gumam Yuanxin. “Zihan mungkin bukan otak di balik ini.”
Ia menutup mata. Begitu membuka kembali, iris matanya berubah menjadi emas menyala. Angin berputar di sekeliling tubuhnya, dan gelang naga di tangannya berkilat.
“Qiu Long,” bisiknya.
Dari udara, cahaya putih meledak naga raksasa muncul, mengitari atap, mengeluarkan raungan yang mengguncang langit. Para pemburu hitam mundur panik, tapi Yuanxin hanya mengangkat satu tangan.
“Lidah api Phoenix.”
Satu sapuan jari, langit malam terbakar merah. Api Phoenix menyapu jalan, menelan para penyerang dalam cahaya keemasan. Namun api itu tak membakar tubuh, hanya membakar roh jahat di dalam diri mereka. Dalam sekejap, semuanya jatuh pingsan.
Yuanxin menatap hasilnya dengan tenang. “Katakan pada majikanmu,” ucapnya pada bayangan terakhir yang masih sadar, “Li Yuanxin tidak bisa dibakar, karena aku adalah apinya.”
Begitu kata-kata itu selesai, ia menghilang dalam cahaya putih, kembali ke ruang dimensinya.
Feng Liansheng berdiri di balkon istana, memandangi langit yang berkobar merah keemasan di kejauhan. Pelayannya datang tergesa.
“Yang Mulia, kota Feng barat terbakar!”
Liansheng menatap langit yang memantulkan cahaya api. Bibirnya membentuk senyum tipis. “Bukan api biasa,” katanya pelan. “Itu api Phoenix.”
Ia menatap ke arah itu lama, lalu berbisik, “Li Yuanxin… siapa sebenarnya kau?”
Di ruang dimensinya, Yuanxin membuka matanya perlahan. Feng Yan tertidur di pangkuannya, sementara Qiu Long melingkar di kolam dengan tenang.
Ia menatap tangan kanannya yang masih berkilat samar, lalu tersenyum kecil. “Dunia mulai bereaksi. Kekuatan lama mulai bangkit.”
Ia menutup mata, bersandar pelan pada batu giok.
“Baiklah… kalau ini peperangan yang takdir inginkan,” bisiknya. “Maka aku akan menyalakan apinya sampai semua yang berkhianat terbakar.”
Dan di luar sana, angin malam membawa gema lembut, bisikan dari masa lalu yang berkata:
“Sang Dewi telah bangkit.”
Bersambung
saatnya sekarang tinggal menunggu balasan yang setimpal.
sultan itu bebas melakukan apapun bukan /Facepalm/