Follow IG othor @ersa_eysresa
Anasera Naraya dan Enzie Radeva, adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun tepat di hari pernikahan, sebuah tragedi terjadi. Pesta pernikahan yang meriah berubah menjadi acara pemakaman. Tapi meskipun begitu, pernikahan antara Ana dan Enzie tetap di laksanakan.
Namun, kebahagiaan pernikahan yang diimpikan oleh Ana tidak pernah terjadi. Karena bukan kebahagiaan yang dia dapatkan, tapi neraka rumah tangga yang ia terima. Cinta Enzie kepada Ana berubah menjadi benci di waktu sama.
Sebenarnya apa yang terjadi di hari pernikahan mereka?
Apakah Ana akan tetap bertahan dengan pernikahannya atau menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Provokasi
Enzi meninggalkan rumah Radeva dengan perasaan puas, percaya bahwa keputusannya membawa Amel pulang telah memberikan 'pelajaran' untuk Ana, agar dia tidak bersikap dingin lagi kepadanya, karena dia bisa berbuat apapun agar Ana tidak bersikap seenaknya pada dirinya, dan patuh. Hanya itu yang diinginkan Enzi.
Di dapur, Bi Darmi sedang menyiapkan nampan berisi bubur dan teh hangat untuk dibawa ke kamar Ana. Dia bergerak hati-hati, berusaha tidak membuat suara yang menarik perhatian.
"Bi Darmi," suara manja Amel terdengar dari belakang.
Amel, yang baru turun setelah berpakaian lengkap dengan pakaian yang ia bawa semalam, mendekati dapur. Matanya tajam dan penuh rasa ingin tahu saat melihat nampan itu.
"Ini untuk Ana?" tanya Amel, mengambil alih nampan itu tanpa meminta izin.
Bi Darmi tersentak. "Maaf, Non Amel. Biar saya saja yang antar. Mbak Ana sedang—"
"Tidak perlu," potong Amel, senyumnya dingin. "Aku yang akan mengantarnya. Aku ingin berbicara sedikit dengan nyonya rumah ini. Aku pastikan semua aman, Bi. Kau kembali saja ke dapur."
Bi Darmi ragu, ia tahu betul betapa terpuruknya Ana saat ini. Namun, dengan status Amel sebagai tamu spesial Enzi, dan sikapnya yang kini seolah menjadi penguasa rumah ini, Bi Darmi tidak berani melawan. Dia hanya bisa mengangguk pasrah.
Amel membawa nampan itu ke lantai dua, berjalan dengan langkah santai menuju kamar utama. Dia mengetuk pintu.
"Bi Darmi, itu kau?" sahut Ana dari dalam, mengira itu Bi Darmi.
"Ini bukan Bi Darmi, Sayang," balas Amel, nadanya manis dan mengejek.
Wajah dingin segera menyelimuti Ana. Ia membuka pintu, siap untuk menolak, namun Amel sudah mendorong pintu itu, masuk ke dalam dan meletakkan nampan makanan itu di atas meja.
"Pergi dari sini, Amel. Aku tidak punya urusan denganmu, " desis Ana, menatap wanita itu dengan sorot mata penuh kebencian.
Amel mengabaikannya, tangannya menyentuh seprai yang sudah diganti—tapi bau parfumnya terasa menusuk. Dia memandang berkeliling, memindai seluruh isi kamar.
"Tentu aku punya urusan," ujar Amel, berbalik menghadap Ana. "Aku datang untuk membantumu menerima kenyataan. Kau tahu, Enzi masih mencintaiku. Dia membawaku ke sini karena dia tidak bisa melupakan aku. Dan kau... kau sudah gagal menjadi istri yang baik."
Amel melipat tangannya di dada. Matanya berkilat puas melihat kemarahan di wajah Ana.
"Aku sangat murah hati," lanjut Amel. "Aku siap menggantikan posisimu sebagai Nyonya Radeva. Atau, jika kau keras kepala dan tetap ingin bersama Enzi, aku tak keberatan menjadi istri kedua, kau hanya perlu mengurus surat-suratnya. Enzi pantas bahagia, dan aku yakin yang dia cintai adalah aku, bukan kau."
Provokasi itu adalah pisau yang menusuk berulang kali di luka Ana. Bukan hanya pengkhianatan, tetapi juga penghinaan terhadap harga dirinya.
"Cukup!" bentak Ana, suaranya menggelegar, melepaskan semua kemarahan yang tertahan sejak semalam. "Tutup mulut kotormu, Amel! Kau pikir pernikahan ini hanya tentang siapa yang tidur di ranjang itu? Kau datang ke sini, kau menodai rumah tanggaku, dan sekarang kau berani menawarkan diri sebagai istri kedua? Kau pikir Enzi akan bahagia dengan wanita yang datang dengan membawa skandal dan racun di tangannya?"
Ana melangkah maju, sorot matanya tajam dan berbahaya. "Aku mungkin gagal menjadi istri yang dia inginkan, tapi aku tidak pernah menodai kehormatan pernikahan ini. Dan kau, kau tidak punya kehormatan itu! Kau hanya sampah sisa masa lalu yang kembali untuk menghancurkan sebuah rumah tangga, bukan membangun!"
Amel terkejut dengan reaksi Ana yang tidak terduga. Ana tidak menangis ataupun sedih tapi dia malah menyerangnya.
Tanpa menunggu balasan Amel, Ana meraih lengan Amel dan menyeretnya ke pintu. Amel yang kaget tidak sempat melawan.
"Keluar dari kamarku!" teriak Ana. "Dan jangan pernah berani menampakkan wajahmu lagi di hadapanku!"
Ana mendorong Amel keluar dari kamar, membanting pintu dengan keras, dan memutar kunci.
Amel yang kehilangan keseimbangan jatuh di koridor, mengumpat pelan. Dia bangkit dengan wajah merah padam, malu,kesal dan marah campur aduk jadi satu. Dia tidak menyangka Ana akan seberani itu melawannya.
Di dalam kamar, Ana bersandar di pintu, dadanya naik turun menahan amarah dan detak jantung yang menggila. Amel telah menyelesaikan pekerjaannya—menghilangkan keraguan terakhir Ana. Dia harus melakukan sesuatu secepatnya.
Ana segera menuju lemari, mengambil sesuatu. Dia harus bergerak cepat karena tidak ingin menunda pekerjaannya.
Lima belas menit kemudian, Ana keluar dari kamar, berjalan dengan langkah tegas menuruni tangga. Bi Darmi yang melihatnya tampak panik.
"Mbak Ana mau ke mana? Tuan Enzi tidak mengizinkan—"
"Aku ada urusan penting, Bi," potong Ana tanpa berhenti.
Di teras depan, dua penjaga yang ditugaskan Enzi untuk menjaga Ana segera bergerak menghadang. Salah satunya, Pak Joni, berdiri tegak di depan pintu gerbang utama.
"Maaf, Bu Ana. Pak Enzi berpesan agar Ibu tidak diizinkan keluar rumah tanpa seizin beliau," kata Pak Joni, nadanya dipenuhi rasa bersalah.
Ana berhenti, tangannya mencengkeram kunci mobilnya SUV yang kokoh, bukan mobil sedan mewah. Dia menatap Pak Joni dengan tatapan paling dingin yang pernah dia berikan.
"Minggir, Pak," kata Ana, suaranya rendah dan mengancam. "Ini adalah penahanan ilegal. Aku bukan tahanan. Aku adalah istri sah dari Tuan Radeva, dan aku tidak punya kewajiban untuk meminta izin darinya untuk keluar rumah."
"Tapi... ini perintah, Bu."
Ana tidak membuang waktu lagi. Dia masuk ke mobil, menghidupkan mesin dengan bunyi kasar, dan mengunci pintu. Dia memundurkan mobilnya sedikit, lalu mengarahkannya lurus ke gerbang.
Dia menurunkan kaca jendela pengemudi, menatap Pak Joni yang panik.
"Kau punya waktu lima detik untuk membuka gerbang ini. Jika tidak, aku akan menabraknya. Aku tidak peduli dengan kerusakannya. Dan kau tahu, aku sudah tidak punya apa-apa lagi untuk ditakutkan."
Ana menginjak pedal gas, mesin mobil menderu marah. Pak Joni melihat tekad di mata Ana. Wanita ini telah mencapai batasnya; dia benar-benar akan menabrak gerbang itu. Pikirannya melayang pada gaji dan keluarganya.
"Buka gerbangnya! Cepat!" teriak Pak Joni kepada penjaga di gerbang.
Dengan bunyi berderit, gerbang besi itu terbuka. Ana tidak menunggu sampai gerbang terbuka sempurna. Dia menginjak gas menerobos pagar, membelah jalanan dengan cepat. Dia tidak melihat ke belakang, tidak mempedulikan rumah mewah yang telah menjadi sangkar pengkhianatan dan kekerasan baginya.
Tujuannya hanya satu. Kantor pengacara. Dia akan mengakhiri semua ini sekarang.
"Aku harus bergerak cepat dan mendapatkan tanda tangan perceraian dari Enzi. Setelah itu, aku akan bebas pergi tanpa bayang-bayang ikatan pernikahan dengan pria itu. " gumam dengab pandangan fokus ke depan.
Sedangkan dirumah, Pak Joni segera menghubungi Enzi dan mengatakan apa yang terjadi.
"Jadi dia keluar dari rumah tanpa izin? dan menerobos pagar? " tanya Enzi dalam panggilannya.
"Iya, Pak. Kami tidak menyangka nyonya Ana berubah semengerikan itu. . " kata pak Joni.
"Sudahlah, biarkan saja. Aku ingin tau apa yang akan dia lakukan. "
dia sudah memilih
be strong woman you can do it
marah atau pura pura ga tau