NovelToon NovelToon
Duda Dan Anak Pungutnya

Duda Dan Anak Pungutnya

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Diam-Diam Cinta / Cinta Terlarang / Crazy Rich/Konglomerat / Duda
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: ScarletWrittes

carol sebagai anak pungut yang di angkat oleh Anton memiliki perasaan yang aneh saat melihat papanya di kamar di malam hari Carol kaget dan tidak menyangka bila papanya melakukan hal itu apa yang Sheryl lakukan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13

“Lalu Bu, kalau Carol di kelas sifatnya seperti apa?”

“Anaknya baik, tidak terlalu banyak berbicara kepada teman-temannya. Carol juga selalu benar dalam mengerjakan tugas. Tidak pernah ada yang aneh-aneh sih, Bu, kalau Carol.”

“Lantas kenapa guru-guru lain tidak menyukai dirinya ya? Padahal sepertinya dia anak yang baik menurut saya, dan dia juga tidak aneh-aneh seperti yang Ibu Fitri katakan. Lantas kenapa guru-guru lain tidak menyukainya?”

Bu Fitri sering mendengar gosip-gosip panas tentang Carol, tetapi ia juga tidak tahu harus berbicara kepada kepala sekolah atau tidak.

“Saya tidak tahu, Bu. Sebenarnya saya boleh membicarakan hal ini atau tidak kepada Ibu Kepala Sekolah, karena ini menurut saya gosip-gosip yang aneh dan tidak tahu benar atau tidaknya.”

“Memangnya, apa gosip miring yang pernah Ibu dengar dari guru-guru lain tentang Carol?”

“Kata guru-guru lain, Carol adalah anak haram yang dimiliki oleh Pak Anton. Sehingga Pak Anton juga memiliki perasaan yang sama terhadap Carol.”

Kepala sekolah yang mendengar itu hanya diam dan tidak bisa berbicara apa-apa, seolah-olah menjadi kaku. Ia tidak menyangka kalau guru-guru di sekolah itu sangat jahat terhadap Carol. Padahal, masalah keluarganya tidak perlu diungkit-ungkit dan dibawa ke sekolah, karena tidak menguntungkan siapa pun.

“Lantas menurut Ibu Fitri, bagaimana dengan guru-guru lain? Apakah Ibu Fitri juga setuju dengan mereka?” tanya kepala sekolah.

“Kalau saya sendiri sih tidak percaya ya, Bu,” jawab Bu Fitri. “Saya merasa Carol adalah anak yang baik dan tidak seharusnya dijadikan anak jahat seperti itu. Lagi pula itu masalah keluarganya, bukan masalah Carol. Kalau pun Carol punya masalah, ya seenggaknya diberitahu yang baik-baik, jangan malah menjatuhkan dia. Takutnya nanti dia stres dan kena gangguan mental. Kita juga tidak bisa berbuat apa-apa, Bu, bahkan kita ini bukan keluarganya sendiri.”

Kepala sekolah mendengar perkataan Bu Fitri benar-benar tidak habis pikir. Ia kagum karena Bu Fitri selalu baik kepada semua orang, sementara orang-orang lain sering tidak baik kepadanya.

Apakah mungkin Bu Fitri melihat Carol seperti dirinya—seseorang yang selalu berbuat baik, tetapi tetap dianggap jahat oleh orang lain?

Kepala sekolah mulai berpikir untuk memantau guru-guru yang tidak adil terhadap sesama guru maupun murid. Ia merasa bahwa hal itu adalah tanggung jawabnya sebagai kepala sekolah yang ditunjuk oleh yayasan. Ia ingin tahu mana guru yang berpotensi dan mana yang tidak, agar bisa menindak tegas jika diperlukan.

Kejadian dengan Pak Beno membuat kepala sekolah sadar untuk lebih berhati-hati dalam menilai guru. Dulu, Pak Beno tidak punya catatan buruk, tapi ketika bersama Carol, ia malah melakukan tindakan yang tidak senonoh. Padahal, ia sendiri mengaku dijebak oleh Carol—sementara Carol justru ketakutan.

Kepala sekolah belajar bahwa kadang, kita tidak boleh mendengar dari satu sisi saja. Walau terdengar seperti buang-buang waktu, setidaknya mendengar dari dua sisi bisa membuatnya lebih mengerti perasaan guru dan murid.

“Baik, Bu Fitri. Kalau begitu, Ibu boleh kembali ke ruang guru. Terima kasih sudah mau membicarakan perkembangan anak-anak di sekolah, termasuk tentang Carol. Saya titip Carol kepada Ibu, karena menurut saya dia anak yang baik dan berpotensi. Saya juga tidak mau ada anak-anak lain yang dijahati oleh guru. Bahkan, kalau Ibu bisa menjadi mata-mata saya, itu lebih baik, Bu. Jadi saya bisa introspeksi dan tahu mana guru yang baik dan mana yang buruk—yang pantas dipertahankan atau dipecat.”

Bu Fitri merasa senang dipercaya oleh kepala sekolah. Ia tidak berniat mencari muka, tapi merasa itu adalah anugerah. Setelah itu, ia keluar dari ruangan kepala sekolah.

Namun, Bu Ana melihat Bu Fitri dengan tatapan tajam, seolah merasa bahwa Bu Fitri baru saja membicarakan dirinya di ruangan kepala sekolah.

Bu Fitri tetap bersikap netral dan tidak mau mencari masalah. Tujuannya mengajar hanyalah untuk membuat siswa senang dan belajar dengan baik. Ia hanya ingin mencari ketenangan, bukan permusuhan.

Namun, saat pulang sekolah, Bu Ana langsung melabrak Bu Fitri di gudang belakang sekolah.

Kebetulan, kepala sekolah yang sedang berkeliling melihat fasilitas sekolah yang kurang memadai, tidak sengaja melihat perdebatan mereka.

“Bu Fitri! Tadi kamu bicara apa sama Ibu Kepala Sekolah? Pasti kamu menjelekkan saya, kan?” bentak Bu Ana.

“Astaga, Ibu, tidak! Saya tidak pernah berpikir seperti itu kok. Kenapa Bu Ana bisa berpikir begitu sih? Saya saja tidak pernah menjelekkan siapa pun, apalagi Ibu,” jawab Bu Fitri gugup.

“Halah, nggak usah bohong! Pura-pura tidak tahu. Ibu kira saya nggak kenal bagaimana karakter Ibu? Karakter Ibu itu sudah saya pahami. Jadi nggak usah sok suci deh!”

Bu Fitri mendengar itu merasa sangat sedih. Padahal ia tidak pernah mengadu apa pun kepada kepala sekolah. Tapi Bu Ana menuduhnya dengan seenaknya.

Saat Bu Ana menampar Bu Fitri, ia hanya diam dan tidak membalas.

“Lihat aja ya, Bu! Sekali lagi saya lihat Ibu masuk ke ruangan Ibu Kepala Sekolah, awas aja!” ancam Bu Ana.

Kepala sekolah yang melihat kejadian itu dari jauh hanya diam, merasa kasihan kepada Bu Fitri. Ia tidak menyangka Bu Ana bisa berlaku sejahat itu.

Mulai saat itu, kepala sekolah bertekad akan mengawasi Bu Ana lebih dekat, agar tahu apa sebenarnya yang diinginkan guru itu.

Ketika kepala sekolah kembali ke ruangannya, ia melihat Bu Ana sedang berbicara dengan Bu Dinda di ruang guru.

“Bu Dinda, jangan percaya sama Bu Fitri. Dia itu suka mengkambinghitamkan orang lain. Pak Beno aja keluar gara-gara mulut dia,” kata Bu Ana.

“Masa sih, Bu Ana?” tanya Bu Dinda ragu.

“Iya! Masa Bu Dinda nggak percaya sama saya? Lihat aja, apa saya pernah bikin guru lain keluar? Saya cuma mengerti aja, Bu, nggak semua orang punya perekonomian sama.”

Bu Dinda hanya tersenyum, karena sebenarnya ia sahabat dekat Bu Fitri dan tahu siapa yang jujur.

Kepala sekolah yang mendengar percakapan itu dari luar semakin iba terhadap Bu Fitri. Ia merasa Bu Ana sudah benar-benar keterlaluan.

Setelah itu, Bu Dinda mengajak Bu Fitri ke kantin yang jarang ditempati orang. Tak lama kemudian, kepala sekolah yang sedang mencari Pak Ucup, tukang sapu halaman, tidak sengaja melihat mereka.

“Fitri, lu tahu nggak sih, tadi lu dibicarain sama Ana. Parah banget, gue nggak suka dengarnya. Lawan dong, Fitri!” kata Bu Dinda.

Bu Fitri hanya tersenyum, tidak menjawab apa-apa. Ia bingung harus bagaimana menghadapi Bu Ana.

“Biarin aja deh, kayaknya memang Bu Ana nggak suka sama gue. Gue juga nggak bisa ngapa-ngapain, Dinda,” ucap Bu Fitri pelan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!