Cerita ini untuk pembaca dewasa. Baca dengan bijak❗
Cherry Gabriella mengambil satu keputusan nekat yang mengubah seluruh hidupnya, menjadi ibu pengganti bagi pewaris berhati dingin, Trevor Spencer.
Namun, ketika bayi mungilnya lahir, Cherry tak sanggup menyerahkan darah dagingnya, meski harus diburu oleh pria yang bisa membeli segalanya… bahkan nyawanya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Beberapa hari telah berlalu dan semuanya baik-baik saja. Cherry kini tinggal di kamar Trevor. Semua barang pribadinya sudah dipindahkan ke sana, termasuk meja belajar karena itu permintaan Arnold. Sekarang Cherry punya lemari sendiri, bahkan mandi pun di kamar itu.
Rutinitas mereka tak banyak berubah, interaksi pun masih sebatas seperlunya. Hanya saja, setiap malam sebelum tidur, Trevor selalu tiba-tiba memeluknya. Cherry tidak tahu apakah Trevor melakukannya dengan sadar atau hanya kebiasaan tanpa disadari. Anehnya, setiap pagi Trevor bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Cherry pun memilih diam, takut kalau ia menyinggung, Trevor malah salah paham dan marah.
Hari ini Cherry sedang berada di ruang kerja bersama Edwin. Ia meminta bantuan untuk memahami sebuah artikel yang cukup sulit.
“Sudah paham?” tanya Edwin setelah menjelaskan.
Cherry mengangguk, tersenyum lega.
“Terima kasih banyak.”
Ujian akhir semakin dekat, dan Cherry memang harus belajar lebih giat agar tidak terjebak pertanyaan sulit.
“Jadi… sekarang kalian sudah tidur sekamar?” tanya Edwin tiba-tiba.
Cherry terkejut. Sepertinya Trevor tidak memberitahunya.
“Ah… iya.”
“Dan sudah lima hari ini, kan?” Edwin kembali menyelidik.
Cherry hanya mengangguk pelan. Kalau saja ia tidak memanggil Edwin untuk membantu belajar, mungkin Edwin tidak akan tahu.
“Tidak terjadi apa-apa?” pertanyaan Edwin selanjutnya membuat Cherry mengerutkan dahi.
“Maksudmu? Memang harus terjadi sesuatu? Apa maksudmu?”
Edwin menatapnya sambil mengangkat alis.
“Ya… hal yang biasa dilakukan pria dan wanita kalau tidur sekamar.”
Cherry semakin bingung “Memang ada yang harus dilakukan?”
“Seks,” jawab Edwin blak-blakan.
Mata Cherry langsung melebar “A-apa yang kamu bicarakan?!”
“Jangan pura-pura polos. Aku tahu kalian sudah melakukannya dulu waktu membuat Arnold, kan? Itu juga terjadi di kamar Trevor. Jadi jangan pura-pura nggak tahu.”
“Kami melakukannya hanya untuk program kehamilan pengganti,” Cherry cepat membela diri.
Edwin mendecak. “Cherry, kamu masih belum tahu, ya? Dalam program kehamilan pengganti seharusnya tidak ada hubungan seks. Sperma Trevor seharusnya dimasukkan lewat prosedur medis, bukan… begitu. Waktu itu semua sudah disiapkan, tapi Trevor tiba-tiba membawamu ke kamarnya. Dan saat kami tahu, semuanya sudah terlambat.”
Wajah Cherry memerah, ia buru-buru menunduk. Ia pernah menanyakan hal itu pada Trevor, tapi jawabannya membuatnya semakin bingung. Trevor hanya berkata ia memang ingin melakukannya.
“Aku tahu,” bisik Cherry pelan.
Edwin mendesah panjang, lalu tertawa kecil.
“Hah, padahal dia selalu bilang perempuan itu menyusahkan. Nyatanya, dia juga nggak bisa menolak godaan. Mungkin maksudnya, surga di ranjang. Hahaha.”
Cherry buru-buru berdiri. “T-terima kasih, aku pamit dulu.”
Namun Edwin menahan lengannya. Cherry menoleh, jantungnya berdegup cepat.
“Kamu tahu, kan, kalau Trevor sebenarnya hanya butuh Arnold?” ucap Edwin serius.
Cherry terdiam. “Kenapa kamu bilang begitu?”
“Aku kasihan kalau Arnold harus kehilangan ibunya. Trevor punya rencana menjauhkanmu dari Arnold, dan itu akan terjadi setelah kamu lulus.”
Wajah Cherry pucat. “Tidak mungkin… dia tidak bisa melakukan itu.”
“Tentu saja bisa. Kamu lupa siapa Trevor? Dia seorang miliarder yang berkuasa. Dulu kamu sendiri pernah memanggilnya ‘setan’, kan? Buat dia, menjauhkanmu dari Arnold itu hal mudah. Kalau aku jadi kamu, aku akan mengamankan posisiku. Aku hanya kasihan sama anak baptisku. Aku nggak mau dia tumbuh tanpa ibu. Aku juga sudah terlalu sayang sama dia… juga sama kamu, Cherry.”
Air mata mulai menggenang di mata Cherry.
“Jadi… apa yang harus aku lakukan?”
“Kamu pintar. Aku yakin kamu tahu apa yang harus dilakukan. Dan jangan pernah bilang Trevor kalau aku yang memberi tahu, kalau tidak, aku bisa ditembak.”
Belum sempat Cherry menjawab, suara berat terdengar dari belakang.
“Kalian sedang membicarakan apa?”
Trevor baru saja pulang dari kantor.
“Bro! Akhirnya pulang juga,” Edwin menyambut santai.
Trevor tidak menggubrisnya. Ia langsung menatap Cherry.
“Arnold di mana?”
“Di kamar, baca buku,” jawab Cherry cepat.
Ia segera membereskan barang-barangnya. Trevor dan Edwin berjalan naik ke lantai atas, menuju ruang kerja Trevor. Begitu selesai, Cherry juga naik ke kamar mereka. Saat menata barang di meja belajar, ucapan Edwin kembali terngiang.
Jadi itu alasan Trevor menyekolahkannya? Supaya dianggap sebagai pembayaran? Lalu setelah lulus, ia akan diusir? Trevor pikir Cherry akan meninggalkan Arnold demi mengejar mimpinya?
Cherry menggenggam meja erat-erat. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Tidak. Kalau Trevor punya rencana, ia juga harus punya. Cherry tidak akan membiarkan dirinya dipisahkan dari Arnold.
Ia masuk ke kamar mandi, membasuh wajah, dan menatap bayangannya sendiri.
***
“Kalian tadi bicara apa?” Trevor menatap Edwin tajam.
“Pelajaran. Bukankah kamu sendiri yang menyuruhku ke sini?” Edwin menjawab santai.
“Tapi kalian terlihat serius sekali.”
Edwin tersenyum menggoda. “Kenapa? Kamu cemburu?”
“Diam,” bentak Trevor kesal.
“Bercanda, bro. Jelas kami serius. Namanya juga bahas hukum, masa sambil ketawa-ketawa?” Edwin mengangkat bahu.
“Keluar dari ruanganku.”
“Dasar nggak tahu terima kasih. Tapi tenang, suatu saat kamu akan sadar aku ini teman yang baik.” Edwin terkekeh sambil berjalan keluar.
“Keluar!” bentak Trevor lagi.
Edwin mengangkat tangan, menyerah. “Iya, iya.”
Meski sudah terusir, Edwin tidak langsung pulang. Ia menuju kamar Arnold dan mengetuk pintu.
“Siapa?” terdengar suara kecil dari dalam.
“Aku, Paman Edwin.”
“Pergi sana!”
“Aduh, kalian ayah dan anak sama saja. Sama-sama suka usir aku,” Edwin pura-pura sedih.
“Aku nggak peduli!”
“Aku bawain oleh-oleh, lho. Paman kangen banget sama kamu. Buka pintunya sebentar, ya?”
“Tidak!”
Edwin berpikir sebentar, lalu tersenyum nakal.
“Kamu nggak mau tahu gimana caranya punya adik kecil?”
Hening sejenak. Lalu suara Arnold terdengar lagi “Benaran? Aku akan punya adik?”
“Tentu. Buka pintunya dulu.”
Pintu terbuka, Arnold muncul dengan mata berbinar.
“Sekarang bicara,” perintahnya tegas.
“Hahaha, sama saja kayak ayahmu, suka memerintah. Jadi begini, sebentar lagi kamu akan jadi kakak. Kamu akan punya adik perempuan atau laki-laki.”
Arnold menatapnya penuh harap.
“Paman janji?”
“Janji.”
“Terus, aku harus apa biar Mama dan Papa bisa bikin adik?”
“Kamu cukup mendekatkan mereka berdua.”
Arnold mengangguk mantap. “Oke.”
“Jadi jangan ngambek lagi sama Paman, ya.”
Arnold tersenyum lalu memeluknya. “Iya, Paman.”
Edwin membalas pelukan itu erat “Aku kangen banget sama kamu. Pokoknya kamu harus sering kasih kabar. Biar Paman bisa kasih tahu langkah-langkah berikutnya.”
“Oke!” jawab Arnold semangat.