Bekerja sebagai tim pengembangan di sekolah SMA swasta membuat Hawa Tanisha bertemu dengan musuh bebuyutannya saat SMA dulu. Yang lebih parah Bimantara Mahesa menjadi pemilik yayasan di sekolah tersebut, apalagi nomor Hawa diblokir Bima sejak SMA semakin memperkeruh hubungan keduanya, sering berdebat dan saling membalas omongan. Bagaimana kelanjutan kisah antara Bima dan Hawa, mungkinkah nomor yang terblokir dibuka karena urusan pekerjaan? ikuti kisah mereka dalam novel ini. Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ANTAR PRIA
Hawa kembali terisak, saat melihat ayam bakar madu tersedia di meja. Bima kaget, kenapa harus menangis lagi? Ditambah mereka sudah sholat dhuhur, tentu lebih tenang juga. “Kenapa, Wa?” tanya Bima yang sudah menyendokkan nasi di piring. Hawa menatap Bima dengan wajah mewek.
“Ini makanan kesukaan Uki, Bim!” spontan Bima berdecak sebal, Uki lagi Uki lagi. Wajar juga sih, 7 tahun tentu sudah tahu apa kesukaan masing-masing tapi tak segitunya juga dengan makanan. Apa mungkin dalam ayam bakar itu wajah Uki terpampang, enggak kan. Bima pun menggeser ayam bakar madu itu ke arahnya, mengganti dengan ikan bakar ke arah Hawa.
“Kenapa lagi?” tanya Bima yang melihat Hawa tak kunjung makan, masih terisak lagi.
“Biasanya kalau aku makan ikan, dia yang pilah daging dan durinya,” ujar Hawa kembali mewek. Sekali lagi Bima berdecak sebal, urusan makan kenapa jadi seribet ini sih.
“Dan lo gak minta gue melakukan hal yang sama kan?” mode tengkar mereka on. Sejak dulu Bima tak suka dengan Hawa, malah kini bersikap sok manja di depannya. Jelas tak mungkin Bima akan menjadi baik padanya. “Udah makan segera, mulai sekarang lo harus mandiri. Lagian dia udah bahagia sama ceweknya juga, masa’ iya lo masih mengharap.”
Cewek lagi sedih malah diceramahi, Bima tak peka sama sekali. Tapi Bima juga merasa tak harus bersikap manis untuk menggantikan kebiasaan Uki, mereka tak sedekat itu juga. Hawa pun paham siapa laki-laki di depannya sekarang, yang tak mungkin treat dirinya sebaik Uki. Alhasil Hawa memilih tahu tempe saja, karena dengan lauk ini dia tak punya kenangan dengan Uki. Lauk pelengkap saja. Bima yang sudah kelaparan dan melahap ayam bakar tadi mendadak berhenti makan setelah melihat tahu tempe saja yang dimakan Hawa. Banyak pilihan lauk kenapa juga hanya itu.
Dengan terpaksa Bima mengambil ikan bakar tadi, Hawa juga tak peduli biar dimakan Bima semua, pikirnya. Namun lagi asyik makan daging ikan bakar diletakkan Bima begitu saja di piring Hawa. “Makan,” ucap Bima sedikit ketus. Hawa menatap Bima sebentar, lalu makan daging ikan itu dengan menahan tangis. Setiap daging yang diletakkan Bima masih mengingatkan tentang Uki dan sulit untuk dialihkan. Hawa pun makan sedikit sekali. Bima tak memaksa juga. Makanan yang dipesan Bima masih banyak dan belum tersentuh, maka ia meminta dibungkus saja biar dibawa Hawa pulang nanti.
Bima mengantar pulang Hawa, selama perjalanan gadis itu diam saja dan saat dilirik ternyata tidur, Bima pun tertawa. Habis mewek bisa juga tidur. Hawa sudah menunjukkan ancer-ancer rumahnya tadi sehingga Bima pun meluncur tanpa membangunkan gadis itu . Sudah sampai di Toko Toserba depan pintu gerbang perumahan sesuai petunjuk, Hawa dibangunkan, agak sulit mungkin sangat capek setelah menangis.
Bima menunggu saja sembari membuka ponsel sampai dia bangun, kasihan saja.
Bima menoleh ke arah Hawa, ternyata Uki mengirim pesan pada Bima. Meski tak menyimpan nomornya, Bima paham siapa pengirim pesan itu.
Bisa bertemu di café X? Gue mau bicara soal Hawa.
Oke, jam 5 saja. Setelah pulang kantor.
Tanpa Hawa.
Oke.
Bima pun kembali mengguncang lengan Hawa, sedikit sebal juga anak gadis kok dibangunkan susah sih. Oke usaha terakhir yang bisa dilakukan Bima. “Wa, dicari Uki!” ucap Bima sedikit keras, dan benar saja Hawa langsung bangun gelagapan.
“Mana Uki?”
“Uki di hotel!” balas Bima ketus, mengingatkan fakta kalau Hawa lupa. Bima menghela nafas pelan saat Hawa diam dan kembali murung. Bahkan nama Uki sudah masuk dalam alam bawah sadarnya. Sekuat itu cinta mereka.
“Rumah kamu yang mana? ini sudah sampai di gerbang perumahan,” ucap Bima yang mulai menyalakan mesin mobil. Hawa pun menunjukkan jalan rumahnya. Keduanya terdiam lagi, hingga sampai di rumah minimalis dua lantai berpagar putih.
“Makasih, Bim dan maaf merepotkan. Uang bensin dan makan besok saja ya, totalan di kantor.” Bima melongo, kalau saja keadaan Hawa baik mungkin langsung ditonyor tuh kepala, pakai perhitungan segala soal bensin dan makan. Bagi Bima pantang menerima bayaran dari teman kesusahan begini. Eh sudah menganggap teman? Ralat, anak buah.
“Ya gampang,” ucap Bima mengangguk saja. Suka-suka Hawa lah. Tak lupa makanan tadi juga diberikan kepada Hawa, meski dia menolak tapi Bima menganjurkan untuk memberikan ke satpam atau ART saja, toh belum tersentuh juga. Masih layak untuk diberikan, Hawa pun patuh daripada berdebat lebih panjang lagi, kepalanya sudah pusing ingin mandi lalu tidur saja.
Bima kembali ke kantor mengerjakan deadline yang sempat tertunda tadi hingga waktu pulang kantor. Ia sengaja mandi di kantor, sholat ashar dulu baru meluncur untuk bertemu Uki. Aneh juga kenapa harus mengajak bertemu, memangnya apa yang dibahas. Uki sudah menunggu dan wajahnya tampak dingin. Bima sedikit paham, mungkin dia mau introgasi kedekatannya dengan Hawa, karena tadi sempat melihat Hawa dipeluk oleh Bima. Mantan masih tak terima.
“Hawa tadi bagaimana?” tanya Uki tanpa basa-basi.
“Kacau lah! Hal kayak gitu kenapa harus ditanyakan sih.” Bima sendiri settingan pria ketus apalagi menemui hal yang menurutnya tak masuk akal, malah makin ketus tak peduli lawan bicaranya tersinggung atau tidak.
“Kalian dekat?”
Bima tersenyum sinis, kondisi saat ini tak ada hak bagi Uki cemburu pada Hawa. Dia sendiri yang menciptakan moment ini. Kalau saja ceweknya tak usil chat Hawa, mungkin tak ada drama pelukan antara Hawa dan Bima. Sekarang nada bicaranya seperti masih menjadi pacar Hawa saja, sok protektif dan cemburu. Kayaknya cowok ini perlu kaca, kalau bisa ditempeleng sekalian agar ingat akan statusnya.
“Aku masih sayang sama Hawa, Bim. Tolong jangan gantikan posisiku di hatinya. Aku akan berusaha untuk mengambil hatinya lagi,” pinta Uki dengan nada memohon. Bima tersenyum tipis, lebih tepatnya merendahkan dengan ucapan Uki, aku masih sayang? Hello, hanya orang bodoh yang percaya omongan Uki, sudah berhubungan badan dengan cewek lain, tapi masih mengaku sayang pada Hawa. Stress kali, memang bisa ya berhubungan badan tanpa melibatkan perasaan? Sinting sekali.
“Tenang saja, sejak SMA kamu tahu aku tidak tertarik pada Hawa, dan mungkin sekarang pun begitu, apalagi bekas kamu!” tangan Uki mengepalkan tangannya, sedikit tersinggung dengan pandangan Bima pada Hawa. Bekas? Bahkan Uki saja 7 tahun belum tahu manisnya bibir Hawa. Pacaran mereka sangat sehat, karena prinsip Uki memang berniat menjadikan Hawa sebagai tujuan hidup, meski belum ada pembahasan ke jenjang serius.
“Asal kamu tahu, dia masih suci, bahkan bibirnya pun tak pernah aku sentuh. Bim. Aku bodoh telah melepas gadis sebaik dia, sungguh aku menyesal sekarang. Jujur aku tak rela ada laki-laki yang memilikinya nanti.”
“Bukan urusanku, dan aku tak tertarik soal itu. Mungkin kamu berpikir aku memeluk tadi karena kita dekat, karena dia anak buahku begitu?” Uki mengangguk.
“Kita profesional, bahkan aku masih blokir nomor ponselnya, tenang saja. Tadi aku hanya mengantar karena kita selesai rapat saja. Selamat berjuang kembali deh, semoga kalian berjodoh,” ucap Bima kemudian pamit. Ia merasa buang-buang waktu saja bila meneruskan pembicaraan tentang Hawa.
Auto bawa sperangkat alat solat sekalian akhlak nyaa
awokwook /Curse/
Hawa: ga beLagak tapi belagu/Slight/
reader: bim, ci pox bim ampe engappp/Grin//Tongue/
maaf aq nyaranin jahat 🤭🤭🤭