NovelToon NovelToon
IBU SUSU PUTRIKU WANITA GILA

IBU SUSU PUTRIKU WANITA GILA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / Balas Dendam / Ibu Pengganti / Cinta Seiring Waktu / Ibu susu
Popularitas:10.8k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Davian Meyers ditinggal oleh istrinya kabur yang mana baru saja melahirkan putrinya bernama Cassandra Meyers.

Sayangnya Cassandra kecil justru menolak semua orang, selalu menangis hingga tidak mau meminum susu sama sekali.

Sampai dimana Davian harus bersedih hati karena putri kecilnya masuk rumah sakit dengan diagnosa malnutrisi. Hatinya semakin hancur saat Cassandra kecil tetap menolak untuk menyusu. Lalu di rumah sakit Davian menemukan putrinya dalam gendongan seorang wanita asing. Dan mengejutkannya Cassandra menyusu dengan tenang dari wanita tersebut.

Akan tetapi, wanita tersebut tiba-tiba pergi.

Demi kelangsungan hidup putrinya, Davian mencari keberadaan wanita tersebut lalu menemukannya.

Tapi bagaimana jika wanita yang dicarinya adalah wanita gila yang dikurung oleh keluarganya? Akankah Davian tetap menerima wanita itu sebagai ibu susu putrinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 28. SIUMAN DAN MAAF

Suasana rumah sakit pada malam itu berjalan tenang seperti biasa. Lampu-lampu redup menyinari lorong-lorong panjang, perawat hilir-mudik dengan langkah ringan, dan suara mesin monitor pasien berdenting ritmis, seolah menjaga denyut kehidupan para penghuni kamar. Di salah satu ruangan dengan tirai putih yang menutup rapat, seorang perempuan terbaring dengan wajah pucat namun damai; Olivia.

Sudah tiga hari lamanya Olivia tenggelam dalam kegelapan koma, seakan jiwanya memilih bersembunyi dari kerasnya kenyataan hidup. Davian, Peter, bahkan Emily dan Cassandra sudah terlalu lama menunggu momen itu, detik ketika kelopak mata Olivia terbuka kembali.

Malam itu, sesuatu yang kecil namun menggetarkan terjadi. Perawat yang sedang memeriksa kondisi Olivia tertegun ketika jemari tipis pasien itu bergerak perlahan, seperti meraba udara. Monitor detak jantung pun memerlihatkan lonjakan kecil, tanda adanya respons. Sang perawat segera memanggil rekannya, dan dalam hitungan menit, dokter jaga datang terburu-buru, memeriksa tekanan darah, refleks, serta kondisi saraf Olivia.

"Dia merespons, ini tanda yang sangat baik," ujar dokter dengan mata berbinar, seolah ia sendiri sudah menanti keajaiban itu sejak lama. Perawat lain segera mencatat perkembangan itu dalam berkas medis, sementara satu orang bergegas ke ruang keluarga pasien untuk menyampaikan kabar.

Davian, yang malam itu masih bertahan di kursi ruang tunggu dengan kepala tertunduk, mendongak kaget ketika pintu terbuka dan perawat menyampaikan berita."Mr. Davian, pasien menunjukkan tanda-tanda sadar. Ia sempat menggerakkan tangan dan matanya bereaksi terhadap cahaya. Dokter sedang memantau."

Jantung Davian serasa melompat keluar dari dadanya. Kabar itu begitu melegakan, bagai cahaya pertama setelah malam panjang penuh kegelapan. Peter, yang juga ada di sana, ikut berdiri dengan wajah haru, menepuk bahu sahabatnya sambil tersenyum lebar.

"Aku sudah bilang, Dav ... dia akan sadar. Olivia tidak akan meninggalkan Cassandra begitu saja," ucap Peter, suaranya bergetar menahan emosi.

Mereka berdua tidak diperkenankan masuk saat itu, karena dokter masih melakukan serangkaian observasi untuk memastikan kondisi Olivia stabil. Namun sekadar kabar itu saja sudah cukup membuat napas keduanya terasa lebih lega. Malam itu mereka pulang dengan hati yang masih diliputi cemas namun terbungkus harapan baru.

Keesokan paginya, dokter memanggil Davian dan Peter. Dengan nada hati-hati namun jelas, dokter berkata, "Miss. Olivia telah sadar meski kesadarannya masih lemah. Ada saat-saat ia membuka mata, namun masih sering kembali tertidur karena efek obat. Itu wajar. Yang penting, ia sudah kembali merespons dunia di sekelilingnya."

Mata Davian memanas, nyaris menitikkan air mata. Peter hanya bisa mengangguk, seakan kata-kata dokter itu adalah doa yang terjawab.

Hari itu, Olivia benar-benar membuka mata. Samar-samar pandangannya menangkap cahaya putih yang menyilaukan, dan suara mesin monitor berdenting lembut di telinganya. Nafasnya terasa berat, tubuhnya lemah, namun kesadaran itu nyata. Ia mencoba menggerakkan jari, dan seketika seorang perawat yang sedang berjaga menunduk dengan wajah gembira.

"Selamat pagi, Miss. Olivia, Anda sudah sadar. Tenang saja, Anda selamat," kata sang perawat dengan suara lembut.

Olivia hanya mampu menatap kosong, bibirnya kering, matanya berusaha memahami di mana ia berada. Hatinya masih terasa berat, seperti tertutup kabut duka, namun tubuhnya merasakan hangatnya kehidupan yang kembali dipaksakan hadir.

Kabar itu segera menyebar. Davian dan Peter mendengar dari perawat bahwa Olivia sudah membuka mata dengan sadar. Rasa lega yang mereka simpan sejak semalam akhirnya meledak menjadi syukur.

"Dia sadar, Peter! Dia benar-benar sadar!" seru Davian, matanya berkilat dengan luapan emosi yang sulit ia bendung.

Peter menepuk bahunya dengan senyum penuh arti. "Pergilah temui dia, Dav. Tapi jangan lupa luka Olivia bukan hanya fisik. Kau harus berhati-hati. Jangan buat dia terluka lagi."

Davian hanya terdiam. Kata-kata itu menghujam ke dalam dirinya, membuatnya sadar bahwa jalan untuk menebus semua kesalahan masih panjang dan berat.

Sehari setelah kabar kesadaran Olivia, dokter menyatakan kondisinya cukup stabil untuk menerima kunjungan. Davian berulang kali menimbang, hatinya dipenuhi rasa takut dan penyesalan. Namun akhirnya, ia memberanikan diri masuk ke kamar itu.

Ketika Davian membuka pintu, aroma antiseptik menyergap hidungnya. Ia melihat Olivia sudah duduk bersandar di ranjang dengan bantal menopang punggungnya. Rambutnya masih kusut, wajahnya pucat, namun matanya terbuka, menatapnya. Bukan tatapan lega, bukan tatapan rindu, melainkan tatapan waspada, penuh jarak, seolah melihat seseorang yang asing dan berbahaya.

Davian berdiri kaku, jantungnya berdegup tak karuan. Tangannya bergetar ketika ia melangkah mendekat, lalu menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. Hening beberapa saat, hanya suara mesin monitor yang terdengar.

Olivia tidak mengucap sepatah kata pun, hanya menatap dengan dingin, seakan berkata: Apa lagi yang kau inginkan dariku?

Davian menelan ludah, lalu membuka suara dengan parau, "Olivia ... aku ... aku minta maaf."

Matanya berkaca-kaca, suaranya pecah oleh sesal. "Aku sudah begitu kejam, aku merebut Cassandra darimu, aku menuduhmu, bahkan aku tidak percaya padamu. Aku tahu semua itu salah. Melihatmu di kamar dalam keadaan seperti itu benar-benar ... membuatku takut kalau kau sungguh akan pergi selamanya."

Tangan Davian perlahan meraih jemari Olivia. Awalnya wanita itu menegang, ingin menarik diri, namun lemah tubuhnya membuatnya hanya diam. Davian meremas tangannya erat, kepalanya tertunduk.

"Jangan pernah lakukan itu lagi, jangan pernah membuang hidupmu dengan cara itu. Jangan buang hidupmu karena kesalahan pria brengsek ini. Aku ... aku berjanji, aku tidak akan mengambil Cassandra lagi darimu. Aku akan lakukan apa pun yang kau minta, asal kau bertahan. Aku mohon, beri aku kesempatan untuk menebus semuanya. Maafkan aku, Olivia. Maafkan aku."

Air mata jatuh membasahi punggung tangan Olivia. Davian benar-benar menangis, bukan sebagai pria keras kepala yang selalu ingin menang, melainkan sebagai seorang suami yang hampir kehilangan istrinya.

Olivia tetap diam. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Namun di dalam hatinya, ia bisa merasakan kejujuran dari setiap kata yang diucapkan Davian. Untuk pertama kalinya, pria itu tampak benar-benar hancur, benar-benar menyesal.

Tatapan Olivia masih penuh waspada, seolah luka itu terlalu dalam untuk sembuh hanya dengan permintaan maaf. Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu Davian sungguh-sungguh kali ini.

Ruangan itu seolah membeku. Setelah Davian memohon maaf dengan air mata, hanya ada keheningan yang panjang. Olivia menatapnya, tatapan matanya tajam namun redup, seakan menimbang apakah tangisan itu nyata atau sekadar sandiwara baru dari pria yang pernah melukai hatinya.

Davian masih menggenggam tangan Olivia erat, bahkan menundukkan wajahnya seolah takut menatap balik. Dalam keheningan itu, Olivia mendengar suara detak jantungnya sendiri, berat, namun berdenyut, menegaskan bahwa ia masih hidup.

Olivia ingin bicara, ingin menumpahkan semua sakit hati, ingin menjerit mengumpati Davian. Tapi bibir Olivia tetap terkatup rapat. Tubuhnya masih terlalu lemah, dan hatinya masih enggan mengeluarkan kata.

Davian menatapnya dengan mata bengkak karena tangis. "Aku mohon, aku tahu kata-kata ini tidak cukup. Tapi izinkan aku memperbaiki semuanya. Kau segalanya untuk Cassandra dan ... aku juga tidak ingin kehilanganmu."

Namun Olivia masih diam. Diam yang bagai pedang, menembus dada Davian lebih dalam dari seribu kata.

Olivia memalingkan wajah, menatap jendela rumah sakit. Dari celah tirai, cahaya matahari sore masuk, menyinari wajah pucatnya. Ia tidak menepis tangan Davian, namun juga tidak membalas genggaman itu.

Di dalam hati Olivia, pergolakan terjadi. Ada bagian dari dirinya yang ingin percaya, ingin menerima bahwa Davian benar-benar berubah. Namun ada pula bagian lain yang masih penuh ketakutan, mengingat malam-malam ketika ia menangis karena dipaksa berpisah dari Cassandra, ketika Davian membuat Olivia sungguh menjadi gila, ketika rasa tidak berdaya membuatnya berpikir kematian adalah jalan keluar.

Air mata menetes di sudut mata Olivia, bukan karena luluh, melainkan karena perih mengingat semuanya.

Davian mendongak dan melihat itu. Dengan panik, ia mengusap air mata itu dengan jemarinya, meski Olivia menoleh sedikit untuk menghindar. "Maafkan aku ... maafkan aku, Olivia. Jangan menangis lagi. Aku akan melakukan apa pun, aku berjanji tak akan menyakitimu lagi. Aku tidak akan pernah memisahkanmu dari Cassandra. Dia putrimu, dia sudah meminum banyak air susumu, artinya dia putrimu. Maaf karena keegoisanku sebagai seorang ayah sehingga membuatku gelap mata dan memisahkanmu dari Cassandra. Aku melukaimu sedalam ini. Maafkan aku."

Olivia hanya mendengar tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, namun air matanya menjawab semuanya.

"Please forgive me," suara Davian bergetar, tubuhnya sedikit terisak. Ia seperti seorang pria yang akhirnya kehilangan semua kebanggaan dan kesombongannya, tinggal seorang manusia rapuh yang ketakutan.

Dari pintu yang sedikit terbuka, Peter berdiri memerhatikan. Ia sengaja tidak masuk, hanya menyaksikan dari luar. Ia tahu ini adalah momen penting bagi Davian dan Olivia momen pertama sejak tragedi itu.

Peter menggenggam gagang pintu dengan erat. Hatinya lega karena Olivia akhirnya sadar, namun juga cemas apakah luka batin itu bisa terobati. Ia tahu Olivia wanita yang penuh cinta, namun trauma yang ia lalui tidak sederhana. Butuh waktu lama untuk kembali percaya pada pria yang telah membuat Olivia hancur ... untuk kedua kalinya.

Ia menarik napas panjang, lalu menutup pintu pelan, membiarkan keduanya di dalam ruangan itu tanpa gangguan.

Malam itu, setelah Davian pulang dengan hati berat, Olivia kembali terlelap. Namun dalam mimpinya, ia teringat momen ketika pertama kali menggendong Cassandra, saat bayi itu memeluk jari-jarinya dengan tangan mungil. Ingatan itu membuatnya menangis dalam tidur, air mata mengalir meski bibirnya tak mengeluarkan suara.

Di lorong, Davian bersandar di dinding dengan mata sembab. Peter duduk di sebelahnya, menatap sepupunya itu dengan iba.

"Dia belum mau bicara padamu, ya?" tanya Peter pelan

Davian hanya menggeleng, wajahnya lesu.

"Tidak apa-apa, Dav. Yang penting dia sudah sadar. Percaya padaku, Olivia hanya butuh waktu. Jangan paksa dia. Kau sudah hampir kehilangan segalanya, jangan ulangi kesalahan yang sama," ucap Peter entah untuk menenangkan atau untuk memberi saran terbaik ke depannya.

Davian mengangguk, menutup wajah dengan telapak tangannya. Ia tahu Peter benar. Kesabarannya akan diuji.

Hari-hari berikutnya, kondisi Olivia mulai membaik. Tubuhnya perlahan menguat, meski emosinya masih tertutup. Davian selalu hadir, membawa buah, bunga, bahkan buku-buku bacaan yang mungkin disukai Olivia.

Pria itu tidak lagi memaksa. Ia hanya duduk di samping, kadang membaca dengan suara pelan, kadang hanya memandangi Olivia dalam diam.

Olivia masih jarang bicara. Tapi tatapannya sedikit melunak. Dari tatapan curiga, menjadi tatapan hati-hati, lalu berubah menjadi tatapan penuh pertanyaan.

Davian tahu, itu tanda baik. Tanda bahwa pintu hati wanita itu mulai retak, meski belum terbuka.

1
Hasbi Yasin
pasti anaknya olivia sma davian mungkin laki2 asing itu davian
Hasbi Yasin
teka teki molai terkuak
Nor aisyah Fitriani
wahhhh ada bom yang akan siap meledak
Jelita S
mungkinkah ada konspirasi disini???
Casie mungkin anaknya Davian dengan Olivia?,,dan mungkin ini semua permainan Raymond?
Archiemorarty: hehehehe...kita liat nanti
total 1 replies
Jelita S
Akhirnya,,,,Casie cepat satukan mom and Dady mu y😀😀
Archiemorarty: Benar Cassie
total 1 replies
Ir
kau yang mulai kau yang mengakhiri
kau yang berjanji kau yang mengingkari
Archiemorarty: Aku bacanya sambil nyanyi wehhh
total 1 replies
Hasbi Yasin
sadar juga davian takut kehilangan olivia
Archiemorarty: Siapa yang nggak takut kalau pas liat doi sekarat
total 1 replies
Jelita S
sabar y babang Davian
Jelita S
peter kamu Daebak🫰
Archiemorarty: Terbaik emang Abang Peter /CoolGuy/
total 1 replies
Annida Annida
lanjut tor
Archiemorarty: Siap kakak, terima kasih /Determined/
total 1 replies
Hasbi Yasin
hukuman nya kejam banget si davian udah di peringatin sma peter gk mau jdi olivia bunuh diri deh
Archiemorarty: Manusia nggak ada yang sempurna, kadang kalau emosi kan suka gitu, salah ngambil keputusan
total 1 replies
Jelita S
Biarkanlah ini mnjadi tragedi yg menyadarkan Davian untuk lebih peka lgi terhadap Olivia
Archiemorarty: Benar, karena gimana pun Davian juga manusia biasa /Cry/
total 1 replies
Ir
hayoo lhooo pian tanggung jawab luuu
kalo sampe Raymond tau wahh abis citra mu piann, di sebar ke sosial media dengan judul
" PEMBISNIS MUDA DAVIAN MAYER, MENJADI MENYEBABKAN SEORANG WANITA BERNAMA OLIVIA MORGAN BUNUH DIRI " tambah bumbu pelecehan dll wahh habis karir 🤣🤣🤣
Ir: hahahhaa 🤣🤣🤣
total 2 replies
Ir
kan jadi gila beneran ck
bisa diskusi baik² bisa di omongin baik² , suka banget ngambil keputusan saat emosi
Ir
ada dua sudut pandang berbeda secara aku pribadi, kan dari awal emang Olivia ga bilang dia gila, orang² aja yg bilang dia gila termasuk emak tirinya, nah seharusnya pian sama Peter jangan langsung menghakimi setidaknya tanya dulu alasan kepura²an nya itu tujuan nya apa, dan untuk Olivia kenapa ga jujur setelah pian tau kebohongan nya dia, apa aja yg selama ini dia alami di rumah Morgan dan selama menikah dengan Raymond
Archiemorarty: Hahahaha....sabar kawan, Olivia juga udah ngalamin banyak hal buruk. Dia cuman takut nggak bisa bareng Cassie lagi
total 3 replies
Ir
Olivia itu lebih ke trauma, takut, patah hati, kecewa, kehilangan dan semua itu Olivia pendem sendiri ga ada tempat buat di berkeluh kesah ga ada yg menguatkan, mental orang beda² jangan kan Olivia, aku aja sampe sekarang kalo ada tlp di jam 2/3 tiga pagi rasanya masih takut, karna jam itu aku pernah dapet kabar adek ku koma, sedangkan posisi aku lagi kerja di luar kota sampe akhirnya jam 2 siang dapet kabar dia udah ga ada, mungkin keliatan nya cuma hal sepele tapi bagiku itu membuat ku trauma
Archiemorarty: Benar, karena mereka nggak ngerasain rasanya.
total 3 replies
Hasbi Yasin
jadi gila beneran kan biarlah casandra kehilangan olivia biar davian ngrasa bersalah
Archiemorarty: hehehe....apa itu damai buat othor
total 1 replies
Jelita S
aku jga jdi dilema Thor mau mengasihani siapa
Archiemorarty: Drama dikit buat mereka
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
lanjutt terussa
Archiemorarty: Siap kakak
total 1 replies
Jelita S
kasihan Olivia tpi kenyataan harus tetap diterima🔥🔥🔥🔥
Archiemorarty: Benar itu
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!