(Tidak disarankan untuk bocil)
Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.
Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia berbeda
Michelle dengan seragam sekolah duduk di mobil milik suaminya, Alfred, menatap gedung sekolah di depannya. Berangkat ke sekolah dengan mobil itu? Ide gila yang pasti akan jadi bahan bisik-bisik dan tatapan penuh tanya dari teman-temannya.
Ia tak berani membantah perintah suaminya, menatapnya saja penuh ketakutan.
Bagaimana mungkin ia menolak saat sorot matanya yang dingin sudah membuatnya membeku?
Ia tahu, ini bukan soal kenyamanan, tapi posisinya hanya sebagai istri pengganti.
Saat dia menyuruh sopir, Toni, berhenti jauh dari sekolah agar bisa turun tanpa keramaian, Toni malah menginjak rem keras tepat di depan gerbang, di tengah kerumunan siswa yang mulai membanjiri halaman sekolah.
Sebuah sindiran yang jelas pasti akan di layangkan kepadanya. Kalau tahu seperti ini, Michelle bertekad, lain kali dia akan datang lebih pagi, menghindari tatapan sinis dan bisik-bisik itu.
Napas panjang tertahan sebelum akhirnya ia membuka pintu dan melangkah keluar. Perlakuan sopir yang sopan sekaligus membuat ia risih. “Terima kasih, Pak,” suaranya ringan, di balik senyum yang dipaksakan.
“Tidak masalah, nona. Jam berapa sekolah selesai? Saya akan menjemput lagi,” ucap Toni dengan nada tulus.
“Tidak perlu pak, saya bisa naik bus,” kata Michelle datar.
Toni menatapnya dalam diam sejenak, lalu berkata dengan nada berat, “Saya hanya melakukan apa yang diperintahkan tuan. Tolong mengertilah.”
Michelle mengangguk kaku, ragu-ragu, sebelum menjawab dengan suara sopan, “Baiklah. Sekitar pukul tiga sore saya selesai kelasnya.”
Toni membalas anggukan singkat itu. “Mari, nona,” ujarnya, mundur perlahan dan kembali masuk ke dalam mobil.
Sesaat setelah Toni pergi, Michelle menarik nafas panjang dan memejamkan matanya. Ia merasakan tatapan penuh kebencian dan bisikan sinis dari teman-temannya yang menunggu di parkiran sekolah.
“Semangat, Micky,” gumamnya pelan. Dia mulai melangkah masuk ke gedung sekolah dengan santai, mencoba tampak biasa, meski setiap kata yang terbisik di lorong menusuk telinganya.
“Ternyata selera cewek badas itu pria tua, ya.”
“Setidaknya pria matang lah, ini malah cari pria tua.”
“Kalau aku jadi dia, aku gak akan pernah nyari sugar daddy kayak gitu.”
“Iuh, jalang banget!”
“Kalau udah jadi gadis malam, mana ada mikirin harga diri, yang penting uang!”
Michelle berhenti melangkah, dadanya naik turun seiring usaha menahan amarah yang hampir meledak. Matanya menoleh tajam ke arah bisikan-bisikan yang terdengar di belakangnya. Tatapan dinginnya, membuat siswa-siswa itu terdiam, bahkan mundur satu langkah dengan raut takut yang jelas terpampang di wajah mereka.
Mereka paham benar reputasi Michelle—gadis yang tak segan menumpahkan kemarahannya jika dipancing. Tapi mereka tetap melakukannya, menghina Michelle.
Setelah memastikan mereka benar-benar berhenti, Michelle mengalihkan pandangannya ke depan, menarik napas panjang yang bergetar menahan gejolak emosi. “Sabar, Micky,” bisiknya dalam hati, tangan terkepal erat di samping tubuhnya. “Tahan sampai lulus, jangan buat masalah sekarang.”
.
.
.
Alfred duduk tenang di kursi besar di balik meja kerjanya, tubuhnya tegap dan rapi dalam balutan jas hitam yang pas di badan. Kaki kanannya disilangkan di atas lutut kiri. Di tangan kanan, sebilah rokok tergenggam dengan santai, asap tipis mengepul pelan ke udara, sementara tangan kirinya sibuk memutar-mutar pulpen berkilau.
Tatapannya menusuk dinding kaca yang memisahkan ruang kantornya dengan pemandangan kota di bawah, matanya tajam dan penuh perhitungan.
Ketukan pintu terdengar sekali, memecah keheningan ruang itu. Namun Alfred tak bergerak sedikit pun, tak menoleh, seolah sudah tahu siapa yang datang. Pintu terbuka lebar, dan Vino, asistennya yang selalu sigap, melangkah masuk membawa sebuah map.
“Tuan, saya mendapat kabar dari markas bagian timur,” suara Vino tegas namun sopan.
Alfred menghembuskan asap rokok perlahan, matanya tetap menatap tajam ke depan tanpa menoleh sedikit pun. Suara suaranya berat, penuh tekanan saat berkata, "Katakan."
Vino menghela napas panjang sebelum melaporkan, "Dua penyusup tertangkap. Liam gagal menyelesaikan misi. Mereka membawa bom bunuh diri dalam genggamannya, mengancam akan meledakkan markas kalau kita coba meredakannya."
Senyum sinis merekah di bibir Alfred. Ia berhenti memutar pulpen yang berputar di antara jarinya, lalu dengan tegas mematikan putung rokok yang hampir habis. "Kita berangkat ke sana nanti malam," katanya datar tanpa ragu.
Vino mengangguk cepat, "Baik, Tuan."
Alfred semakin menajamkan tatapannya, suaranya berubah dingin, "Bagaimana dengan tugas yang kuberi sebelumnya?"
Vino meletakkan map tipis berwarna cokelat tua di atas meja kaca yang begitu rapi, khas seorang CEO sukses seperti Alfred.
Alfred, dengan senyum miring yang menyimpan tajam sinis, segera meraih map tersebut. Jari-jarinya membuka kertas biodata dengan perlahan, matanya menyapu setiap kata.
Namun, ekspresinya tak berubah—hanya sedikit kerutan di alis yang menandakan kekesalan. “Hanya ini?” tanya Alfred, suaranya bergetar halus penuh ejekan, lalu dengan kasar ia melempar kembali map itu ke arah Vino.
Vino tetap tenang, menatap Alfred dengan mata yang tak menunjukkan keraguan sedikit pun. “Benar, Tuan. Tidak ada yang istimewa dari kehidupan nona sebelumnya,” jawabnya datar, tanpa sedikitpun mengurangi ketegasan suaranya. “Dia anak yatim piatu, tanpa satu pun keluarga yang bisa diandalkan.”
Alfred mengerutkan dahi, “Ayahnya? Tidak ada?”
Vino mengangguk pelan, matanya tetap fokus, “Tidak ada informasi sedikit pun tentang ayahnya, Tuan. Ibunya, katanya, baru pulang kuliah dari luar negeri dan sudah hamil satu bulan saat itu.”
“Saat nona masih dua tahun, rumah yang dihuni ibu dan dirinya hangus terbakar tanpa jejak. Ada seseorang—dengan niat jahat membara—yang ingin menghapus keberadaan mereka berdua. Namun, takdir berbelas kasih; nona berhasil selamat dan diasuh oleh pamannya, adik ibunya," kata Vino lagi.
"Mereka menggunakan tubuh Michelle sebagai alat meraup uang, bayangan kelam yang jauh berbeda dari cerita Elena, yang menggambarkannya hanya sebagai sepupu manja dan mata duitan,” Alfred menyunggingkan senyum sinis, dia telah lama dibohongi oleh wanita yang pernah ia cintai.
“Nona sekarang bukan lagi bocah dua tahun lalu yang pernah anda selamatkan. Dia telah berubah—keras, berani, dan tak mudah dipermainkan,” ujar Vino penuh kekaguman.
Alfred memiringkan badannya, menatap tajam Vino yang berdiri tegap dan penuh hormat. “Lalu, apa yang terjadi saat dia turun dari mobil mewah di sekolah?”
Vino menarik napas, suaranya berat. “Seperti biasa, nona dihina oleh para siswa sekolah itu. Tapi, dengan hanya satu tatapan dingin, dia berhasil membungkam mereka semua.”
Alfred mengernyit. “Ethan juga sekolah di sana, bukan?”
Vino mengangguk pelan. "Tuan muda juga sekolah di sana," katanya pelan, suaranya penuh makna.
Alfred menatapnya tajam, lalu bertanya, "Kalau begitu, apa dia bisa kuandalkan untuk mengawasi Michelle?"
Vino menggeleng kecil, wajahnya menegang. "Sepertinya tidak, Tuan. Setiap kali mereka bertemu, tuan muda dan nona selalu berselisih. Di karenakan kekasih tuan muda membenci nona sampai ke tulang."
Alfred melepas tawa dingin, penuh ironi. "Menarik... Dia sungguh sangat berbeda sekarang."