NovelToon NovelToon
AKU BUKAN AYAHNYA, TAPI DIA ANAKKU

AKU BUKAN AYAHNYA, TAPI DIA ANAKKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 12

Riko memacu kendaraannya secepat mungkin menuju RSUD.

Sementara itu, perempuan yang tadi ia tolong belum sempat mengucapkan terima kasih.

Hati Riko gusar. Pikiran-pikiran buruk langsung menghantui dirinya.

Rasanya baru kemarin mereka bertiga makan bersama, penuh tawa dan keceriaan. Kini, Bu Zuleha—perempuan tua yang begitu menyayangi Melati—tertabrak mobil dan tewas.

Yang lebih menyakitkan, pelaku kecelakaan itu melarikan diri.

Memori-memori tentang Bu Zuleha berkelebat dalam benak Riko.

Wajah perempuan tua itu terbayang jelas—saat mereka mengobrol sambil tertawa, saat Bu Zuleha memberinya lauk yang tersisa, bahkan ketika diam-diam menyiapkan makanan untuknya, meski ia tahu Riko sering pura-pura kuat.

"Ibu... katanya Ibu mau mengasuh Melati. Kenapa Ibu pergi?" gumam Riko pelan, suaranya nyaris tercekat oleh tangis.

Akhirnya, Riko sampai di RSUD. Napasnya tersengal, hatinya makin gusar. Pikirannya berantakan. Bayangan buruk langsung membanjiri kepalanya, tapi ia menggeleng keras, berusaha menepis semuanya.

Riko berlari menuju meja resepsionis.

"Bu, di mana pasien atas nama Melati?" tanya Riko dengan nada gusar dan penuh kecemasan.

"Oh, yang korban tabrak lari tadi, ya?" tanya petugas sambil menatap Riko.

Riko mengangguk cepat, wajahnya masih diliputi kecemasan.

"Masih di ruang IGD, Pak," ucap petugas singkat.

Riko berlari menuju ruang IGD, hampir saja menabrak seseorang yang sedang berjalan di lorong.

Begitu sampai di depan ruang IGD, ia terhenti mendadak. Sebuah brankar keluar, mendorong seorang anak kecil yang seluruh tubuhnya ditutupi selimut putih.

"Pak... apakah ini korban tabrak lari?" tanya Riko dengan suara gemetar, matanya tertuju pada brankar yang membawa tubuh mungil itu—masih tertutup rapat.

"Iya..." jawab petugas sambil memegang kertas, membaca data pasien.

Tubuh Riko langsung lemas. Napasnya memburu, jantungnya nyaris berhenti. Ia terpaku. Dunia seolah runtuh di hadapannya.

"Kenapa Kau terlalu cepat mengambil Melati, Tuhan?"

"Kenapa harus Melati? Kenapa tidak aku saja?"

"Kenapa aku begitu ceroboh meninggalkannya?"

Pikiran Riko berputar tak henti, menyesali semuanya, menyalahkan dirinya sendiri. Rasa bersalah, penyesalan, dan duka bercampur menjadi satu, menyesakkan dada.

"Melatiiii!" teriak Riko histeris.

Semua orang menoleh ke arahnya. Suara itu bukan sekadar teriakan—itu jeritan jiwa yang hancur, pecah dalam duka yang tak tertahan.

Kehilangan anak yang paling dicintai tentu saja menyakitkan, bagaikan separuh nyawa dicabut dengan paksa.

Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya tanpa henti.

Tubuhnya gemetar.

Kakinya lemas.

Jiwanya rapuh, seolah hendak runtuh di hadapan dunia yang begitu kejam padanya.

Riko terus menangis, tubuhnya masih gemetar, sampai sebuah suara lantang mengagetkannya.

"Apakah di sini ada keluarga pasien anak atas nama Melati?" ucap seorang petugas rumah sakit dari arah lain.

Riko spontan menoleh ke sumber suara. Matanya lalu beralih pada brankar yang berada tepat di depannya. Ia menatap lekat-lekat tubuh mungil yang tertutup kain putih itu.

"Melati ada di depanku... Tapi kenapa mereka mencari keluarga Melati? Dan kenapa suara petugas itu berasal dari arah sana, bukan dari sini?" gumam Riko dalam hati, kebingungan mulai menyelimuti pikirannya.

"Apakah ada keluarga pasien anak atas nama Melati, korban tabrak lari?" ucap petugas lagi, lebih lantang.

Suara itu membuat Riko tersentak. Tanpa pikir panjang, ia segera menuju sumber suara.

"Saya ayahnya Melati, Bu," ucap Riko sambil menghela napas panjang.

Harapan perlahan tumbuh di dadanya. Ternyata ia salah sangka. Brankar tadi belum juga dibuka selimutnya, tapi ia sudah lebih dulu menyimpulkan bahwa itu Melati.

"Oh, syukurlah..." ucap petugas sambil menghela napas lega.

Riko ikut merasa lega—meski hanya sesaat. Karena kabar selanjutnya membuat jantungnya kembali berdebar panik.

"Melati perlu dioperasi segera. Ada beberapa alat medis yang tidak ditanggung BPJS.

Kalau Bapak setuju, silakan isi pernyataan persetujuan. Kami akan langsung melakukan tindakan.

Untuk biayanya, Bapak bisa menyelesaikannya setelah operasi," jelas petugas dengan nada serius.

"Saya boleh lihat anak saya?" tanya Riko dengan gusar.

"Pasien sedang dalam penanganan serius, Pak. Sebaiknya Bapak segera mengisi surat persetujuan terlebih dahulu. Setelah itu, Bapak bisa kembali ke sini," ucap perawat dengan tenang namun tegas.

"Baik, Bu," jawab Riko tergesa-gesa.

Tanpa membuang waktu, Riko segera berlari menuju ruang administrasi. Ia menandatangani beberapa berkas dengan tangan gemetar, lalu kembali ke ruang tempat Melati ditangani, sambil menggenggam surat persetujuan.

"Bu, ini surat persetujuannya," ucap Riko sambil menyerahkan kertas itu dengan napas tersengal.

Seorang dokter keluar tergesa dari ruang tindakan. Wajahnya tampak serius, dan keringat membasahi pelipisnya.

Riko yang sudah menunggu di luar terlihat panik. Ia langsung berdiri saat melihat sang dokter.

“Apakah Bapak keluarga pasien?” tanya dokter cepat.

“Iya, Dok... saya ayah Melati. Bagaimana kondisi anak saya?” tanya Riko dengan napas memburu.

“Anak Bapak mengalami pendarahan dalam yang cukup parah. Dia membutuhkan transfusi darah... sekarang juga.”

“Ambil darah saya, Dok! Golongan darah saya O!” ucap Riko cepat dan panik.

Dokter menggeleng pelan. Wajahnya tampak semakin tegang.

“Golongan darah Melati AB, Pak. Tidak cocok. Kami butuh donor dengan golongan darah AB. Sayangnya, stok di bank darah rumah sakit saat ini kosong.”

Riko terdiam. Sejenak, dunia kembali terasa runtuh. Ruang tunggu mendadak terasa sempit dan menyesakkan.

Suara monitor jantung dari balik ruang IGD terdengar seperti dentuman palu di dadanya.

“Tidak bisa ditunda, Dok?” tanyanya dengan suara bergetar.

“Tidak bisa. Jika dalam tiga jam tidak ada darah masuk, kemungkinan terburuk bisa terjadi…”

Petugas rumah sakit tampak berlarian ke sana kemari. Seorang perawat berbicara lewat HT, memanggil bagian laboratorium untuk mencocokkan data seluruh pendonor di sekitar rumah sakit.

“Kalau ayahnya tidak cocok, biasanya ibunya yang cocok. Bapak cari ibunya sekarang,” ucap dokter.

“B–baik, Pak. Saya akan cari,” jawab Riko terbata.

Walau hatinya ragu apakah Laras akan mau mendonorkan darahnya, Riko tahu dia harus berusaha. Jika bukan Laras, mungkin Doni—salah satu dari mereka pasti ada yang cocok, pikirnya. Tidak ada waktu untuk putus asa.

Riko keluar dari ruang IGD, hendak mencari Laras. Saat di lorong, ia melihat Doni dan segera berlari menghampirinya.

“Doni, di mana Laras?” tanya Riko panik.

“Laras?” Doni tampak terkejut. “Dia sedang dioperasi... pengangkatan rahim,” jelasnya.

Riko terpaku.

"Mereka benar-benar gila. Demi cinta, rela tidak punya rahim. Konsep cinta macam apa itu?" pikir Riko getir, dadanya sesak menahan kecewa dan marah.

“Doni, golongan darah kamu apa?” tanya Riko cepat. Inilah satu-satunya harapannya.

Doni mengerutkan dahi, tampak bingung.

“Cepat jawab, Doni!” ucap Riko, nyaris membentak karena panik.

“AB,” jawab Doni akhirnya. “Emang ada apa?” tanyanya heran.

Riko segera menggenggam tangan Doni.

“Doni, ayo selamatkan Melati. Dia membutuhkan darahmu!” ucap Riko penuh harap.

“Lepaskan!” bentak Doni, mencoba menarik tangannya.

“Ini mendesak, Doni!” Riko mulai kesal, napasnya memburu.

Doni menatapnya tenang, tapi dingin.

“Aku mau mendonorkan darah... tapi ada syaratnya,” ucapnya pelan namun jelas.

1
Tismar Khadijah
Banyak riko2 dan melati2 lain di dunia nyata, ttp berjuang dan berharap
Inyos Sape Sengga
Luar biasa
Sri Lestari
thor....aku salut akan crita2mu...n othor hebat ngegrab kog bs sambil nulis....mntabbb/Good/
adelina rossa
astagfirullah laras...belum aja kamu tau aslinya doni ...kalau tau pasti nyesel sampe.nangis darah pun rahim kamu ga bakalan ada lagi...lanjut kak
SOPYAN KAMALGrab
tolong dibantu likekom
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
menunggu karma utk laras
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
dari sini harusnya tau donk, kalo gada melati, gakan ada riko
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
teruslah maklumi dan dukung anakmu yg salah.. sampaii kau pun akan tak dia pedulikan
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
salahin anakmu yg bikiinyaa buuukkk
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
ayah
Su Narti
lanjutkan 👍👍👍👍💪💪💪💪💪💪💪
mahira
makasih kk bab banyak banget
Nandi Ni
Bersyukur bukan dari darah para pecundang yg menyelamatkan melati
SOPYAN KAMALGrab
jangan fokuskan energimu pada kecemasan fokus pada keyakinan
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
alhamdulillah
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
apa? mau duit ya?
mahira
lanjut
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
apalagi ini..? mau dijual juga laras?
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
dirumah doni thoorrrr
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
untung mood anak cewek gampang berubah 😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!