NovelToon NovelToon
Menikah Dengan Dosen Killer

Menikah Dengan Dosen Killer

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Nikahmuda
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: santi puspita

Naya, gadis kaya raya yang terkenal dengan sikap bar-bar dan pembangkangnya, selalu berhasil membuat para dosen di kampus kewalahan. Hidupnya nyaris sempurna—dikelilingi kemewahan, teman-teman yang mendukung, dan kebebasan yang nyaris tak terbatas. Namun segalanya berubah ketika satu nama baru muncul di daftar dosennya: Alvan Pratama, M.Pd—dosen killer yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti kompromi.

Alvan baru beberapa minggu mengajar di kampus, namun reputasinya langsung menjulang: tidak bisa disogok nilai, galak, dan terkenal dengan prinsip ketat. Sayangnya, bagi Naya, Alvan lebih dari sekadar dosen killer. Ia adalah pria yang tiba-tiba dijodohkan dengannya oleh orang tua mereka karna sebuah kesepakatan masa lalu yang dibuat oleh kedua orang tua mereka.

Naya menolak. Alvan pun tak sudi. Tapi demi menjaga nama baik keluarga dan hutang budi masa lalu, keduanya dipaksa menikah dalam diam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13

Mobil berhenti perlahan di depan sebuah rumah megah bergaya klasik-modern.

Lampu-lampu taman menyala hangat, dan seorang pelayan segera membukakan pintu gerbang otomatis.

“Naya, selamat datang di rumah ini, Nak.” ucapnya lembut, menggandeng tangan Naya dengan kedua tangannya.

“Mulai sekarang, anggap saja seperti rumah sendiri. Anggap Ibu seperti Ibu kandungmu.”

Naya terdiam, agak bingung, tapi mencoba tersenyum.

“Terima kasih, Bu…”

Ayah Alvan menepuk bahu Naya dengan ramah, “Kalau kamu butuh sesuatu, jangan sungkan. Kamu sekarang bagian dari keluarga ini.”naya mengangguk dan mengikuti langkah mertuanya sementara alvan segera naik ke atas menuju kamarnya beberapa pelayan membantu Mambawa koper yang ada dibagasi.

Langkah kaki terdengar pelan di lantai marmer, menyusuri lorong panjang rumah keluarga Hermawan. Dindingnya dihiasi lukisan klasik dan lampu dinding redup yang menciptakan suasana tenang, nyaris terlalu tenang bagi Naya.

Di belakangnya, Bu Rina berjalan mendampingi dengan senyum lembut yang terasa terlalu sempurna untuk malam yang melelahkan itu.

Sesampainya di depan pintu kayu ganda bernuansa coklat gelap, Bu Rina menoleh pada pelayan tua.

“Bik Imah, tolong dibantu langsung ke kamar Alvan, ya,” titahnya lembut.

Bik Imah mengangguk sopan, membuka pintu perlahan.

Tampak ruangan luas dengan cahaya lampu gantung yang tidak terlalu terang. Ranjang besar dengan sprei putih bersih berdiri di tengah ruangan, sementara rak buku, sofa kecil, dan jendela besar berlapis tirai menambah nuansa maskulin namun elegan.

Alvan sudah di dalam. Ia duduk di tepi ranjang, membuka kancing atas kemejanya, dan sempat melirik ke arah pintu saat mendengar suara.

“Naya, ayo, Ibu antar ke kamar. Mulai malam ini, kamar Alvan juga jadi kamar kamu.”

“Dan Ibu harap… kalian berdua bisa akur.”

Naya melangkah masuk, pelan.

Senyumnya kaku. Matanya memindai kamar itu sebentar, lalu tanpa komentar langsung meletakkan clutch kecilnya di meja rias.

“Terima kasih, Bu,” ucapnya pelan, hampir berbisik.

Alvan tidak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri sebentar, kemudian berjalan ke lemari pakaian. Diam. Dingin.

Bu Rina mengangguk kecil, lalu menutup pintu dengan senyuman.

“Istirahatlah. Besok hari baru dimulai.”

Klik.

Pintu tertutup.

Kini, hanya ada Naya dan Alvan di dalam kamar besar itu.

Udara di ruangan terasa sejuk dari AC yang menyala lembut, tapi suasana di antara mereka justru terasa kikuk dan hangat dalam kecanggungan.

Naya berdiri di depan cermin, merapikan sisa riasan yang belum sempat dibersihkan total. Tangannya sibuk mengusap pipi, tapi pikirannya justru melayang ke arah pria yang duduk di ujung ranjang.

Alvan duduk di tepi ranjang, satu tangan menopang dagu, menatap lurus ke dinding seolah ada sesuatu yang penting di sana.

___

Naya membuka selendang rambutnya pelan-pelan di depan cermin. Rasa lelah mulai menggerayangi tubuhnya, tapi emosinya masih terlalu penuh untuk membuatnya bisa rileks.

Tanpa menoleh, ia berkata tajam.

“Kita boleh satu kamar… tapi jangan harap aku mau tidur satu ranjang denganmu.”

Alvan yang baru saja duduk di tepi ranjang mengangkat alis.

Wajahnya bingung.

“Maaf? Ini kamarku, Nona. Seharusnya aku yang ngomong begitu.”

Naya menoleh cepat dengan mata menyipit.

“Oh, jadi maksudmu aku harus tidur di sofa?”

“Tentu saja. Itu lebih sopan, kan? Tamu baru tidur di sofa,” jawab Alvan santai sambil menyandarkan diri di kepala ranjang.

“Ohh ya tapi sepertinya anda lupa aku ini istri sah anda, bukan tamu. Dan anda harus mengalah sama istri.”

“Tapi ini kamarku! Kamarku! Aku yang tumbuh di sini, bahkan bantal itu lebih sering kupeluk sebagai bukti kalau pemilik kamar inilah yang harus tidur dikasur".

Naya menatapnya datar.

“Mau bantal, kasur, atau karpet, aku tetap nggak akan pindah. Kalau anda keberatan, anda aja yang tidur di sofa.”

Alvan mengacak rambutnya, setengah frustasi.

“Astaga... jadi kita perang dingin di malam pertama?”

“Kita bisa perang total juga kalau perlu,” balas Naya sambil duduk mantap di ranjang.

Hening sejenak.

Lalu Alvan angkat tangan.

“Oke. Kita suit saja.”

Naya melirik.

"Apa?”

“Kita suit. Siapa menang, tidur di kasur. Yang kalah, ke sofa. Fair.”

Naya mengangguk cepat.

“Baik. Deal. Tapi cuma sekali, ya.”

“Sekali. Sekali untuk menentukan takdir malam ini,” jawab Alvan dramatis.

 

Beberapa Detik Kemudian…

Tangan mereka mengepal, dan

“Suit!”

Alvan: ✌️

Naya: ✊

Naya menang.

Ia langsung bersorak kecil, melempar selimut ke tubuh Alvan yang hanya bisa menatap tak percaya.

“Selamat datang di dunia realita, Pak Dosen. Malam ini dan sofa itu jadi milikmu.”

Alvan menghela napas berat.

“Ini kamar saya, tapi saya malah diusir ke sofa…”

“Ssst. Jangan protes. anda kan bilang mau jadi dewasa? Ini dia tantangan kedewasaan pertamamu,” ucap Naya sembari menaiki ranjang dengan wajah puas.

Alvan melempar bantal kecil ke arah Naya kena punggungnya.

“Kalau saya masuk angin, ingetin buat nggak ngajarin kamu pekan depan.”

“Kalau anda ngajarnya sambil batuk-batuk, aku bakal upload ke medsos dan bikin anda viral jadi dosen kasihan,” balas Naya sambil menggulung diri di balik selimut.

Alvan hanya bisa menggeleng, lalu berjalan ke sofa dengan ekspresi kalah.

“Kehidupan pernikahan macam apa ini…”

 

Beberapa Menit Kemudian

Lampu dimatikan.

Naya tersenyum dalam gelap, diam-diam puas.

Di sofa, Alvan bersandar dan menatap langit-langit kamar.

"Dia memang keras kepala. Tapi entah kenapa... kamar ini jadi nggak sesunyi biasanya."

Keesokan Paginya di Kamar Alvan

Cahaya matahari menyelinap lewat sela-sela tirai. Burung di halaman depan berkicau pelan, tapi suasana kamar masih sepi.

Di sofa, Alvan terbangun dengan wajah kusut.

Ia mengerang pelan sambil duduk dan memutar lehernya ke kiri dan ke kanan.

“Aduh… tulang punggungku seperti habis dijadikan papan panjat tebing.”

Ia melirik jam dinding: 06.35 WIB.

Dengan malas, ia melangkah pelan ke kamar mandi belum sadar bahwa di balik selimut di atas ranjang, Naya sudah bangun dan sedang menahan tawa.

 

Beberapa Menit Kemudian di Meja Sarapan

Di ruang makan, meja sudah disiapkan oleh Bik Imah nasi goreng, telur dadar, roti bakar, teh manis, dan buah segar.

Naya sudah duduk duluan, mengenakan baju kaos oblong putih bersih dan rambut dikuncir sederhana.

Ia tampak segar dan mood-nya sedikit lebih baik.

Beberapa saat kemudian, Alvan muncul dengan kaus lusuh dan muka belum sepenuhnya sadar dunia.

“Selamat pagi, Pak Sofa,” sapa Naya ringan, sambil menyuap potongan semangka.

Alvan duduk dan mengerjap.

“Pagi juga, Bu Ranjang,” jawabnya dengan suara berat.

“Punggung saya seperti habis diadu sama trotoar. Thanks to you.”

Naya nyengir.

“Tapi kamu kalah secara sah. Jangan baper.”

“Iya, iya... Tapi kayaknya mulai malam ini kita butuh aturan baru.”

“Boleh aja, asal kamu siap kalah lagi.”

 

Tiba-tiba...

Bu Rina masuk ke ruang makan, dengan senyum selembut bunga pagi.

“Wah, anak Ibu sudah sarapan berdua. Senangnya lihat pasangan muda kompak begini.”

Alvan dan Naya saling pandang sekilas.

Kompak? Iya. Kompak bikin drama.

“Iya, Bu,” jawab Naya pelan, “kompak rebutan kasur.”

Bu Rina tertawa kecil, tak menangkap maksud sebenarnya.

“Namanya juga pengantin baru.”

 

Beberapa Saat Kemudian

Setelah Bu Rina pergi ke dapur, Alvan melirik ke arah Naya.

“Hari ini kamu mau ngapain?”

"Gak tahu. Mungkin tidur-tiduran di ranjang, sambil selfie buat balas dendam.”

“Kurang ajar,” gumam Alvan sambil menyuap roti bakarnya.

Naya tertawa kecil. merasa telah menang.

 

🍒🍒🍒

1
Reni Anjarwani
bagus bgt ceritanya doubel up thor
sanpus: heheh iya
total 1 replies
Reni Anjarwani
buat naya jatuh cinta pak dosen dan buat dia bahagia
sanpus: copy 😀
total 1 replies
Reni Anjarwani
lanjut thor
sanpus: siap🙏😅
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!