Valda yang saat itu masih SD, jatuh cinta kepada teman dari perumahan seberang yang bernama Dera. Valda, dibantu teman-temannya, menyatakan perasaan kepada Dera di depan rumah Dera. Pernyataan cinta Valda ditolak mentah-mentah, hubungan antara mereka berdua pun menjadi renggang dan canggung. Kisah pun berlanjut, mengantarkan pada episode lain hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achmad Aditya Avery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Band dan Perihal Mencari Nada
Ada hal mengejutkan, berita yang menyebalkan. Ternyata peralatan untuk ekstrakurikuler band di SMA tidak ada, hanya ada di SMK. Sejenak menghentikan harapan untuk ikut dalam sebuah band.
Wajah Amda terlihat bete mendengar berita itu. Dia terus menggerutu sepanjang jam pelajaran berlangsung. Berita itu dilanjutkan dengan kalimat, “Kalian tetap bisa berlatih, hanya saja tidak difasilitasi langsung. Tidak ada yang melatih, berlatih sendiri-sendiri."
Kalimat terakhir yang keluar itu seakan-akan kembali membangkitkan semangat kami. Amda langsung mengumpulkan para personel di kursi paling pojok belakang.
Aku, Erdy, serta Amda seperti melakukan rapat penting yang seakan-akan menentukan nasib kami di SMA ini. Kami membahas tentang posisi personel pada band kami.
Amda yang bisa bermain gitar memutuskan untuk menjadi gitaris, Erdy yang bisa bermain gitar tapi dia memutuskan untuk bermain bas. Sementara aku, benar sekali! Aku pegang kabel, ya vokalis. Hal ini bukan karena suara yang bagus, melainkan karena aku tidak bisa memainkan alat apa pun.
Aku hanya bisa berharap suatu saat dapat memberikan kontribusi yang baik untuk band ini. Amda merencanakan jadwal latihan pertama dengan niat untuk mencoba permainan musik serta untuk menentukan aliran band kelak.
Setelah bicara panjang lebar, kami memutuskan melaksanakan latihan pertama seminggu lagi. Kami akan menyewa salah satu studio di daerah Kelapa Dua.
Seminggu kemudian, hari yang ditunggu tiba. Dalam benak, aku seperti anak band sungguhan di saat masuk ruang studio. Mikrofon, gitar, drum, bas yang ada dalam studio seakan-akan meminta untuk dimainkan. Sayangnya aku tidak bisa memainkannya.
Amda mengambil gitar dan mulai mengutak-atik sesuatu yang ada di bawahnya seperti sebuah pedal dalam mobil. Rasa ingin menanyakan nama benda tersebut serta fungsinya, tapi perasaan malu menghalangi. Nanti saja, suatu saat pasti tahu nama dan fungsi dari benda itu secara perlahan dengan cara menguping setiap perkataan dari berbagai sumber.
Erdy dengan gagahnya mengambil bas seperti raksasa mengambil martil raksasa yang dijadikannya sebagai senjata untuk berburu. Aku dengan gugupnya melihat mikrofon yang seakan-akan berdiri berhadapan denganku. Mencoba mengetuk mikrofon itu, saat yakin mikrofon itu bersuara, aku mulai menguji suara.
“Tes! Tes! Tes!”
Terdengar cukup kencang. Aku rasa bagus. Amda mulai bertanya tentang lagu yang akan dinyanyikan. Aku hanya berdiri, seperti patung sambil berpikir lagu yang aku suka. Otak gatal untuk menyanyikan lagu dari soundtrack anime.
“Lagu dari soundtrack anime aja, Da!” kataku girang.
“Lu tahu kunci gitarnya enggak? Memangnya bisa lu nyanyiin lagunya?” katanya dengan santai.
“Hmm … enggak tahu Da,” kataku sambil mengeluarkan senyum kuda.
“Lu bisa lagunya Muse yang Hysteria enggak, Da?” kata Erdy menyambar pembicaraan.
“Tahu, tapi enggak tahu kunci gitarnya. Lagu yang gampang dulu aja buat latihan pertama,” kata Amda.
Suasana kembali hening. Tidak ada yang menjawab. Kami berpikir sambil menjajal alat yang kami pegang tanpa tahu lagu apa yang akan kami bawakan. Tidak lama kemudian Amda kembali membuka pembicaraan.
“Lagu Peterpan yang Menghapus Jejakmu aja bagaimana? Kuncinya gampang kok,” kata Amda.
“Kuncinya apa?” Kata Erdy.
Amda memberi tahu kunci gitarnya, sementara aku sibuk untuk mengingat kembali lirik lagunya dalam hati. Celaka, aku tidak terlalu hafal lagunya.
“Terus melangkah lupakanmu, perlahan hati hentikan … langkah ….” Aku terus mengingatnya sambil menunggu Erdy berhasil memadukan kunci gitar dengan basnya.
Beberapa detik kemudian, Erdy selesai dengan urusan kunci bas. Sekarang mereka menengok ke arahku dan menyuruh bersiap untuk bernyanyi.
Setelah menelan ludah beberapa kali, aku memegang mikrofon. Lagu mulai dinyanyikan, suara gitar sebagai tanda aku akan segera bernyanyi untuk pertama kali bergema.
“Terus melangkah lupakanmu. Lelah hati perhatikan sikapmu. Jalan pikiranmu buatku ragu, tak mungkin ini tetap bertahan. Perlahan hatiku terbelenggu. Kucoba untuk terus menjauh. Perlahan hatiku terbelenggu. Kucoba untuk lanjutkan hidup. Engkau bukan ....”
Tiba-tiba Amda menghentikan permainannya. Dia bilang suaraku tidak pas dengan nada. Akhirnya, kami mengulang kembali. Untuk kedua kalinya, mendekati bagian terakhir lagu, Amda kembali menghentikan permainannya.
Dia diam sejenak. Aku kebingungan, mengira suaraku benar-benar kacau. Apa Amda akan menggunakan lagu itu lagi?
“Enggak ada drumnya, jadi susah ya,” ucap Amda.
Aku menghirup napas lega karena kali ini tidak sepenuhnya salahku. Amda menyimpan gitar dan mencoba bermain drum, lalu Erdy memainkan gitar. Kami menyanyikan lagu itu kembali, lagi-lagi kami berhenti di tengah lagu.
Suara drumnya terlalu kacau. Wajar saja, Amda pada dasarnya terbiasa bermain gitar. Sekarang giliran Erdy mencoba bermain drum. Hasilnya tetap saja, nadanya kacau.
Amda menggaruk kepala. Dia begitu bingung dengan masalah ini. Tenggelam dalam kondisi yang cukup berantakan.
Kami terus mencari lagu yang sekiranya tidak terlalu membutuhkan drum. Kami mencoba lagu ST12 yang berjudul Rasa yang Tertinggal, lagu itu cukup lumayan apabila dinyanyikan dengan cara akustik. Akhirnya kami mencoba lagu itu untuk latihan hari ini.
Suatu hari kami kembali berunding di kursi pojok belakang kelas. Layaknya sekumpulan preman sekolah, hanya saja versi baiknya. Kali ini aku sedang iseng membuat puisi.
Beberapa murid di kelas tanpa sengaja melihat puisiku, memuji puisi yang kubuat. Sedikit malu-malu kucing tapi akhirnya mencoba untuk konsentrasi menyusun kata-kata agar indah dibaca. Berniat menjadikan puisi ini menjadi lirik lagu untuk band.
Aku melupakan sesuatu, nama band! Kami belum mendapatkan nama untuk band ini. Namun, aku mengurungkan niat untuk bertanya perihal itu kepada mereka. Aku harus membuat band ini setidaknya memiliki lagu untuk dinyanyikan. Baru setelah itu, menanyakan nama.
Akhirnya puisi selesai. Aku menunjukkannya kepada Erdy dan Amda, tapi rasanya rencana untuk menciptakan lagu dari puisi ini tidak berhasil. Erdy dan Amda kesulitan untuk menentukan nada yang cocok, karena puisi ini datar, semua rata empat baris dalam setiap bait. Nada yang dihasilkan juga akan datar. Masuk akal juga.
Latihan kedua dimulai setelah jeda beberapa hari. Namun, hasilnya masih sama seperti latihan yang pertama. Kali ini kami berlatih di rumah Amda. Jadwal hari ini termasuk menyesuaikan karakter suara vokalis untuk menentukan aliran band.
Aku sebagai vokalis bahkan tidak punya pikiran seperti itu. Karakter vokal? Amatir sekali soal itu. Kami berlatih berulang kali, bahkan tanpa disengaja kami berhasil mendapatkan lagu karangan sendiri, yang berjudul Bokek Bokek. Lagu ini beraliran rap. Liriknya kami yang mengarang dengan segala pikiran gila kami.
Bokek Bokek
Di setiap kota, di seluruh negara.
Semua mencari rezeki dengan segala cara.
Mulai dari ngepet, nyopet dompet seperti monyet.
Semua dilakukan tanpa ragu.
Kita dilahirkan di bumi ini.
Tanpa baju dan tanpa celana.
Untuk apa pusing mikirin harta.
Jika memang semua itu membuatmu gila.
Lebih baik seperti ini.
Tetap bahagia meski dompet kering.
Bokek! Bokek! Bokek! Bokek!
Selain lagu itu, puisi buatanku juga dicoba untuk dijadikan lagu. Berhasil, nadanya cukup enak didengar walaupun lagu ini hanya untuk iseng-iseng. Senang rasanya mendengar puisiku menjadi sebuah lagu walaupun galau dan bertemakan tentang percintaan.
Mampukah Kita
Lyric 1:
Detik demi detik kujalani
Namun tetap tak ada yang menemani
Hingga waktu mulai beranjak pergi
Ku masih sendiri
Lyric 2:
Saat ku berada dalam kegelapan
Kau tak pernah berhenti memberi harapan
Dan semua yang tlah kau berikan
Kan ku jadikan kenangan
Reff:
Mampukah kau mengukir cinta
Yang ada di setiap jiwa dan hati manusia
Mampukah kau menerima cinta
Yang terpendam sejak lama
Lyric 3:
Hari demi hari kuakhiri
Namun tetap tak ada yang menemani
Hingga saat kau terimaku di sini
Ku masih tetap tak mengerti
Break:
Kaulah pelita
Yang memberiku cahaya
Hingga saat waktuku tiba
Kuberanikan diri berkata
Begitulah puisi yang sudah berubah menjadi lirik lagu. Berkali-kali kami mengganti aliran band, mulai dari pop, slow rock, akustik, rap, bahkan dangdut. Namun, hasilnya tetap tidak sesuai harapan.
Hal itu tetap dikarenakan tidak adanya drum yang menjadi patokan gitar dan bas, karena hal itu pula kami vakum latihan di studio. Akhirnya, kami memutuskan untuk mencari tambahan personel. Kami mencari mulai dari temannya Amda, Erdy, bahkan aku juga ikut mencari tambahan personel itu. Kami tidak juga menemukannya, tapi kami terus berusaha mencari.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...