Dia adalah darah dagingnya. Tapi sejak kecil, kasih ibu tak pernah benar-benar untuknya. Sang ibu lebih memilih memperjuangkan anak tiri—anak dari suami barunya—dan mengorbankan putrinya sendiri.
Tumbuh dengan luka dan kecewa, wanita muda itu membangun dirinya menjadi sosok yang kuat, cantik, dan penuh percaya diri. Namun luka masa lalu tetap membara. Hingga takdir mempertemukannya dengan pria yang hampir saja menjadi bagian dari keluarga tirinya.
Sebuah permainan cinta dan dendam pun dimulai.
Bukan sekadar balas dendam biasa—ini adalah perjuangan mengembalikan harga diri yang direbut sejak lama.
Karena jika ibunya memilih orang lain sebagai anaknya…
…maka dia pun berhak merebut seseorang yang paling berharga bagi mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jasman si Tua Keladi
Siang itu, Hana mengirim pesan pada Pradipta, mengajaknya untuk bertemu.
Pradipta yang tengah berada di kantor polisi membaca pesan itu, lalu buru-buru menekan nomor Hana. Saat suaranya tersambung, terdengar napas Pradipta yang berat.
“Maafkan aku. Tiba-tiba ada tugas mendadak ke luar kota. Ada kasus penting yang harus kutangani.”
Hana terdiam.
“Memangnya apa yang ingin kamu bicarakan? Penting sekali kah? Tidak bisa lewat telepon?” tanya Pradipta penasaran.
“Tidak. Bukan masalah penting. Aku bisa menunggu sampai Kak Pradipta pulang nanti.” Hana berbohong, tak ingin membuat Pradipta tak fokus dalam bekerja.
“Baiklah kalau begitu. Aku tak bisa menentukan kapan aku pulang jadi tolong jaga diri baik-baik selama aku tidak ada. Tolong kabari aku, jika ada sesuatu,” ucap Pradipta begitu lembut dan penuh perhatian.
“Baiklah.” Hana tersenyum. “Kak Pradipta juga, hati-hati bekerjanya di sana nanti.”
“Iya. Tentu saja. Karena ada seseorang yang menungguku kan?”
“Iya.” Hana menjawab dengan malu-malu.
Mereka pun menutup telepon dengan perasaan yang berat namun senang. Pradipta fokus dengan tugasnya, Hana pun mulai membenahi hatinya untuk memulai semuanya dari awal.
Namun Hana tak tahu.
Burhan yang memantau diam-diam memanfaatkan kepergian Pradipta.
Dia bergerak cepat.
Mencoba memaksakan rencana pernikahan baru untuk Hana dengan sahabatnya yang akan memberinya banyak uang.
***
Setelah tahu Pradipta bertugas keluar kota, Burhan merasa saat inilah waktu paling tepat untuk bergerak.
Ia menghubungi pria yang akan menikahi Hana. Seorang duda tua kaya raya, tapi temperamental dan kejam, Jasman namanya. Seorang pria yang terbiasa membeli apa pun yang dia mau, termasuk perempuan. Jasman datang dengan dandanan rapih, membawa oleh-oleh mewah dan senyum penuh tipu daya.
“Mana barang yang katanya bagus itu?” tanya Jasman sok santai sambil disambut oleh Burhan yang tertawa lebar.
“Tentu, tentu. Coba dilihat dulu siapa tahu cocok,” sahut Burhan penuh maksud, sambil melirik ke arah dapur tempat Hana sedang menyiapkan teh.
Rosma juga ikut menahan tawa kecil, berpura-pura melayani tamu yang datang. Mereka semua berkonspirasi.
Hana yang tidak tahu apa-apa keluar membawa nampan berisi teh dan kue, lalu membungkuk sopan kepada pria itu.
“Silakan, Pak,” ucapnya lembut.
Jasman menatap Hana dari ujung kepala hingga kaki dengan mata yang tak sopan. Ia lalu tersenyum menyeringai.
“Luar biasa. Sangat cantik jelita,” bisiknya pada Burhan sambil terus menatap Hana dengan matanya yang jelalatan.
Burhan mengangguk puas.
Hana hanya tersenyum ramah, lalu kembali ke dapur, sama sekali tidak sadar bahwa pria itu sedang menilainya sebagai ‘barang dagangan’.
“Bagaimana? Cocok?” tanya Burhan setelah memastikan Hana pergi.
“Mantap. Ini barang bagus sekali. Jangan disia-siakan.” Jasman menjawab dengan semangat.
“Jadi kapan acaranya?” tanya Burhan lebih bersemangat.
“Secepatnya pokoknya. Saya minta berkas-berkasnya. Biar saya yang urus ke KUA. Pokoknya tugasmu tinggal bawa dia ke pelaminan saja.”
“Setuju,” jawab Burhan sambil tertawa pelan.
“Aku tak menyangka akan jadi menantumu.” Jasman berseloroh.
Keduanya tertawa terbahak-bahak.
Sementara itu, di kamar sempitnya, Hana sedang bertelepon dengan Pradipta.
Tak tahu bahwa di ruang tamu, seseorang sedang merancang neraka baru untuk hidupnya.
***
Pagi itu, Malika memaksakan diri bangun, walau tubuhnya masih terasa lemah karena mual datang bergelombang. Dia menatap cermin, mencoba tersenyum pada pantulan dirinya sendiri, lalu mengambil tas dan bersiap.
Sri mendekat, mencoba melarang,
“Sudah, Tidak usah kuliah dulu. Istirahat saja. Lagi pula kamu hamil Malika, sebaiknya kamu berhenti dulu kuliah.”
Tapi Burhan memotong, “Kehamilannya masih kecil, tidak akan kelihatan. Biarkan saja dia kuliah, itu lebih baik daripada melamun di kamar terus.”
Sri diam, walaupun dalam hatinya mulai diliputi kecemasan. Malika pun melangkah keluar rumah dengan langkah cepat, menyimpan tekad di dadanya dia harus menemukan Rendy, bagaimanapun caranya.
Sudah hampir seminggu Rendy menghilang, dan nomor yang biasa dihubungi pun kini tak aktif. Malika sudah bertanya ke teman-temannya namun semuanya hanya mengangkat bahu.
Malika benar-benar putus asa, sambil memegang perutnya, dia menahan kesedihannya sendiri.
“Haruskah anakku harus lahir tanpa seorang ayah?”
Sementara di rumah.
Di ruang makan yang senyap, hanya terdengar denting sendok menabrak gelas teh yang tak disentuh. Sri menatap Burhan yang tampak tenang sambil membaca koran pagi.
“Kalau Rendy tetap tak ditemukan juga. Apa yang akan kita lakukan?” tanya Sri pelan, mencoba mengukur isi hati suaminya.
Burhan melipat koran perlahan, menatap istrinya tajam namun tenang.
“Kalau dia tak kembali, ya sudah. Bayi itu akan lahir tanpa ayah.”
Sri membelalak. “Lalu?”
“Setelah lahir, Malika bisa melanjutkan hidupnya seperti biasa. Sedangkan bayinya langsung kirim ke panti asuhan,” katanya tanpa gentar, seperti membicarakan barang tak berguna.
Sri mulai gelisah. “Itu cucu kita, Pak.”
“Cucu atau bukan, itu aib. Kita tak bisa kasih tahu keluarga besar kalau anak kebanggaan kita hamil di luar nikah. Tak bisa dan tak mungkin.”
Sri terdiam. Ia tahu suaminya keras dan selalu mementingkan nama baik. Tapi membuang darah daging sendiri?
Burhan menambahkan dengan nada dingin,
“Kalau perlu, selama kehamilan kita kirim Malika ke luar kota untuk sementara. Biar hilang dari omongan orang.”
Sri menggigit bibirnya, antara marah, takut tapi tak kuasa melawan. Dalam benaknya, dia tahu mereka akan melakukan kesalahan yang sama untuk kesekian kalinya.
***
Meski Pradipta sedang jauh, rasa rindu justru menjembatani keduanya, menciptakan ikatan yang perlahan namun pasti tumbuh kokoh di antara mereka.
Mereka rutin bertukar kabar tentang pekerjaan Pradipta yang penuh tantangan, tentang masakan favorit Hana, hingga candaan ringan yang perlahan membangun kenyamanan.
“Hana. Sudahkah aku bilang jika sepertinya aku jatuh cinta padamu?”
Pesan yang singkat namun menghujam jantungnya begitu dalam. Bibir Hana melengkung pelan, matanya menerawang dengan senyum malu-malu. Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, hatinya terasa ringan. Seolah semua luka dan dendam yang dulu begitu menggerogoti kini mulai mengering dan perlahan sembuh.
Lawanlah... meski hasilnya belum pasti..
Gak cukup apa, ngorbanin Hana kecil dulu, sekarang ibunya digituin pun masih diam...
udh matiin aja karakter Sri ini.. bikin esmosi aja.. dari awal sampe sekarang.
Yg lain okelah.. kejam sama Hana karena gak ada ikatan darah.. Lah ini Ibunya sendiri, bisa gitu sama anak kandungnya...
Ngancurin citra kaum Ibu ..