Impian setiap wanita adalah menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Namun takdir berkata lain untuk Azura, gadis cantik yang terpaksa menikah dengan pria pengidap gangguan jiwa demi kepentingan keluarga tirinya.
Meski sang ayah masih hidup, hidup Azura sepenuhnya digenggam oleh ibu tiri yang licik dan kejam. Akankah Azura mampu bertahan dalam pernikahan yang tak diinginkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 13 - Ruang lukis
Keesokan harinya...
Mentari pagi menembus celah tirai jendela kamar Azura. Udara sejuk dari pegunungan menyusup masuk, membawa aroma embun yang segar dan suara burung-burung kecil yang berkicau di kejauhan.
Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian, Azura melangkah keluar dari kamar. Kakinya menyusuri koridor lantai dua menuju anak tangga yang mengarah ke ruang makan di lantai bawah.
Namun tiba-tiba langkahnya terhenti.
Dari balik pilar besar yang berdiri di sudut ruang tamu, Azura melihat sosok Rangga sedang berjongkok di teras depan.
Pria itu mengenakan kaus putih kusut dan celana tidur dengan rambut yang berantakan, bahkan sebagian menutupi wajahnya.
Pria itu menghadap ke arah taman kecil, tepat di bawah sinar matahari pagi.
Yang membuat Azura tertegun bukan sekadar kehadiran Rangga… tapi ekspresi di wajahnya.
Saat ini Rangga tersenyum dengan lebar, sangat lebar, seperti anak kecil yang menemukan sesuatu yang menyenangkan.
Tangannya bergerak-gerak di udara, seolah sedang menyapa seseorang yang tidak terlihat.
“Hei... kamu datang lagi ya?,” gumam Rangga sambil tertawa kecil.
Azura menyipitkan matanya seraya memperhatikan Rangga yang seketika berubah ekspresi karena tiba-tiba senyumnya hilang berganti dengan wajah yang muram.
Bibirnya bergetar, dan sebuah kalimat lirih terdengar dari mulutnya, “Jangan tinggalkan aku... aku sudah bilang aku tidak suka gelap... aku takut sendirian...”
Melihat pemandangan itu, hati Azura merasa terenyuh seolah ikut merasakan luka Rangga.
Tapi beberapa detik kemudian, wajah pria itu kembali menampakkan senyum aneh, lalu tertawa kecil sambil menepuk-nepuk rumput yang tidak ada siapa-siapa di sana.
“Kau lucu sekali... ha ha ha... Jangan pergi dulu. Temani aku sebentar lagi...” ujarnya.
Azura masih berdiri mematung. Matanya berkaca-kaca, hatinya pun terasa seperti diremas. Ia tahu, Rangga tidak sedang bermain. Ia sedang berbicara dengan sesuatu atau seseorang yang hanya dia yang bisa lihat.
Dan itu membuat Azura semakin yakin betapa dalamnya luka jiwa yang dipikul laki-laki yang berstatus suaminya itu.
Sementara itu, beberapa pelayan yang sedang menyapu halaman hanya menunduk dan berbisik lirih sambil memperhatikan tuan muda mereka dari kejauhan.
“Dia mulai lagi pagi ini,” gumam seorang pelayan.
“Sejak Nyonya meninggal, dia sering begini. Kadang bisa seharian ngomong sendiri,” sahut yang lain.
Meski Azura tidak mendengarkan percakapan mereka, tapi ia tahu jika para asisten itu sedang membicarakan Rangga.
Azura lalu melangkah perlahan mendekati Rangga. Sesaat, ia merasa ragu untuk menyapanya apalagi mengingat kejadian kemarin yang bahkan lehernya pun masih nampak merah.
“Rangga…” panggilnya pelan.
Rangga pun menoleh dengan sorot mata yang kosong, tapi wajahnya langsung berubah jadi cerah begitu melihat Azura.
“Kamu juga datang? Wah... sekarang jadi rame ya... ha ha ha...” katanya sambil tertawa aneh.
Azura pun tersenyum canggung, lalu berjongkok perlahan di sampingnya.
“Aku cuma mau sarapan. Kamu sudah makan?,” tanyanya hati-hati.
Rangga menatap Azura cukup lama, seolah mencoba mengenali siapa dia. Tapi kemudian ia tersenyum samar, lalu berbisik, “Kamu mirip dia...”
“Dia? Siapa?."
Tapi Rangga tidak menjawab. Ia malah berdiri tiba-tiba dan berjalan ke arah taman, meninggalkan Azura yang kebingungan dan bertanya-tanya.
Pandangannya mengikuti langkah Rangga yang kini duduk di bawah pohon dan kembali bicara sendiri dengan orang yang tidak terlihat.
“Siapa ‘dia’ yang dimaksud Rangga?” pikir Azura.
**
Selesai menyantap sarapan pagi bersama para pelayan yang berada di ruang berbeda dan hanya bisa melempar senyum canggung, Azura tidak langsung kembali ke kamarnya.
Ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya sejak tadi, tentang "dia" yang disebut Rangga, dan tentang lukisan-lukisan aneh namun indah yang pernah ia lihat sekilas kemarin.
Akhirnya, Azura memutuskan untuk pergi ke ruang lukis itu lagi yang berada di koridor sayap kanan rumah. Di sanalah ruangan itu berada, ruang lukis yang telah lama menjadi tempat pelarian Rangga.
Begitu melangkah masuk dan membuka pintunya, aroma cat minyak dan terpentin langsung menyeruak ke hidungnya.
Cahaya matahari yang menyelinap masuk lewat jendela kaca besar, memantulkan warna-warna terang dari puluhan kanvas yang terpajang di dinding dan lantai.
Beberapa lukisan ditumpuk bersandar satu sama lain, dan sebagian tertutup kain putih. Tapi yang tampak sungguh luar biasa.
“Wah… dia pelukis hebat…” gumam Azura merasa kagum. “Orang tidak akan percaya kalau Rangga benar-benar sakit…”
Tangannya menyusuri tepian kanvas dengan hati-hati. Lalu, ia melihat lukisan seorang wanita yang sedang duduk di taman.
Wajahnya terlihat samar tapi aura kesedihan tergambar jelas dari sapuan warna yang dingin dan gelap. Lalu di sebelahnya ada lukisan abstrak dengan garis merah mencolok seolah mengisyaratkan jeritan batin yang tidak terdengar.
Glek!!
Azura menelan ludahnya. Ia merasa ada sesuatu yang mengikat di setiap lukisan ini. Bukan sekadar karya seni tapi sebuah emosi. Luka. Rasa rindu dan ketakutan.
Tiba-tiba...
Ckrek.
Suara pintu berderit membuat Azura menoleh dan merasa kaget.
Saat menoleh, ia melihat Rangga yang sedang berdiri di ambang pintu.
Ia masih mengenakan baju yang tadi. Rambutnya masih acak-acakan, dan mata itu, mata yang sulit ditebak menatap Azura tanpa berkedip.
Lalu... bibirnya perlahan melengkung membentuk sebuah senyuman. Namun bukan senyum yang biasa. Senyum itu seperti paduan antara ketenangan dan bahaya.
Azura yang terkejut, tubuhnya pun refleks mundur satu langkah, dan secara tidak sengaja ia menyenggol salah satu lukisan di belakangnya. Kanvas itu hampir jatuh, tapi ia cepat menangkapnya.
“Maaf... aku... aku tidak bermaksud mengganggu,” ucap Azura gugup sambil membetulkan posisi lukisan.
Namun ketika menoleh ke arah Rangga lagi... pria itu masih menatapnya. Senyum di wajahnya tidak hilang, tapi ia hanya membeku. Diam dan tidak bergerak.
Deg deg! Deg deg! Deg deg!
Pikiran buruk melintas di ingatan Azura, tentang bagaimana tangan itu kemarin mencekik lehernya. Tentang napas yang nyaris putus. Tentang sorot mata liar Rangga yang penuh kemarahan.
Spontan, Azura memegangi lehernya karena refleks dan trauma itu masih melekat.
Rangga melihat gerakan itu lalu wajahnya perlahan berubah. Senyuman itu memudar. Matanya kini tampak kosong, seperti seseorang yang merasa bersalah... atau mungkin hanya kosong tanpa perasaan.
Melihat perubahan ekspresi Rangga Azura pun berusaha tetap tenang dan mencoba bicara. “Aku… cuma ingin lihat lukisanmu, Rangga. Aku tidak akan menyentuhnya kalau kamu tidak mau.”
Namun perkataan Azura tidak ada balasan. Rangga hanya tetap berdiri di sana dan mematung seperti patung hidup.
Kemudian, perlahan Rangga berjalan masuk ke ruangan. Ia berjalan melewati Azura tanpa sepatah katapun. Lalu berdiri di depan kanvas kosong, duduk, dan mengambil kuas.
Tanpa menunda lama, tangan itu mulai bergerak lagi. Mengisi keheningan dengan suara gesekan kuas di atas kanvas.
Tiba-tiba...
tambah lagi doooooooong