Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadiah dan luka
Pagi itu, Aira kembali ke kantor dengan perasaan lega dan kepala yang lebih tenang.
Setelah minggu-minggu penuh tekanan dan kekacauan, akhirnya ada ruang untuk bernapas.
Saat ia membuka pintu kantor, suasana terlihat seperti biasa dimana rekan-rekannya sibuk, tetapi sebagian besar tersenyum melihat kehadirannya kembali.
Tak lama setelah duduk, telepon di mejanya berbunyi.
“Ibu Lidya ingin bertemu denganmu di ruangannya,” ujar suara dari seberang.
Aira menenangkan diri sejenak sebelum berdiri dan melangkah menuju ruang pimpinan.
Saat ia mengetuk dan masuk, Ibu Lidya menatapnya dengan senyum bangga.
“Kamu luar biasa, Aira,” kata wanita itu langsung.
“Laporan proyek kafe yang kamu desain... memukau klien. Bahkan mereka bilang, itu lebih dari yang mereka harapkan.”
Aira menahan senyum, hatinya terasa hangat.
Ibu Lidya kemudian mengambil amplop cokelat dari mejanya.
“Ini bonus untuk hasil kerjamu. Dan selama tujuh hari ke depan, kamu libur. Kamu butuh waktu untuk dirimu sendiri. Gunakan waktu itu sebaik mungkin.”
Aira membungkuk penuh rasa terima kasih. “Terima kasih banyak, Bu.”
“Sekarang, pulanglah. Nikmati liburanmu.”
Keluar dari kantor, Aira merasa ingin melakukan sesuatu yang berbeda.
Ia ingin membalas kebaikan Abraham, memberikan kejutan kecil yang bisa membuatnya tersenyum.
Maka, ia memutuskan untuk pergi ke kantor Abraham.
Sesampainya di sana, Aira melangkah masuk dengan hati berdebar.
Namun, suasana langsung berubah ketika ia disambut oleh resepsionis baru, seorang wanita muda yang memandangnya dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan meremehkan.
“Kamu siapa? Mau apa ke sini?” tanyanya dengan nada sinis.
“Saya... ingin menemui Tuan Abraham.”
Wanita itu mencibir. “Orang sepertimu pasti salah tempat. Ini kantor, bukan tempat mainan pribadi.”
Aira menunduk, merasa malu, namun tetap mencoba sabar.
Ia duduk di bangku tunggu, menunggu dengan diam. Namun karena tekanan emosional yang tiba-tiba datang, ia tanpa sadar mencengkeram ujung tasnya terlalu kuat hingga kukunya melukai tangannya sendiri. Darah mengalir pelan.
Salah satu staf yang mengenalnya segera masuk ke ruangan Abraham dan memberitahu.
“Tuan, Nona Aira ada di luar. Dia... duduk di bangku tunggu. Tangan kirinya berdarah.”
Tanpa menunggu, Abraham langsung bangkit. Langkahnya cepat dan tatapannya tajam saat keluar dari ruangannya.
Begitu melihat Aira duduk di bawah dengan wajah menunduk dan tangan berdarah, ia langsung berkata dengan suara bariton yang dingin:
“Apa yang kamu lakukan di sini, Aira?”
Aira menoleh pelan, matanya berkaca-kaca. “Aku cuma... ingin kasih kejutan.”
Tatapan Abraham berubah menjadi khawatir. Ia berjongkok dan memeriksa luka di tangan Aira dengan cepat.
Kemudian ia menatap resepsionis dengan mata tajam.
“Siapa yang bicara kasar padanya?” suaranya dalam dan penuh kemarahan.
Resepsionis yang tadi mengejek, langsung pucat dan membeku di tempat.
Abraham berdiri, suaranya dingin dan tegas. “Ambil barangmu. Kamu dipecat.”
Wanita itu tidak berani membantah, hanya menunduk dan pergi.
Sementara itu, Abraham kembali berjongkok di depan Aira dan mengangkat tubuhnya dengan lembut.
“Ayo kita bersihkan lukanya. Dan lain kali... kejutan seperti ini, jangan sampai menyakitimu sendiri.”
Aira tersenyum lemah. “Maaf… aku cuma pengen Pak Abraham tahu… aku nggak lupa semua yang Bapak lakukan.”
Abraham tidak menjawab. Ia hanya memeluknya pelan, di tengah lobi yang kini hening, seolah seluruh dunia berhenti sejenak untuk mereka berdua.
Abraham duduk di sebelah Aira sambil membuka kotak P3K yang ia bawa dari mobil.
Ia membersihkan luka di tangan Aira dengan hati-hati, gerakannya lembut dan penuh perhatian.
Sesekali matanya melirik ke wajah Aira yang masih tampak menahan sakit.
“Kalau kamu nggak hati-hati, tanganmu bisa infeksi,” gumam Abraham pelan.
Aira tersenyum tipis. “Terima kasih...”
Setelah luka itu dibalut rapi, Aira menatap Abraham dengan ragu.
“Ngomong-ngomong, selama tujuh hari ini, aku akan pergi jauh... menyendiri sebentar, mungkin ke tempat yang tenang.”
Abraham menoleh cepat. “Aku ikut ya?”
Aira menggeleng dengan lembut. “Jangan, Pak Abraham masih banyak pekerjaan. Aku nggak mau mengganggu."
Wajah Abraham langsung berubah. Ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan, meski ia mencoba tersenyum.
“Hari-hati, ya... liburan.”
Aira mengangguk pelan. “Pasti.”
Setelah pulang dari kantor Abraham, Aira mengambil tas kopernya dan memasukkan pakaiannya ke dalam sana.
"Sudah nggak sabar besok liburan ke Bali," gumam Aira.
Keesokan harinya
Aira membuka pintu apartemen dengan rambut masih sedikit berantakan dan mengenakan sweater tipis.
Tapi matanya langsung membelalak saat melihat Abraham berdiri di depan pintu dengan koper besar di tangannya dan ransel di punggung.
“Aku juga mengajukan cuti tujuh hari,” katanya dengan wajah serius tapi matanya jelas menyiratkan kegembiraan.
Aira membeku sejenak, lalu pecah dalam tawa terbahak-bahak.
“Bapak serius?”
Abraham mengangguk, kali ini dengan senyum nakal.
“Serius. Mana mungkin aku biarkan kamu liburan sendirian, terus aku kerja sambil mikirin kamu tiap hari?”
Aira menutup wajahnya, masih tertawa geli. “Pak Abraham gila, ya?”
“Gila karena kamu,” jawab Abraham santai.
Aira menggeleng tak percaya, tapi hatinya hangat. Kali ini, ia tak keberatan berbagi perjalanannya.
Liburan yang awalnya diniatkan untuk menyendiri, kini berubah menjadi sesuatu yang lebih... sesuatu yang mungkin akan membuka cerita baru di antara mereka.
Aira duduk di sofa sambil menyeruput teh hangat ketika Abraham membuka koper besarnya dan mulai mengeluarkan beberapa tiket dari dalam tas dokumen kecil.
“Aku udah booking semuanya,” katanya santai.
Aira menoleh dengan alis terangkat. “Booking? Ke Bali?”
Abraham menyeringai. “Bukan. Kita ke Eropa.”
Aira terdiam sejenak. “Eropa?”
“Yup. Paris, Roma, Zurich. Tujuh hari, perjalanan yang padat tapi menyenangkan.”
Aira mendesah pelan. “Padahal aku cuma mau menyepi di Bali... baca buku di pinggir pantai, makan seafood, dan tidur.”
“Tapi di Eropa kamu bisa jalan-jalan sambil gandengan tangan sama aku,” jawab Abraham dengan nada menggoda.
“Dan kamu bisa makan croissant di Prancis, pasta di Italia, sama cokelat Swiss. Nggak kalah enak dari seafood Bali, kan?”
Aira menahan senyum, lalu memalingkan wajah, pura-pura masih berpikir.
Abraham duduk di sebelahnya dan menatapnya serius.
“Tapi kalau kamu memang mau sendiri, aku nggak akan maksa. Aku cuma... ingin lihat kamu bahagia.”
Hening sejenak.
Lalu Aira menghela napas, menoleh dan tersenyum tipis. “Baiklah. Tapi Pak Abraham harus janji satu hal.”
“Apa?”
“Jangan ganggu aku kalau aku mau baca buku di pesawat.”
Abraham tertawa. “Janji! Tapi cuma kalau aku boleh senderan di bahumu.”
Aira tertawa kecil dan mengangguk. “Deal.”
Dan dengan itu, perjalanan mereka pun dimulai bukan lagi sekadar pelarian, tapi petualangan menuju penyembuhan yang lebih dalam.
Pagi itu, matahari baru saja muncul ketika Aira dan Abraham keluar dari apartemen dengan koper masing-masing.
Udara masih sejuk, dan aroma embun pagi menyambut mereka di sepanjang perjalanan menuju mobil.
Di dalam mobil, Aira duduk sambil memandangi jalanan kota yang masih lengang.
Tangannya menggenggam paspor, dan raut wajahnya campuran antara gugup dan bersemangat.
“Masih bisa berubah pikiran, lho,” kata Abraham sambil melirik ke arahnya.
Aira menoleh dan tersenyum kecil. “Kalau Pak Abraham nyasar di bandara nanti, baru aku berubah pikiran.”
Abraham tertawa, suaranya memenuhi mobil.
“Tenang, aku sudah hafal terminal kepergian internasional. Kalau perlu, kita naik troli sambil nyanyi.”
“Saya pura-pura nggak kenal nanti,” balas Aira geli.
Setibanya di bandara, suasana mulai ramai dengan penumpang yang berlalu lalang.
Aira menarik koper merahnya sambil mengenakan jaket panjang, sementara Abraham sibuk mengecek boarding pass dan dokumen perjalanan.
Mereka melewati pintu keberangkatan, dan Aira sempat menoleh ke belakang, seolah mengucapkan selamat tinggal sementara pada segala hal yang telah ia lewati.
“Siap?” tanya Abraham sambil menyodorkan satu cup kopi bandara padanya.
Aira mengangguk sambil menerima kopi itu. “Siap.”
Dengan langkah mantap, mereka melewati pemeriksaan keamanan dan menuju gate keberangkatan. Penerbangan panjang ke Eropa menanti dan mungkin, perjalanan hati yang baru juga akan dimulai di sana.