Persahabatan Audi, Rani dan Bimo terjalin begitu kuat bahkan hingga Rani menikah dengan Bimo, sampai akhirnya ketika Rani hamil besar ia mengalami kecelakaan yang membuat nyawanya tak tertolong tapi bayinya bisa diselamatkan.
Beberapa bulan berlalu, anak itu tumbuh tanpa sosok ibu, Mertua Bimo—Ibu Rani akhirnya meminta Audi untuk menikah dengan Bimo untuk menjadi ibu pengganti.
Tapi bagaimana jadinya jika setelah pernikahan itu, Bimo tidak sekalipun ingin menyentuh, bersikap lembut dan berbicara panjang dengannya seperti saat mereka bersahabat dulu, bahkan Audi diperlakukan sebagai pembantu di kamar terpisah, sampai akhirnya Audi merasa tidak tahan lagi, apakah yang akan dia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Belas
Bimo membuka pintu rumahnya dengan perasaan lelah yang menyelimuti. Setelah seharian bekerja, dia berharap bisa pulang dan merasakan kehangatan rumah. Namun, saat melangkah masuk, suasana yang biasanya hangat itu terasa aneh. Dia melihat dinding ruang tamu yang biasanya dipenuhi foto-foto pernikahan beserta senyuman istri pertamanya, Rani, kini tampak kosong.
“Rani? Kemana perginya foto Rani?” Bimo berkata seolah memanggil nama istrinya itu. Namun yang terdengar hanya gema suaranya sendiri. Hatinya mulai panik. Di dinding itu hanya tersisa paku-paku yang menyangga kenangan-kenangan indah.
Dia melangkah ke arah ruang keluarga, dan tak juga dia dapati foto-foto, istrinya itu. Dia melihat Audi, istri keduanya, yang sedang duduk di sofa sambil mengecek gawainya.
“Audi!” Bimo berteriak, suara penuh ketidakpercayaan. “Apa yang terjadi di sini? Kenapa semua foto Rani hilang?”
Audi menatapnya dengan bingung, dan setelah beberapa detik terdiam, dia berkata, “Foto-foto itu ...."
“Katakan kemana foto-foto itu! Jangan berpura-pura tak tau!” Bimo mendekat, nada suaranya semakin meninggi. “Semua foto Rani hilang, dan aku tahu kamu pasti ada hubungannya dengan ini! Apa kamu yang menyembunyikannya?”
Audi tampak terkejut dan marah sekaligus. “Kamu tidak bisa menuduhku seperti ini! Aku tidak mungkin melakukan itu!” Dia berdiri, menatap Bimo dengan mata berapi-api. “Kamu bahkan tahu betapa aku menghormati Rani!”
Mendengar perkataan Audi, Bimo bukannya merasa sedikit mereda. Namun, ia tidak yakin dengan ucapan istrinya itu. “Lalu siapa yang bisa melakukannya? Di rumah ini hanya ada kita berdua selain bibi dan aku tidak akan membiarkan siapa pun merusak kenangan itu.”
"Tante Susi yang melakukan. Aku sudah melarang, tapi dia tak mengindahkan."
Bimo mengambil vas bunga dan melemparnya ke dinding hingga hancur berkeping-keping. Napasnya berburu dengan cepat.
"Jangan bawa-bawa mama dalam kesalahanmu. Aku tau kau iri dengan Rani. Dulu aku tak percaya dengan ucapan Rani yang mengatakan jika kamu iri dan marah karena aku lebih memilih dirinya dari pada kamu. Aku anggap itu hanya kesalahpahaman saja. Ternyata ucapan Rani terbukti, kamu iri dan cemburu karena aku menikah dengannya!" seru Bimo.
"Aku cemburu dan iri dengan Rani ...?" tanya Audi untuk meyakinkan pendengarannya. Dia tak percaya jika sahabatnya bisa memfitnah begitu.
Padahal dia yang meyakinkan Bimo untuk menerima Rani, saat pria itu bertanya mengenai kepribadian istri pertamanya itu. Audi tertawa, merasa dunia sedang mempermainkan dirinya.
"Jika aku cemburu dengan Rani, aku tak akan mendukung kamu saat akan melamarnya. Jika aku iri dan cemburu dengan Rani, aku tak akan meminta kamu menerimanya. Jika aku cemburu ...."
"Cukup ...! Jadi kau mau bilang kalau Rani berbohong. Rani yang salah. Aku tau siapa kamu. Kita bukan hanya satu atau dua tahun saling mengenal!"
"Kau tak mengenal aku, Bimo! Kau gak tau denganku! Jika kau mengenal siapa aku, kau tak akan salah paham begini!" teriak Audi.
"Jangan berteriak! Aku masih mendengar dengan baik. Aku yakin pasti kau yang meminta Tante Susi untuk mengambil foto Rani. Sudah berulang kali aku katakan, kau harus sadar posisimu. Kau tak akan bisa menggantikan Rani!"
Kembali Audi tertawa. Namun, dalam tawa itu air mata jatuh membasahi pipinya. Dia merasa sudah lelah dan menyerah. Berharap Bimo bisa menerimanya, tapi sepertinya itu tak mungkin. Dia tak menginginkan dicintai sebesar Bimo mencintai Rani, dia juga tak ingin mengganti posisi Rani. Hanya ingin sedikit dihargai saja kehadirannya.
"Untuk apa aku meminta Tante Susi buat mengambil foto itu. Ada atau pun tanpa foto itu posisi ku tak berubah. Aku hanya kau anggap sebagai pengasuh anakmu saja!"
"Jangan banyak bicara, aku mau kau kembalikan semua foto Rani ke tempat semula. Saat ini juga. Aku beri kau waktu satu jam!" ucap Bimo dengan sedikit berteriak.
Karena suara pertengkaran keduanya membuat Ghita menangis. Audi yang mendengar suara isakan bocah itu bermaksud masuk ke kamar.
"Mau kemana kau?" tanya Bimo.
"Aku mau diamkan Ghita dulu. Nanti aku jemput ke rumah Tante Susi. Tapi aku melakukan ini bukan karena salah. Aku bersumpah demi apa pun jika semua bukan mauku, tapi itu keinginan Tante Susi sendiri. Tadi dia bilang akan mengatakan padamu, mungkin Tante Susi lupa," jawab Audi mencoba membela dirinya.
Dia tak mau disalahkan atas apa yang tak pernah dia lakukan. Jika dia mau mengambil foto itu kembali karena tak ingin berdebat lagi. Dia tak sudah lelah setiap hari bertengkar. Ada saja bahan yang membuat mereka bertengkar.
"Jangan cari alasan untuk menunda pengambilan foto itu. Sudah aku katakan, aku hanya memberimu waktu satu jam!" seru Bimo.
"Aku bukan mencari alasan, kamu dengar sendiri kalau Ghita menangis."
"Biarkan saja. Bibi pasti bisa menenangkan nanti!"
"Oke ... jika itu maumu!"
Audi lalu melangkah menuju ke pintu utama. Melewati pecahan kaca dari vas bunga yang tadi pecah karena Bimo melemparnya. Saat kakinya menginjak kaca tersebut dan membuat darah segar mengalir dari telapak kakinya, Audi tak peduli. Rasa sakit hatinya lebih besar dari rasa sakit di kaki.
Bimo yang melihat kaki Audi berdarah menjadi sedikit cemas. Dia lalu meminta sahabatnya itu mengobati lukanya.
"Kakimu berdarah. Obati dulu!" ucap Bimo sedikit pelan.
"Jika aku mengobatinya terlebih dahulu, aku akan telat. Bukankah kau hanya memberiku waktu satu jam," jawab Audi.
Dia terus berjalan dan pergi meminta tolong supir untuk mengantarnya. Tak peduli darah segar terus mengalir dari telapak kakinya itu. Lantai rumah penuh dengan tetesan darah.
"Dasar keras kepala." Bimo mengomel sendiri.
Di dalam taksi akhirnya tangisan Audi pecah. Dia merasa sudah sangat lelah dan ingin menyerah.
"Bu, kita ke rumah sakit?" tanya supir melihat kaki Audi yang berdarah.
"Kita ke rumah Tante Susi saja. Rumah mamanya Rani," jawab Audi. Supir ini merupakan supir pribadi untuk Rani, sehingga pasti mengetahui di mana rumah majikannya itu.
"Tapi kaki Ibu berdarah," ucap supir itu lagi.
"Tak apa, Pak. Nanti kita terlambat. Bimo bisa marah," balas Audi.
Supir itu akhirnya diam. Namun, wajahnya memperlihatkan kekuatiran dan rasa kasihan.
Ternyata lebih sakit bersaing dengan orang yang sudah tidak ada raganya, tapi masih menguasai seluruh hatinya. Aku tak akan pernah bisa menang bersaing dengan orang di masa lalu'mu yang sudah tak ada di dunia ini. Aku memang memiliki ragamu, akan tetapi hati, pikiran dan seluruh napasnya tak bisa kumiliki.
dri kue brownis lngsung turun ke hati .../Facepalm//Facepalm//Kiss/
Bu Dewi seperti bisa jadi mama mertua yang baik untuk menantunya... Dan Daniel juga tipe suami yang hangat untuk keluarga nya...
😆😆😆😆
selamat bahagia ya Bimo karena telah membuang batu berlian untuk Daniel...