NovelToon NovelToon
L'Oubli

L'Oubli

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Reinkarnasi / Cinta Terlarang / Cinta Beda Dunia
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Dela Tan

Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.

L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Season 1 ; Bab 13 - Keraguan

Dalam keheningan yang mencekik, kesunyian yang memenjarakan, hanya napas mereka yang terdengar.

Murni tergoda untuk mengulurkan tangan dan menyentuh Mahanta. Hanya tergoda, sebelum kemudian tekadnya mengalahkan keinginan. Dengan keras ia meremas kedua tangannya agar tidak menjangkau lelaki itu. Setidaknya, ia masih mengingat kepatutan.

Ia ingin menyentuh Mahanta bukan karena alasan yang tidak senonoh, melainkan karena rasa penasaran. Apakah lelaki itu berwujud, yang berarti dia juga manusia, hanya saja manusia yang menyembunyikan terlalu banyak rahasia.

Atau…

Jika ternyata lelaki itu tidak dapat disentuh, apakah itu berarti selama ini ia ‘bergaul’ dengan… Murni tidak berani menyimpulkan pikirannya sendiri. Tetapi jauh di dalam hatinya, ia lebih cenderung pada kemungkinan yang terakhir.

Lalu Murni bertanya-tanya, apakah yang ia lakukan ini dosa? Melanggar perintah Tuhan? Ia tidak tahu.

Namun, hati kecilnya berbisik, jika ia bisa berada di sini, berarti memang ia diarahkan, ditakdirkan, atau apapun namanya… untuk ada di sini, untuk bertemu dan mengenal Mahanta. Entah siapa yang mendorong atau menggerakkannya, apakah takdir Tuhan, atau kuasa gaib dari entitas spiritual lain.

Karena tidak mendapat jawaban konkret dari lelaki itu, Murni beranjak dari kursi. Ia tahu dikorek seperti apa pun, jawaban Mahanta tidak akan dengan jelas menjawab segala pertanyaannya. Lelaki itu sudah pernah mengatakan bahwa ia harus menemukan jawabannya sendiri.

Murni melangkah ke pintu, sementara Mahanta masih menatapnya dari balik meja. Lampu gantung di luar warung berkedip sebentar, seperti tak tahan menahan beban energi gaib yang mengendap.

Murni menghentikan langkah, dan menoleh.

“Aku tahu aku tak punya hak menanyakan ini, dan mungkin kau tidak bersedia menjawab,” katanya. “Tapi siapa sebenarnya kau, Mahanta?”

Mahanta menunduk sejenak, lalu berkata, “Aku bahkan tak tahu siapa aku sepenuhnya.”

Lelaki itu menatapnya. Sorot matanya dalam, bukan hanya karena gelap malam, tetapi karena kekosongan yang menolak diisi. “Aku hanya tahu, ketika aku menyajikan makanan itu untuk mereka, aku merasa damai.”

Murni mengangguk perlahan, jawaban yang sudah ia antisipasi. “Aneh,” gumamnya.

“Apa yang aneh?”

“Aku juga merasa damai saat di sini,” jawabnya, lirih. “Padahal... seharusnya aku takut.”

Ia melangkah mundur, bersiap pergi. Tetapi sebelum benar-benar berbalik, ia melihat wajah Mahanta sekali lagi. Dan di saat itu, dalam temaram lampu dan gerimis malam...

Ia sadar Mahanta sangat tampan.

Bukan semacam ketampanan seorang pria di dunia, melainkan tampan seperti lukisan yang tak pernah selesai. Rahang tegas. Sorot mata gelap keunguan. Kulit berwarna madu yang bersinar samar di bawah cahaya hangat. Tubuh tinggi yang berdiri tegak, tapi menyimpan beban tak terlihat.

Dan Murni merasa... dadanya nyeri.

Ia berbalik. dan setengah berlari pergi dari tempat itu.

Setiba di kamarnya, ia kembali berdiri di depan cermin.

Ia memandangi wajahnya lama dan berbisik lirih. ‘Apa yang sedang terjadi padaku...?’

Tanpa sadar ia menyentuh bibirnya sendiri. ‘Mengapa aku... merasa tidak bisa tidak melihat lelaki itu? Tidak bisa berhenti menemuinya…’

Ia menarik napas dalam-dalam. Rasa bersalah itu tidak hilang. ‘Apakah keputusanku untuk cuti ini keliru? Apakah seharusnya aku tetap di biara? Mungkin di biara aku akan merasa damai, tidak akan segelisah ini?’

Namun, dengan terkejut ia menyadari, bahwa… ia justru merasa damai di Warung Murni, ketika berada dekat dengan Mahanta.

Seketika ia berlutut di samping tempat tidur, menyilangkan tangan di dada. Tetapi ketika mulutnya hendak berdoa, lidahnya kelu.

“Bapa yang di surga... apakah Kau masih menerimaku...?”

“Aku adalah pengantin-Mu... tapi mengapa aku... lemah terhadap godaan daging?”

“Apakah selibatku sudah cacat... apakah aku... berdosa?”

Dan malam menjawabnya hanya dengan suara hujan yang semakin deras. Menyembunyikan air mata yang jatuh diam-diam.

Sinar matahari menerobos celah tirai jendela yang agak terbuka, langsung jatuh di wajah Murni yang tampak damai. Beberapa malam ini ia tak lagi bermimpi, baik mimpi buruk maupun mimpi tidak senonoh yang melibatkan Mahanta. Mungkin itu kekuatan doa.

Murni menggeliat, mengerjapkan mata beberapa kali. Ia melirik jam di dinding. Hampir pukul enam, tapi matahari sudah seterik ini. Setelah hujan seharian kemarin, langit biru bersih tanpa awan, seolah sengaja dicuci agar sang mentari bisa pamer di langit.

Murni tersenyum dan membuka jendela lebar-lebar.

Beberapa orang tetangga yang menyewa rumah-rumah kecil di sebelahnya melewati jendelanya dan mengucap salam. Mereka sedang bergegas pergi untuk bekerja.

“Pagi Suster, kami pamit, takut keburu macet.”

“Hai Suster, sudah bangun? Tak tinggal dulu ya… dah…”

Murni melambaikan tangan dan membalas sapaan mereka. “Hati-hati di jalan. Selamat bekerja.”

Semua orang tahu ia adalah seorang novis, calon biarawati, karena itu semua memanggilnya suster.

Setelah berdoa semalam suntuk, Murni telah memutuskan untuk berterus terang kepada suster kepala tentang mimpinya. Ia berpikir, untuk apa malu. Justru ia perlu bantuan untuk meluruskan semuanya, untuk mengembalikan niatnya kembali bulat. Jika suster kepala tidak bisa membantu, mungkin romo bisa.

Karena itu, selesai mandi Murni mengenakan seragam biarawatinya, dan berjalan menuju biara.

Tiba di biara, sebelum menemui Suster Maria, Murni pergi ke gereja, menyalakan lilin dan bersujud di depan patung Bunda Maria. Kedua tangannya ditangkupkan di depan dada, wajahnya menengadah, berdiam lama menatap raut damai bunda suci itu.

Salah satu yang membuatnya bertekad untuk menjadi biarawati adalah wajah Bunda Maria. Ia melihat kedamaian, kesucian, kekudusan di situ.

Setelah bermenit-menit berlalu, sampai lututnya terasa kebas, barulah Murni membuat tanda salib di kening dan dadanya, lalu berdiri, hampir sempoyongan karena terlalu lama menekuk kaki.

Ia berjalan sambil berpegangan pada sandaran kursi gereja, ketika terdengar suara langkah tergopoh-gopoh di luar.

Dengan rasa heran, Murni bergegas membuka pintu gereja dan bergerak ke luar. Ia melihat dua rekan biarawati, yang bernama Margareta dan Lucia, serta Suster Maria, setengah berlari menuju ke pintu gerbang.

“Hei… ada apa?” Murni menyapa, ikut berlari di dekat mereka. “Kalian mau ke mana?”

“Hei Murni, kau sudah kembali? Ada berita buruk. Kau tahu Maya? Remaja anggota paduan suara, yang sering membantu kita merangkai bunga? Dia mencoba bunuh diri. Kami menuju ke sana.” Suster Maria yang menjawab, tanpa menghentikan atau memperlambat langkah.

“Hah?” Murni ternganga. Tentu saja ia kenal. Maya cukup dekat dengannya. Gadis itu bukan hanya sering membantu di gereja, dia juga sering ikut dengannya membesuk dan mendoakan orang sakit. “Bun… bunuh diri? Kenapa? Aku… apakah aku boleh ikut?”

Suster Maria hanya menggerakkan tangan sebagai isyarat mengizinkan Murni bergabung dengan mereka.

Tanpa bicara lagi, Murni langsung masuk ke dalam mobil gereja yang segera melaju.

1
adi_nata
baru bab awal aura misterinya sudah sangat pekat.
💕💕syety mousya Arofah 💕💕
kok pas nmne Salman kek anakku 🙈🙈
💕💕syety mousya Arofah 💕💕: hrusnya jgn slman thorrr...Salman itu artinya minta aman dn keselamatan...nanti KLO pke slman jdi GK sesuai..haiiishhh.,galau q thorrr...tpi GK PP..cuma crita kug y
Dela Tan: Haha... otor ngebayangin profilnya Salman Khan, serem kan?
total 2 replies
Ryan Jacob
semangat Thor
Jati Putro
setiap nyawa yg di selamatkan ,
kesedihan ,bebannya pindah ke murni ?
🤔
Jati Putro
mungkin murni reinkarnasi dari wanita yg terbakar ,
apakah jiwa nya blm kembali ke asal
masih gentayangan
Jati Putro
Kalimat jangan bermakna dilarang
tapi kebanyakan semakin di larang semakin penasaran
Nike Raswanto
wow.....keren ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!