"Apa yang Dipisahkan Tuhan takkan pernah bisa disatukan oleh manusia. Begitu pula kita, antara lonceng yang menggema, dan adzan yang berkumandang."
- Ayana Bakrie -
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Venus Earthly Rose, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jumat 15 April 2016
Hari ini hari pertama kami masuk sekolah. Ada tiga kelas yang mendapat skors sebanyak tiga hari. Kelasku, kelas Sepuluh IIS Empat dan Duabelas MIPA Tiga. Sebenarnya aku menunggu kejadian apa yang akan terjadi hari ini, namun sungguh di luar dugaan, kelas orang gila itu tidak melakukan apapun dan bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi. Aku dan yang lain sempat harap-harap cemas, kami takut ini hanya hari yang tenang sebelum badai datang.
Para siswi kakak kelas masih melirik tak suka kepadaku saat kami berpapasan, termasuk kakak kelas yang bertengkar denganku waktu itu. Namun tetap sama, mereka hanya menunjukkan ketidaksukaan mereka lewat mata, bukan dengan tindakan dan perlakuan. Mereka tak menyindirku atau teman-temanku yang lain seperti biasanya. Mereka hanya diam dan mengacuhkan kami. Seakan urusan kami semua memang benar-benar selesai.
Tetapi aku dan yang lain tak mau langsung berleha-leha. Afrizal itu licik. Dia manipulatif. Dia bisa menggerakkan banyak orang sesuai kemauannya. Kami tak boleh lengah. Bahkan saat kami bertemu di taman pun dia hanya melihatku sekilas dengan tatapan yang biasa lalu lanjut pergi menyelesaikan urusannya. Aku masih menyelesaikan hukumanku yang menyapu taman. Karena waktu itu sakit dan aku mendapatkan hukuman skors selama tiga hari, maka aku masih berhutang lima hari masa hukuman itu.
Aku menyapu taman dengan tenteram. Mulai terbiasa dengan merinding yang tiba-tiba datang. Aku selesai menyapu sambil tetap diawasi Guru BK yang waktu itu, beliau masih sama, minum secangkir kopi. Setelah selesai menyapu, aku kembali ke kelas dengan hati yang senang. Yang awalnya aku ingin minta maaf kepada Afrizal atas insiden toilet, sekarang ku urungkan niatku. Anggap saja tak pernah terjadi apa-apa.
Semua kembali normal seperti biasa. Menyenangkan. Yang beda sekarang hanya siswi kakak kelas yang kebanyakan menatapku tak suka. Bodo amat. Aku tak peduli. Aku sudah terbiasa. Kelasku nyaman dan tenteram. Masa sekolahku kembali menyenangkan. Ku dengar, para orang gila itu mendapat nasihat habis-habisan dari wali kelas mereka tentang Ujian Nasional yang semakin di depan mata. Aku doakan agar mereka semua lulus dan segera angkat kaki dari sekolah ini.
Perang sudah berakhir, ku rasa. Mereka diam dan tak bergerak apapun. Kami tetap akan memantaunya selama seminggu ke depan. Tidak ada pihak yang menang maupun kalah. Perselisihan kami diakhiri oleh hukuman skors yang datang tiba-tiba. Aku masih penasaran siapa yang membocorkan informasi tentang tawuran yang akan dilaksanakan para siswa waktu itu. Namun tentu saja aku bersyukur. Sejujurnya aku bergetar takut saat teman-temanku bilang jika mereka akan tawuran. Alhamdulillah, tawuran itu gagal dilaksanakan.
Hari ini aku bahkan berkunjung ke perpustakaan. Iya, dengan aman dan nyaman. Aku membaca setengah novel yang sudah menjadi incaranku sejak beberapa hari lalu dengan lancar dan tanpa gangguan. Akhir-akhir ini aku agak menghindari dari perpustakaan karena malas bertemu dengan Afrizal. Ternyata orang gila itu selama ini sering nongkrong di perpustakaan. Aku tak peduli apa yang ia lakukan. Sesukanya saja, asalkan tak mengganggu aku dan teman-temanku. Salah, asalkan tak mengganggu orang lain. Berbeda dengan sekarang, aku tak peduli entah dia ada di perpustakaan atau tidak, aku melakukan urusanku, dan dia harusnya juga melakukan urusannya sendiri. Tak perlu mengganggu.
Kami juga mendapatkan teguran dari wali kelas kami, kok. Namun memang beliau tak menegur kami dengan marah-marah. Wali kelas kami sangat penyabar. Beliau menasihati kami tentang apa yang terjadi. Beliau tahu jika kami tidak bersalah dan kakak kelas kami yang memulainya. Beliau hanya mengingatkan terkadang kita harus mengikhlaskan apa yang terjadi dan tidak membalas kejahatan orang lain dengan kejahatan juga. Tidak semua permasalahan harus diselesaikan dengan kekerasan dan menyimpan dendam bukanlah hal yang baik karena hanya akan menghadirkan saling balas. Kami sungguh tersentuh. Kami diam dan hanya mendengarkan ucapan-ucapan beliau tadi. Beliau berharap kami tidak terlibat dalam hal-hal semacam itu lagi di masa mendatang.
Oh, iya. Aku juga mendapatkan informasi tambahan tentang Afrizal . Mereka bilang dia seorang hafiz. Aku tak menyangka. Seharusnya dengan prestasi yang baik semacam itu perlu diimbangi dengan perilaku yang baik juga. Jadi itu alasannya dia menjadi Ketua Rohis. Dia juga pernah bertengkar dengan kakak kelasnya yang kini sudah jadi alumni karena masalah percintaan. Wah, luar biasa. Kini dia tumbuh menjadi ketua kelompok dan bisa menggerakkan banyak orang. Aku tahu, dia pasti sudah memberitahu semua anak kelas duabelas dan siswi-siswi penggemarnya agar tak mencari masalah dengan kami. Aku yakin itu. Aku masih menebak-nebak dan mencari tahu alasan dia melakukannya.
Aku sempat mendiskusikannya dengan Andra. Namun menyebalkannya, Andra malah bilang jika Afrizal mungkin tertarik denganku. Seketika aku ingin mencubit Andra. Andra mulai berasumsi yang aneh-aneh tentang Afrizal dan aku. Lain kali, aku takkan menceritakan hal ini lagi kepadanya. Menyebalkan mendengar dia mengatakan hal itu.
Tentang akhir perang. Aku tak tahu perseteruan kami kemarin akan menimbulkan perang Dingin di antara kami ke depannya atau tidak. Ini pertama kalinya bagi kami yang masih kelas sepuluh memiliki permasalahan dengan kakak kelas. Ini juga pertama kalinya korban penindasan Afrizal berani angkat bicara tentang perlakuan mereka dan melawan. Sampai sekarang aku masih tak menyangka jika Afrizal bisa berakting menjadi orang yang benar-benar kalem tanpa dosa di depan para guru. Afrizal memang luar biasa.
Kami tadi memutuskan untuk merayakannya dengan memesan ayam goreng dan kami makan bersama-sama. Kelas kami dan kelas sepuluh IIS Empat mengumpulkan iuran untuk memesannya. Hari ini menyenangkan, meskipun beberapa hari kemarin aku mendapat amarah ayah. Andaikan saja ayah tahu apa penyebabnya. Aku mengirimkan video kami yang senang dan tertawa kepada Andra. Dia membalas dengan bilang andaikan saja dia ada di sini juga. Dia balas mengirimkanku fotonya yang sedang berada di gymnasium. Iya, sekolahnya memiliki gymnasium sendiri.
Ada ketenangan di hatiku tentang perang yang sudah usai ini. Aku kembali ke hari-hariku yang biasa. Meskipun aku masih berhutang maaf ke Afrizal , ku pastikan akan meminta maaf kepadanya suatu hari nanti. Tadinya aku ingin meminta maaf di dalam hati saat berpapasan dengannya. Aku benar-benar tak percaya permasalahan kami sudah berakhir. Aku harap memang benar-benar berakhir sehingga aku tak perlu berurusan lagi dengan Afrizal dan teman-teman gilanya. Padahal kami sudah menyiapkan banyak rencana balas dendam yang mungkin akan kami realisasikan jika mereka masih menindas kami. Tetapi benar kata wali kelasku. Menyimpan dendam dan balas dendam bukanlah hal yang baik.